Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Yang Abadi adalah Cinta

6 Februari 2019   09:39 Diperbarui: 6 Februari 2019   12:06 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pertunjukan teater (Pixabay/WikimediaImages)

Hampir selama dua jam, pementasan yang berkisah tentang kehidupan penyair Amir Hamzah ini mengajarkan penonton tentang cinta yang abadi. Bahkan selepas jasadnya tak lagi berada di dunia.

Yang fana adalah waktu. Kita abadi.

Penggalan puisi Sapardi Djoko Damono itu sejenak tak relevan setelah saya larut dalam pentas berjudul "Nyanyi Sunyi Revolusi". "Kita" sama fananya dengan waktu. Setidaknya bagi orang-orang terkasih yang pasti suatu saat akan kita tinggal ke alam yang abadi.

Warisan nilai yang kita tinggalkan lah yang abadi. Tak hanya abadi, jika nilai yang menjadi prinsip kita sampai akhir hayat itu adalah nilai kebaikan dan berhasil "menyentuh" orang-orang di sekitar kita, maka nilai itu juga akan menyebar dan akan terus diwariskan. 

Seperti cinta yang sangat luhur yang dianut oleh Tengku Amir Hamzah dan isterinya Tengku Kamaliah.

Penutupan Pentas Teater
Penutupan Pentas Teater
Revolusi, dalam sejarahnya tak pernah hadir tanpa didampingi maut. Babak-babak perjuangan, kemerdekaan, hingga transisi kekuasaan yang lahir dari teriakan "Revolusi", selalu menelan korban. Menyisakan luka, ketakutan, trauma, hingga kebencian, kesumat dan dendam pada generasi setelahnya.

Atas dasar revolusi itu pula, Amir menjadi tumbal kemarahan orang-orang revolusioner. Tahun 1946, di masa pergerakan pasca kemerdekaan, dalam peristiwa Revolusi Sosial di Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara), Amir Hamzah, penyair yang menempuh jalan sunyi dalam mewujudkan cita-cita kedaulatan Republik, diculik dan dieksekusi.

Walaupun karyanya tak menghentak masa dan membakar gelora seperti Chairil Anwar, tapi kontribusi Amir untuk kesusastraan, bahasa Indonesia dan cita-cita pergerakan, sama sekali tidak remeh. 

Bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane, Amir mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe demi melawan penerbit Balai Pustaka milik pemerintah Hindia Belanda yang penuh pembatasan dalam berkarya.

Kisah kehidupan, cinta, cita-cita, keluarga, sikap, hingga kematian Amir Hamzah disuguhkan dalam pentas. Perjalanan sang penyair yang oleh H.B Jassin disebut Raja Penyair Pujangga Baru.

Dilema
Amir kecil protes pada gurunya saat berlatih silat. Amir protes karena hanya diajarkan cara menangkis serangan, bukan menyerang. Dengan penuh hormat, sang guru Ijang Wijaya, memberi nasihat bahwa silat pada dasarnya bukan untuk menyerang dengan kemarahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun