Awal 2013, dunia digemparkan dengan peristiwa perkosaan terhadap seorang mahasiswi di India oleh sekelompok orang, yang berujung kepada kematian perempuan itu. Belum sepekan peristiwa itu berlalu, Indonesia digemparkan juga dengan kematian RI siswa kelas lima sekolah dasar di Jakarta yang disinyalir korban kekerasan seksual. Peristiwa itu adalah rentetan panjang peristiwa-peristiwa memilukan yang mengiringi perjalanan manusia termasuk di Indonesia. Rantai kekerasan seksual itu terus terangkai dan meresahkan banyak pihak, manimpa semua golongan umur tanpa terkecuali. Berbagai macam cara telah dilakukan untuk mencegah dan mengatasinya termasuk mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan tetapi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Yang menyedihkan, usaha untuk mencegah dan menanggulanginya tidak sedikit justru menjadikan perempuan sebagai korban semakin dirugikan, terpojok dan terdiskriminasi. Kenyataannya bahwa perempuan justru dituduh sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual misalnya; cara berpakaian yang tidak sopan, keluar diwaktu-waktu yang tidak seharusnya, bepergian dengan seorang diri, dll. Singkatnya, dalam banyak kasus mereka dianggap sebagai penyebab menggeliatnya syahwat jahat kaum laki-laki. Sementara laki-laki, tak ubahnya singa kelaparan yang akan bereaksi dengan beringas, jika melihat mangsa tanpa terusik sedikit pun dengan perasaan bersalah.
Kenyataan ini, semakin melengkapi penderitaan kaum perempuan yang semakin tereksploitasi hak-hak asasinya. Ibarat, ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula’, sudah menjadi korban masih disalahkan juga. Kenyataan ini membuat kaum perempuan dan pejuang hak-hak perempuan semakin resah dan prihatin.
Sementara negara dan agama seolah tak bergeming dengan perilaku bejat sebagian kaum laki-laki yang memandang kaum perempuan sebagai objek permainan seks yang disertai dengan kekerasan. Hukuman yang ringan terhadap pelaku kekerasan seksual khususnya pelaku pemerkosaan menjadi bukti nyata ketidakberpihakan Negara terhadap kaum perempuan. Hal ini menjadikan kaum perempuan semakin menderita ketidakadilan sosial secara sistematik dengan berkepanjangan akibat seks mereka.
Menurut, Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2011 terjadi 2.508 kasus kekerasan menimpa perempuan dan anak-anak, meningkat dari 2010 yang jumlahnya berkisar 2.413 kasus. 62,7 persen dia ntaranya adalah kekerasan seksual. Sementara, Data Komnas Perempuan 2012 terjadi 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat dari tahun sebelumnya yang berada di angka 105.103 kasus. Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak disinyalir hanyalah fenomena gunung es sebab banyak kejadian pemerkosaan tidak dilaporkan karena masyarakat masih menganggapnya sebagai aib yang harus disembunyikan dari masyarakat lainnya. Kondisi ini semakin memberikan peluang besar bagi para pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak leluasa melancarkan aksinya.
Menurut, Menteri Pendidikan M. Nuh bahwa, ‘Penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Indonesia karena kurangnya kasih sayang akibat rusaknya karakter generasi bangsa. Karena itu dalam kurikulum 2013 penguatan karakter dimasukkan sebagai salah satu hal yang menjadi prioritas utama’.
Sedangkan, Germaine Greer mengungkapkan bahwa, ‘Terjadinya kekerasan terhadap perempuan karena bergesernya penilaian-penilaian terhadap Kaum Perempuan. Dalam banyak kebudayaan, perempuan dianggap hanyalah objek seksual dambaan setiap laki-laki, yang bisa diperlakukan sesuka hati.’
Hal yang hampir sama, juga diungkapkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar yang mengungkapkan bahwa, ‘Dalam budaya kita perempuan barulah sebatas objek yang hak-haknya masih terabaikan. Sulitnya mengetahui kekerasan-kekerasan seksual terhadap anak karena budaya kita tidak memberikan hak bicara bagi anak-anak dengan kecenderungan selalu disalahkan, sehingga anak-anak menjadi takut mengungkapkan, apa yang mereka alami termasuk kekerasan-kekerasan seksual yang menimpa mereka. Selain itu, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang undang-undang perlindungan perempuan dan anak-anak karena tidak tersosialisasikan dengan baik.’
Saatnya berubah
Kita tidak mungkin terus hidup dalam zaman yang tidak adil ini. Karena itu, negara harus serius mengangkat martabat kaum perempuan dan anak-anak melaui regulasi dan perlindungan yang serius. Pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak harus dihukum seberat-beratnya, karena perilaku mereka telah memberikan dampak negatif secara fisiologis, psikologis dan sosial terhadap korban yang mempengaruhi kehidupan dan masa depan mereka, karena hak-hak asasi mereka dirampas dan dilecehkan.
Selain itu, saatnya semua orang menyadari bahwa perempuan adalah pribadi yang sama dengan laki-laki, sebagaimana ungkapan John Stott yang mengatakan, ‘Sejak dari permulaannya manusia sudah diciptakan sebagai perempuan dan laki-laki yang sama-sama adalah ahli waris, baik atas citra ilahi maupun atas kekuasaan atas bumi. Walaupun dalam prakteknya ada hal-hal yang sangat berbeda dalam melakukan fungsinya, perempuan dan laki-laki adalah sederajat. Karenanya siapapun yang membandingkan perempuan dan laki-laki dengan kadar penilaian berbeda, apalagi memperlakukannya tidak terhormat berarti ia telah merusak citra ilahi dalam dirinya sebagai manusia. Yang artinya melanggar hak-hak kodrati manusia sebagai ciptaan Tuhan.’
Karena itu, untuk memutus rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, tidaklah cukup dengan regulasi dan hukuman yang berat, karena itu hanya menyelesaikan hilirnya saja. Yang harus dilakukan adalah memutusnya dari hulu dengan meningkatkan pendidikan karakter yang baik. Memulainya dari keluarga dan dunia pendidikan kita. Menanamkan nilai-nilai moral yang hakiki bahwa melecehkan sesama manusia adalah perbuatan amoral. Serta sosialisasi peraturan dan sanksi kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak harus dilakukan secara menyeluruh kepada semua lapisan masyarakat. Sehingga pada akhirnya, syahwat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak dapat “dipasung” dan diatasi. Semoga saja.