[caption id="attachment_186633" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
"Dok, saya mau berobat penyakit yang lama..."Kata si bapak usia 50 tahun pertengahan sambil senyum-senyum.
"Oke, tapi saya tetap tidak mau diatur-atur ya pak? Kalau bapak mau ngatur saya, lebih baik cari dokter lain saja!"Kataku tegas dan si bapak mengiyakan, kemudian pemeriksaan fisik dilakukan setelahnya baru diberikan obat sesuai kondisi terkini si bapak yang menderita hipertensi, diabetes melitus serta rematik sekaligus 3 penyakit dalam satu badan.
"Obat yang biasa, tetapi seperlunya saja ya?"Kataku.
Ini saya perlu tekankan, karena si bapak yang kerjanya di sebuah perusahaan minyak asing suka minta ditambahin obat macam-macam di resepnya seperti vitamin mahal, antibiotik mahal, obat lambung yang mahal yang katanya untuk cadangan, padahal biasanya dijual lagi ke pasar gelap. Toh, yang menanggung biaya perusahaan.
Saya sempat menolak meresepkan dan si bapak ini marah lalu mengancam tidak mau lagi berobat pada saya dan memang dia sempat hilang beberapa lama dan berobat ke dokter lain yang mungkin bisa diajak 'nego-nego'. Tapi tumben si bapak malah datang lagi berobat denganku.
"Maaf, dok. Saya malah minta diresepin obat generik. Teman saya yang sudah pensiun dan penyakitnya mirip-mirip saya bilang dokter kasih dia obat generik yang nebusnya murah, tapi efektif membuat dia jarang jatuh sakit."Tambahnya lagi.
"Mau pensiun juga pak?"Tanyaku.
"Iya dok, empat bulan lagi. Dan kalau sudah pensiun dan diberi pesangon, otomatis tunjangan kesehatan kami hilang."Kata si bapak sedih.
Lalu akupun meresepkan 5 obat generik untuk mengatasi 3 penyakit utama si bapak untuk sebulan yang biasanya harga totalnya tidak sampai 200 ribuan.
Sebuah keputusan yang tepat dilakukan si bapak untuk mulai belajar menyesuaikan diri dengan kondisi pensiunnya. Gajinya sebagai buruh di sebuah perusahaaan minyak asing mungkin lebih cukup untuk sekedar makan, sedangkan untuk pengobatan ditanggung penuh perusahaan.