Mohon tunggu...
Pipiet Senja
Pipiet Senja Mohon Tunggu... profesional -

Seniman, Teroris Tukang Teror Agar Menjadi Penulis, Pembincang Karya Bilik Sastra VOI RRI. Motivator, Konsultan Kepenulisan, Penyunting Memoar: Buku Baru: Orang Bilang Aku Teroris (Penerbit Zikrul Hakimi/ Jendela)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kopdaran Kompasiana: Kesan Pertama Begitu Menggoda

28 Februari 2010   01:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:42 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

fotokoleksi unangmuchtar, ternyata, maaf!

Sabtu, 27 Pebruari 2009

Pukul sepuluh buka Kompasiana, terbaca postingan Isjet tentang Nangkring Kompasiana. Mendadak timbul hasrat untuk datang ke kopdaran, tanpa direncana, khawatir seperti kopdaran sebelumnya di TIM, malah terhambat hujan badai.

Saya SMS putriku Butet yang lagi bawa mobil antar cucu-cucu berenang di Fantasy Park Kota Kembang, Depok: “Mau gak Nak, antar Mama ke Istora Senayan? Ada pameran buku Gramedia, sekalian kopdaran Kompasiana.”

“Kebetulan dong, Butet juga mau meliput ke sana, Mom,” jawabnya, dua bulan terakhir dia magang di majalah Alia. Berhubung baru saja belajar bawa mobil yang bukan matik, jadi kuminta dia mengajak temannya yang sudah biasa ngebut di jalanan Ibukota.

(Kisah tentang mobil dan Butet ini, nanti, ya, akan diposting khusus.)

Bada zuhur kami pun berangkat menuju Istora Senayan. Butet langsung ke ruang Kenanga 1, ada acara talkshow Mom’s Power dengan pembawa acaranya topstar Dewi Hughes.

Saya keliling, cari-cari urusan dengan buku, hunting buku yang sudah lama diidamkan, ceritanya. Maunya sih borong banyak, tetapi apa daya dana untuk buku bulan ini terbatas. Lumayan dapat diskon 20%, akhirnya dapat jugalah; Intelejen Bertawaf (Prayitno Ramelan), Kemayoran (NH.Dini), Soe Hok Gie (Rudi Badil dkk) dan Doctors (Erich Segal). Kusisakan juga anggaran buku untuk Butet.

Capek keliling-keliling, saya duduk di tangga-tangga yang menuju Ruang Anggrek di lantai dua. Masih ada waktu sekitar setengah jam, kumanfaatkan untuk membaca Intelejen Bertawaf. Berharap bisa bertemu dengan penulisnya, dan akan kuminta tanda tangan persahabatannya, pikirku.

Akhirnya aku naik ke Ruang Anggrek yang masih lengang, suwung. Di deretan kursi di koridor ada dua gadis yang duduk saling berdiam diri, saya yakin mereka adalah Kompasianer. Sengaja, saya nyelonong dulu, melongok ke ruangan dalam, hanya ada seorang lelaki berambut gondrong sebahu sedang sibuk dengan soudsystem.

Apakah itu Syam, ya, tanyaku dalam hati. Tapi waktu kusapa; aloooow, aloooow…. Eeeh, dia diam saja, pasti bukan Syam! (Yakin saja, Syam orangnya pasti heboh, ehem!)

Kembali ke koridor, salah seorang gadis itu menyapaku: “Bunda Pipiet, ya?” Saya menatapnya, menebak-nebak buah manggis, eeh, gadis ini kira-kira siapa ya? Perawakannya kecil mungil, putih dan manis nian jika tertawa. “Dikau siapa, ya?” tanyaku.

“Yayat, Bunda….” Dia tertawa sumringah. Kami berpelukan erat, serasa sudah lama akrab. Mulutku tak tahan berkomentar: “Dikau ini ternyata kecilmungil, ya? Profilmu itu kusangka tinggi ramping, tomboy dan backpackeran gitulah, mengingat tulisanmu seperti banyak petualangan!”

Dia tertawa geli mencengar celotehku.

Gadis berjilbab di sebelahnya pendiam sekali, belakangan kutahu dari Yayat namanya Astrid, mesem-mesem saja. Beberapa saat kemudian muncul Amril, langsung menyalamiku:”Bunda Pipiet, sejak kecil saya sudah baca karya Bunda,” katanya riang sekali.

Disusul kemunculan Babeh Helmi, yang langsung seakan mau sembah sungkem, dan saya mengoloknya: “Gakbareng rombongan genderewonya nih?” Dia duduk di sebelahku, kami segera terlibat obrolan seru seputar; tuyul dan jenglot. Siapa mau gratiiiiis, ngaku ayooo!

Babeh Helmi segera sibuk juga menerima sungkeman Suri Nathalia. Ternyata putrinya Bagindang ASA dari Negeri Ngotjoleria ini, hebooh euy!

Rombongan Kang Pepih dan anak baru gedenya, disusul Isjet, belakangan Nurul. Dengan Kang Pepih sempat ngobrol seputar kreativitas penerbitan dan blogshop.

“Nanti saya undang Teteh sebagai pembicara di blogshop, ya,” katanya serius sekaleee. Nuhun sateuacanna, Kang Haji!

Kami diajak masuk, saya sempat menggoda Isjet: “Dikau ini dalam kenyataannya imut-imut nian, ya! Kalau di profilnya kan mirip babe-babe gw.” Isjet ngekeh-ngekeh.

“Dicatat nih sudah tiga yang ngatain aku imut-imut. Gini-gini sudah tiga loh, anakku!”

Ada yang nyeletuk: “Anaknya siapa dan dan istri yang mana? Opsss!” Saru deh, aaarrrgh!

Suasana canda, tawa semakin terasa dan lebih mengakrabkan Kompasianer yang hadir di Ruang Anggrek petang itu. Beberapa jenak mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, sekitar 50-an mungkin, tampak sahabatku John Brata bareng Frans, Pak Umar Hapsoro yang sukacita mengaku-ngaku Yunika Umar sebagai putrinya. Lanang dan sobatnya (tak terbaca namanya, sori), Janu, Blezinky, Andi, Julius Caesar, dan si separatis Faizal Assegaf yang menyalamiku dengan santunnya. Kalau sama sosok satu ini gak bakalan lupa, sebab suka gentayangan kayak jurig. Hoho!

Sempat dikompori seorang Kompasianer (disembunyikan identitasnya): “Bunda, ini timpukin aja pake ini nih!” katanya seraya menyodorkan ponsel kerennya ke arahku. Alamaaak, kacoooow!

Hadi muncul setelah Kang Pepih memberikan sambutannya. Ngakunya sih terjebak macet, dari Cianjur pukul sebelas, bayangkan sajalah. Kasihan anakku yang satu ini meuni rancutcut, kayak kedinginan geto. Disusul sosok Tantripranashita nan jelita.

Kang Pepih bicara soal etiket berinternet, seputar Kompasiana, rencana membuat free magazine Kompasiana. Isjet menyambung seputar “aturan main”berkompasiana. Bahwa ke depan antara lain; jika gambar diambil dari Google tanpa menyebut sumber aslinya akan didelete, begitu yang saya tangkap.

Kang Pepih menyilakan hadirin urun suara, eeeh, curhatan atau apalah istilahnya. Faizal tak hendak buang waktu, langsung; jegheeeer bleh, sesuai karakternya, bicara was-wes-wos. Bahwa sesungguhnya (demikian pengakuannya) dia sendiri merasa takut waktu menulis yang tajam bak silet itu. Nah loooh!

Pak Pray Ramelan, memberikan sambutan yang mencerahkan, soldier never die, they just fade away. Marsekal Muda TNI (Pur) ini ternyata berperawakan amboi, Harley Davidson buangeeettt. Hehe. Senang jumpa Anda, bapakku yang dirakhmati Allah. Penuh enerjik dengan semangat juang ’45, sambutannya, kata demi kata dan kalimat demi kalimat sungguh sarat makna. Mengambil wejangan dari mendiang ayahanda Ramelan (seorang wartawan senior yang sering kubaca tulisannya dulu). Saluuuut!

Satu per satu unjuk gigi, eh, ngomong. Tapi kenapa cowok melulu yang berani ngomong nih? Pas dipersilakan lagi oleh Kang Pepih, saya langsung berdiri dan unjuk gigi. Hehe. Tauk ngomong apaan tuh, pokoknya kudengar banyak yang ngakak. Sumpe deeeh!

Mendadak saya merasa memiliki sebuah keluarga besar yang; kereeeen!

Sahabatku John Brata maju, dan bicaranya dengan gaya banyolan Sunda tea, euleuh-euleuh, sang kapten ternyata mbanyolan! Beliau membagikan cinderamata berupa prakaryanya sendiri; kapal-kapalan berbagai jenis terbuat dari plastik. Dapat satu buat cucuku. Kreatif nian dikau, Kapten, hatur nuhun!

Demikianlah sekilas pandangan mata, kesan pertama kopdaran Kompasiana sungguh menggoda. Selanjutnya, terserah Anda, hehe.

Sampai Jumpa, sahabat Kompasianer!

@postingan sempat raib sepotong, heraaan...hehe!

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun