Mohon tunggu...
Pipiet Senja
Pipiet Senja Mohon Tunggu... profesional -

Seniman, Teroris Tukang Teror Agar Menjadi Penulis, Pembincang Karya Bilik Sastra VOI RRI. Motivator, Konsultan Kepenulisan, Penyunting Memoar: Buku Baru: Orang Bilang Aku Teroris (Penerbit Zikrul Hakimi/ Jendela)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Dari Sebuah Musim Semi

24 Maret 2015   08:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:10 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427159589214660064

[caption id="attachment_404980" align="aligncenter" width="700" caption="foto pribadi haekal siregar"][/caption]

Bandara Narita, suatu petang di musim semi yang hangat dan lembut. Pesawat KLM beberapa saat lalu telah mendarat mulus di landas pacu bandara yang terkenal dengan teknologi canggih se-Asia. Para penumpang mengalir keluar dari pintu kedatangan. Petugas memeriksa bawaan mereka dengan ketat.


Belakangan suasana bandara di seluruh dunia dicekam ketakutan dan kengerian luar biasa. Ini diakibatkan oleh sejumlah peristiwa pemboman hebat di berbagai belahan dunia.
Haekal, seorang pemuda berseragam militer antri dengan sabar di antara para penumpang yang baru tiba dari Holland. Sekilas ia melayangkan pandangannya ke kejauhan. Adakah anak bawel itu di antara para penjemput?
“Aku bukan anak bawel lagi, Brur! Aku sudah dewasa, sudah akhwat…” katanya melalui email. Ketika itu Zakia mahasiswi di Universitas Indonesia. Begitu bangga dia menceritakan tentang rekan-rekan apa itu, kawatnya? Seperti apa rupanya sekarang anak bawel itu? Masih tomboykah dia, rambut cepak dan celana jeans belel bolong-bolong?


Yokoso Nihon e irasshaimasen…” seorang pramugari yang melintas di sebelahnya, iseng menyapa pemuda itu. Serdadu Kerajaan Belanda. Ganteng sekali dia. Harum jantan meruap dari tubuhnya, hmm!


"What?” Haekal celingukan. Ia telah selesai melalui pemeriksaan, keluar berdampingan dengan pramugari yang memiliki wajah mirip boneka Jepang koleksi ibunya itu. “Exuse me… Anda bicara apa?” susulnya dalam bahasa Inggris.


Anata no o-namae wa nan desu kaRyoko wa tanoshikatta desu ka?”
Gadis Jepang itu semakin tergairah menggodanya. Ia tahu gerak-geriknya tengah diperhatikan oleh rekan-rekannya dari kejauhan. Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat ringkas di hadapannya.


“Hai, BrurHaekal!” Zakia tersenyum ramah kepada sang pramugari. “Domo arigato… Dia sepupu saya dari Holland,” katanya dalam bahasa Jepang yang lumayan sambil membungkuk hormat. Haekal terlongong dan berdiri dengan rikuh.


“Dia tak bisa bicara Nippon, shitsurei desu ga…” ujarnya pula.
Sayonara, sayonara…” balas sang pramugari tersipu malu dan menatap wajah keduanya sekilas.


Gadis Jepang itu kemudian gegas-gegas berlalu, menuju beberapa rekannya yang masih memperhatikan pagelarannya sambil cekikikan.


Haekal masih rikuh sambil memandangi makhluk jelita, enerjik dan terus-menerus tersenyum bandel ke arahnya. Ooo, pasti ini dia si bawel Zakia Siregar, pekiknya dalam hati. Sekejap Haekal sudah memeluk gadis itu.


"Huss, jangan begini!” Zakia merenggangkan pelukan sepupunya.
“Kamu adikku!” Haekal mejawil hidungnya seperti kebiasaan saat mereka kecil dahulu.
“Tidak juga, kamu yang adikku. Sebab Mamaku kakak Mamimu,” balas Zakia mulai memperlihatkan keras kepalanya.


Haekal tertawa lebar, kemudian tiba-tiba teringat sesuatu. “Hei, tadi itu apa sih? Kamu bicara apa dengan pramugari itu?” protesnya dalam bahasa Indonesia yang lumayan bagus.


Ini kejutan, bila mengingat dia telah meninggalkan Indonesia sejak umur lima tahun. Tante Arnie pasti telah berusaha keras mewariskan kepadanya, bahasa pemersatu bangsanya.
“Dia mengucapkan selamat datang di negerinya, menanyakan nama juga tentang perjalananmu,” Zakia sambil melirik arlojinya.


“Kamu sama sekali nggak beri kesempatan, ya? Coba bilang dari tadi, aku akan berikan kartunama yang bagus untuknya.”


Zakia tak bisa lama-lama di sini, harus mencari tempat untuk shalat maghrib. Ia tahu jika mengantar Haekal ke hotel yang telah dipesan akan memerlukan waktu yang cukup panjang.
“Ada apa?” tanya Haekal cemas dan menangkap kegelisahannya.


Zakia berusaha tetap tersenyum riang. “Nggak apa-apa sih. Cuma aku harus shalat maghrib dulu nih, Brur. Begini saja kita cari kafetaria. Sementara aku shalat kau bisa menikmati…”
“Sake! Ya, aku mau sake Jepang!” pintas Haekal cepat.
“Huss!” Zakia tertawa geli melihat semangat sepupunya yang super tinggi itu. Tapi diantarnya juga sepupunya ke sebuah coffee house. Matanya telah menangkap suatu sudut yang lumayan sepi di sekitar situ.


Ketika Zakia menunaikan shalat maghribnya di sudut sepi itu, mata Haekal tak lepas-lepas mengawasi kelakuannya. Apa yang terjadi dengan anak itu? Begitu taatnya dia menjalankan syariat agamanya. Di tengah kesibukan tiba-tiba harus shalat. Apa dia tak menemukan kesulitan terikat dogma di tengah bangsa asing begini?


Haekal teringat ibunya yang masih mengaku orang Islam, tapi belang-bentong menunaikan shalat lima waktunya. Seketika pemuda itu merasa penasaran sekali. Begitu Zakia kembali menghampirinya, ia langsung menohoknya dengan sepenggal tanya, “Apa menjadi Muslimah itu sulit, Za?”


"Insya Allah tidak!” sahut Zakia mantap membuat Haekal terperangah.
Setelah satu malam tinggal di hotel bergaya Barat, Haekal memutuskan menerima saran sepupunya, pindah ke ryokan. Ia sangat mengandalkan Zakia, terutama berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Ketika Zakia menunjukkan ryokanitu, wajah Haekal langsung ditekuk lucu.
“Wuiiih… kalau nggak ada kamu, bisa bicara apa aku di sini?” keluhnya seperti bocah ketakutan, hingga Zakia tertawa geli. Nggak pantes banget dengan sosoknya sebagai serdadu.


“Nanti kuberikan kamus praktis bahasa Jepang. Dulu pertama datang aku juga memanfaatkannya. Itu akan sangat membantumu,” Zakia menenangkan, seketika dipandanginya penampilan sepupunya lekat-lekat.


“Kamu seorang serdadu, Brur. Kalau Opa masih hidup apa komentarnya soal profesi yang kamu pilih ini, ya?” Zakia menjawilpet hijau yang bertengger di kepala sepupunya.
“Opa akan menangis darah,” gumam Haekal terdengar menyesal.


Mereka telah hafal betul kisah heroik Opa tercinta. Di zaman revolusi 1945, kakek mereka berjuang dengan jiwa raga, darah dan air mata melawan penjajah. Di negerinya kolonial identik dengan Belanda, Jepang dan Portugis. Kini cucunya justru menjadi abdi Kerajaan Belanda. Ironisnya hidup ini!


Haekal kelihatan masih merasa menyesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Zakia menepuk tangannya dan berkata riang,“Jangan khawatir, Opa nggak bilang apa-apa tuh waktu terakhir aku ziarah ke Cikutra!”


“Bercanda kamu… It’s funy!” Haekal seketika tergelak geli.
“Sungguh, jangan merasa bersalah, ini jalan kita…”


Siapa pernah mengira Haekal yang sejak kecil bercita-cita studi teknik informatika di Jepang, malah menjadi seorang militer? Siapa mengira pula kalau Zakia yang sejak lama ingin menjadi dokter, malah nyangkut di teknik informatika? Entah di mana salah kaprahnya, namanya ujug-ujug ada di daftar teknik informatika, bukan di kedokteran.


Siang itu mereka berjalan kaki menuju sebuah penginapan. Untuk pertama kalinya Zakia melihat sepupunya melepas seragam militer, dan menggantinya dengan pakaian santai. Celana jeans hitam dengan t-shirt berlengan sportif. Sekilas Haekal tampak mirip dengan para pemuda Jepang lainnya yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Ayah kandung Haekal etnis Manado, mereka bercerai dan ibunya menikah lagi dengan pria Belanda.


“Pasti dia anak orang penting dari Indonesia, heh?” komentar Haekal.
“Dia… siapa?” Zakia tersentak. Mereka sudah sampai di depan meja resepsionisryokan. Tak ada siapapun di situ. Keduanya menunggu beberapa saat dengan sabar.


“Orang yang sudah menyerobot posisimu itu!” sergah Haekal.
Wajah Zakia memerah. Pikirannya sesaat melayang ke pulau Pusan, rekan-rekan aktivis mahasiswa Muslim Internasional tengah baksos di leprosarium, rumah sakit kusta. Ia tak bisa ikut sebab telah telanjur janji kepada sepupunya untuk menjadi pemandunya.


“Naah, kamu melamunkan siapa?” ejek Haekal. “Ayo katakan kepadaku, kamu sudah punya pacar kan?”
“Ah, kamu! Nggak ada pacaran di kamus hidupku…” elak Zakia cepat.  Haekal tersenyum menang. “Jadi seorang cewek, heh, cantikkah?”
“Tentu saja, dia sangat cantik dan glamour…” Zakia tertawa kecut.
“Pasti dia nggak pantas jadi anak kedokteran, ya?”
“Ngng… lihat saja nanti!”


Haekal menggeram.“Apa dia tahu kamulah orangnya?”
Zakia menggeleng ragu. “Sudahlah, jangan ungkit lagi yang sudah lewat. Aku senang kok kuliah di teknik informatika…”
“Gratis lagi, ya?” Haekal terkekeh. Zakia cengar-cengir.
"Konnichiwa gakusei-san… irasshaimasen,” kata seorang wanita paro baya dengan kimono tradisional Jepang, akhirnya muncul juga dari belakang. Ia membungkuk dengan sangat santunnya.

Konnichiwa Okusan, domo arigato gozaimasu,“ balas Zakia tak kalah santun, membungkukkan badannya dengan baik sekali.


Woo, cara membungkuk ala Jepang ini telah ia pelajari secara khusus dari Mayumi. Pemilik ryokan terkesan sekali, menatap wajah Zakia sambil tetap tersenyum ramah. Sepasang matanya menyiratkan penghormatan dan kekaguman seorang ibu terhadap anaknya.


“Kamu gakusei-san, dariUniversitas Tokyo?” ujarnya langsung menebak. Ia mengerutkan keningnya, mengira busana yang dikenakan gadis itu adalah mode mutakhir anak-anak muda.


“Iya… Bagaimana Nyonya tahu?” Zakia menatapnya terheran-heran.
Sesungguhnya mudah saja bagi Okusan untuk menebak asal mahasiswa yang datang ke penginapannya.


Kebanyakan mahasiswa Universitas Tokyo sangat khas, memiliki sorot mata cerdas, percaya diri dan tahu tatakrama tradisional Jepang. Tapi mata Zakia sama sekali tidak sipit. Ia memiliki sepasang mata lebar yang bagus sekali. Dan busana yang dikenakannya, sunguh menarik, pikir wanita itu.


Gakusei-san mahasiswa asing?” tanyanya pula ramah sekali.
Zakia mengangguk. “Begitulah, Okusan…”
“Tapi bahasa Jepangmu sudah lumayan,” pujinya tulus. “Dan busanamu itu unik sekali. Apa ini model musim semi?”


Zakia sudah terbiasa dengan tatapan aneh begitu. Mereka memandang heran ke arah busana yang dikenakannya. Itu tak membuatnya tersinggung apalagi rendah diri. “Terima kasih, ini busana Muslimah, Nyonya…”
“Ooo… Kamu Muslim ya?”


Tiba-tiba Okusan balik menoleh ke arah Haekal dengan tatapan sinis, kecewa dan marah.
“Kamu sangat beruntung bisa menggaet gadis cantik dan kelihatannya tahu adat ini. Tapi ingat, kami tak suka kalau kamu hanya memanfaatkannya!” cerocosnya tajam dan ketus sekali. “Mentang-mentang tampangmu mirip Takeshi Kaneshiro, hah! Sungguh menjijikkan, memalukan nama bangsa saja…”


Kini Haekal celingukan, bingung. Ada kemarahan, pikirnya. Untuk sesaat Zakia pun terkesima, perlahan wajahnya merah padam. Ia segera menyadari kesalahpahaman. Wuih, apa kata rekan-rekannya di daigakunanti!


“Kami bersaudara, Okusan. Percayalah, dia sepupu saya,” Zakia bicara serius dengan wanita itu. Menjelaskan bahwa ia telah salah paham, bila  menganggap Haekal pemuda Jepang yang telah menggaet gakusei asing.


Sementara Haekal semakin bingung. Begitu Zakia selesai bicara, Okusan balik menghadapi Haekal kali ini dengan sikap santun yang sangat berlebihan.


Sumimasen…  Koko ga machigatte iru to omoimasu… katanya dalam sikap amat malu dan merasa sangat bersalah.Okusan dengan serius sekali masih akan melanjutkan acara bungkuk-membungkuknya, jika Zakia tak segera mencairkan suasananya. Membisikkan sesuatu ke telinga Haekal, hingga pemuda itu tertawa ditahan.


"Tidak apa-apa, Madame,” ujar Haekal ramah dalam bahasa Inggris. “Tampang saya memang mirip orang Jepang. Sudah sering saya alami hal seperti ini di Holland. Bahkan di negeri leluhurku sendiri, Indonesia… Aha, ternyata Okusan paham bahasa Inggris!” pujinya pula tulus.


“Ooh, Indonesu… saya tahu itu di Bali?” komentarnya.
Beres urusan pesan tempat, keduanya melihat kamar yang telah dipesan. Ditemani oleh seorang putri Okusan yang mendekati mereka dengan sikap amat pendiam, serba canggung, rikuh dan gerak-gerik lamban. Sehingga sepintas lalu pun Haekal sudah bisa menarik kesimpulan, gadis itu seorang terbelakang mental. Itu langsung disampaikannya kepada Zakia.


“Psst, sok tahu kamu!” tegur Zakia menatap iba ke arah gadis bertubuh gemuk pendek itu. Dalam hati ia terpaksa mesti membenarkan kesimpulan kilat sepupunya. Hebat, pikirnya, seorang militer muda dan punya pengetahuan atau bakat psikolog juga.


Sementara Okusan harus melayani para tamu yang mulai berdatangan. Kebanyakan tamunya adalah turis asing yang berminat merasakan nuansa tradisional Jepang. Biasanya mereka menginap satu-dua malam sebagai transit, kemudian akan melanjutkan perjalanan ke lokasi-lokasi wisata lainnya.


Tampaknya Haekal merasa puas dan menyetujui untuk tinggal di situ selama beberapa hari. Ketika keduanya kembali ke depan,Okusan telah menanti mereka dengan wajah harap-harap cemas.


“Jangan khawatir, Okusan,” Zakia tersenyum lembut kepadanya. “Dia setuju untuk menginap di sini beberapa hari…”
Haik, kami sangat beruntung, domo arigato,” Okusan tampak lega sekali.


Nihon-go wa wakarimasen… sumimasen!” tiba-tiba Haekal menyela, pamer hasil studi kilatnya dari kamus praktis pemberian Zakia.


Okusan dan Zakia menoleh ke arahnya, menatap Haekal dengan surprise. Haekal acuh tak acuh melanjutkan hasil pembelajaran praktisnya selama di dalam kamar, ketika Zakia tengah memperhatikan segala sesuatu di sekitarnya sambil berusaha keras mengajak berkomunikasi putri Okusan. Usaha yang sia-sia, gadis itu hanya menyahut dengan mengiyakan atau mengangguk.


“Ei-go de hanashite kudasai… yeah, yukkuri... Wakarimasu ka?”
“Haik, wakarimasu!”sahut Okusan sambil lagi-lagi membungkukkan tubuhnya, masih dalam perasaan bersalah.


Okusan, eh, apa itu ya, Zakia? Yeah, beautiful too!” Haekal mengerling nakal. Wajah Okusan merona tapi ia kembali membungkuk. “Haik!” katanya.
Zakia menahan tawa, merasa iba juga kepada Okusan. Disambarnya lengan sepupunya dan berkata,


“Sudah, jangan bercanda lagi. Kita cari makan di luar, hayoo!”
“Sayonara, Okusan!” Haekal sambil tertawa bandel ke arah pemilik ryokan.
“Kami pergi dulu, Okusan…” kata Zakia pamitan.
Ups, hampir saja ia mengucap salam lekum-nya.


Sayonara, gakusei-san, ja mata. Sampai jumpa!” balas Etsuko-san, lagi-lagi mengantar kepergian mereka dengan membungkuk takzim.
“Lebih hormat daripada orang Jawa, ya?” Haekal tertawa lepas dan geleng kepala sesampai mereka di luar. Ia pernah tiga kali mengunjungi Indonesia, berkunjung ke Yogya dan Bali.


Mereka berjalan kaki menuju restoran yang tak jauh dari penginapan.
“Kamu mau mencicipi sushi atau kujira?” tanya Zakia ketika sudah sampai di sebuah restoran kecil.
“Aku mau makan semuanya, semuanya saja!” sahutnya.


Zakia menatapnya keheranan. Apakah dia selalu begitu antusias?
“Semuanya, sungguh semuanya?” tanya Zakia minta ketegasan.
“Tentu saja, jangan sia-siakan kesempatan selama di Negeri Ninja ini. Semuanya, yap!” Haekal amat bernafsu, kemudian cepat sekali memesan kepada seorang pelayan. “Aku mau yang ini, ini dan ini juga ya…”


Ia menunjuk contoh makanan yang dipajang di rak, replika makanan itu selalu tampak menggiurkan dan mengundang selera siapapun yang melihatnya. Zakia menatap daftar menunya dengan cemas, tapi membiarkannya saja.


Beberapa menit kemudian, Zakia melihatnya kepayahan terhuyung-huyung menuju kloset. Ketika ia kembali wajahnya tampak pucat pasi, masih terengah-engah serdadu Kerajaan Belanda itu menunjukkan protesnya.


“Kamu kelewatan, Za,” keluhnya. “Jangan pernah lagi ajak aku ke restoran Jepang itu, terutama sushi dan kujira-nya. Mereka betul-betul mau meracuni perutku, hehhh, aduuuhhh…”


Zakia menatapnya terkejut dan iba sekali, tak menyangka keadaan sepupunya ternyata jauh lebih parah daripada dirinya, ketika pertama kali datang dan “dijebak” begitu oleh Mayumi. Kedua jenis makanan khas Jepang itu memang sungguh-sungguh... nggak cocok dengan perut mereka!


Di atas kepala mereka mega-mega putih menghiasi langit musim semi. Di mata Zakia, gerombolan mega itu mirip arakan kapas yang menyimpan harapan, impian dalam menjalani lakonnya selama mukim di negeri Sakura.


Siapa mengira kalau kebersamaan mereka selama musim semi itu di kemudian hari ternyata membuahkan hikmah? Terutama untuk Haekal. Sebab tiga tahun kemudian sepupu Zakia yang serdadu Kerajaan Belanda itu, menyatakan dirinya sebagai pemeluk Islam. Meskipun untuk itu ia harus dikucilkan oleh rekan-rekannya.
***

“Selamat datang di Jepang…”

“Siapakah nama Anda? Perjalanan Anda menyenangkan?”

Terima kasih

maaf permisi

penginapan tradisional Jepang

“Selamat siang nona mahasiswi. Selamat datang!”

“Selamat siang Nyonya, terima kasih.”

kampus
“Maafkan… Saya kira ada kekeliruan di sini…”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun