Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Maaf, Saya Nggak Punya Pengalaman Ngelamar Kerja!

6 April 2010   08:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:57 2691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_111925" align="alignright" width="200" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Orang Perancis bilang, sepanjang daur hidupnya manusia hanya memiliki tiga tahap saja: lahir-hidup-mati. Saat lahir, kita tidak pernah ingat dan tidak pernah menyadari kelahiran kita. Mati pun demikian, kita tidak  pernah ingat dan tidak pernah menyadari kematian kita. Yang kita ingat dan kita sadar adalah saat kita hidup. Sepanjang kita hidup, sampai saat Anda membaca tulisan ini atau saat saya menulis catatan ini, adalah momen-momen kejadian penting dan berkesan yang masih kita ingat dengan baik. Cobalah ingat-ingat kembali, mungkin Anda terkesan dengan saat-saat pertama kali mengenakan seragam sekolah dasar, saat pertama kali mengenakan pakaian pramuka, saat pertama kali berkelahi, saat pertama kali berkemah, saat pertama kali nge-date, saat pertama kali jatuh cinta, saat pertama kali putus cinta, saat pertama kali menikah, saat pertama kali bercerai, saat pertama kali memiliki anak, saat kita melamar, saat kita mengalami malam pertama, dan seterusnya... Semua meninggalkan kesan mendalam dan bahkan immortal dalam ingatan kita. Omong-omong soal pengalaman pribadi, saya tidak akan pernah lupa perjumpaan pertama saya dengan makhluk gaib (momen ini nanti saya ceritakan di kemudian hari karena berbau mistis). Saya tidak akan pernah lupa waktu malam pertama (please jangan berpikir yang macam-macam dulu!) kali saya tidur di kost-kostan sendiri saat saya kelas dua SMP sekitar 30 tahun lalu (waduh... berapa tahun sudah usia saya sekarang?). Saya tidak akan pernah lupa waktu pipi saya kena gampar untuk pertama kalinya oleh Pak Mamat, guru sejarah di SMPN 1 Tasikmalaya gara-gara saya tidak ikut baris-berbaris 17 Agustusan (bukan karena nggak cinta Tanah Air, lho, waktu itu sih males aja!). Tetapi saya juga tidak akan lupa waktu pertama kali..... (hemmm...  tebak sendirilah!). Momen kematian Ibu juga masih membekas dalam ingatan saya sampai saat ini. Saya sebenarnya cuma mau menceritakan pengalaman pertama kali bekerja secara Topik Pilihan Kompasiana kali ini bertema "Pengalaman Kerja Pertama", kok ya sampai muter-muter kemana-mana hahaha... Okay, yang ini serius! Pertama kali saya bekerja di Kompas dan sampai sekarang saya masih bekerja di Kompas. Seperti saya menikah, saya hanya punya pengalaman melamar pekerjaan sekali saja! Jadi sepanjang hidup saya, saya paling tidak punya pengalaman melamar kerja, wong cuma sekali itu saja. Bisa bekerja di harian Kompas yang masuk kelompok usaha Kompas-Gramedia, adalah cita-cita saya sejak pertama kali menjatuhkan pilihan kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universita Padjadjaran. Kala itu hanya ada empat jurusan di sana, yakni jurnalistik, hubungan masyarakat, penerangan, dan perpustakaan. Uniknya, saya mengambil jurusan yang terakhir: perpustakaan! Kenapa saya tidak ambil jurusan jurnalistik saja, bukankah saya gemar menulis? Ini cuma persoalan taktis-strategis saja. Kalau memilih jurusan itu, khawatir peminatnya membeludak sehingga peluang diterima di UNPAD menjadi lebih tipis. Maklum, jurusan jurnalistik termasuk yang paling diburu saat itu. Strategi saya tidak meleset, saya diterima di jurusan perpustakaan! Masih UNPAD, toh? Kebayang 'kan apa yang dilakukan para mahasiswa dan dosen di jurusan yang lekat dengan buku ini! Ya, kutu bukulah, seriuslah, kurang gaullah, pokoknya.... maaf, nggak kerenlah! Ah, peduli amat, yang penting saya masih bernaung di bawah Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD! Saya enjoy saja menuntut ilmu di Sekeloa, di kampus FIKOM lama sebelum pindah ke Jatinangor. Saya bertetangga dengan Fakultas Kedokteran Gigi, sering melihat mahasiswi-mahasiswi FKG yang "herang mencrang" alias mengkilat (baca cantik), sampai-sampai saya harus menelan ludah ke tenggorokan beberapa kali (glek!) saat saya berpapasan dengan mereka! Pernah "pedekate" dengan seorang mahasiswi FKG asal Sumatera Barat, alhamdulillah dapet..., dapet kecewa berat hahaha... Mahasiswi FKG itu lebih memilih anak ITB, gubrak! So, sampai sekarang saya rada-rada menaruh "dendam" sama anak-anak ITB hehehe... memang sih kadang saya nggak bisa ngukur diri sendiri. Wong mahasiswa FIKOM aja nggak ada yang lirik, apalagi anak-anak FKG yang terkenal karena high level-nya. Bukan maksud merendahkan mahasiswi FIKOM sendiri lho, yang ketika beberapa waktu lalu kami chat di Facebook, diam-diam ada yang menulis, "Sebenarnya dulu aku naksir kamu lho!" Gubrak, gubrak... (dua kali!). Bagaimana mungkin saya bisa tahu kalau dia naksirnya dalam hati hihihi.... Sekarang dia punya banyak anak, halah.... subur amat, ya! Saya melamar ke Harian Kompas saat masih menyusun skripsi. Belum lulus. Tetapi di Harian Kompas akhir Desember 1989, sudah ada pengumuman "lowongan kerja" untuk wartawan dan pustakawan. Untuk wartawan syaratnya harus S1, harus sudah lulus dan berijazah strata satu. Demikian juga untuk pustakawan, harus sudah lulus S1. Wah, saya baru lulus kira-kira April 1990, masih sekitar lima bulan lagi. Saya nekat menulis lamaran kerja pada secarik kertas dan melampirkan "ijazah" berupa nilai seluruh mata kuliah yang saya ikuti. Selembar saja, tetapi lampirannya fotokopi artikel dan tulisan-tulisan saya di berbagai majalah dan koran. Sekedar menggebrak perekrut saja bahwa saya orang yang pantas bekerja di lingkungan media yang lekat dengan dunia tulis-menulis, padahal akal-akalan saja hahaha... Eh, saya dipanggil tes kerja. Pernah saat tes saya terpaksa harus bermalam di aula Gedung PGRI di Tanah Abang karena tidak ada kamar tersisa. Untung petugas Gedung PGRI menaruh iba kepada saya (wajah saya memang mengiba saat itu), lebih karena saya datang dari jauh dan datang sudah jelang Isya pula. Eh malam hari saat tidur, saya didatangi makhluk gaib, yang dengan seenaknya mengangkat tubuh saya dari atas ranjang lipat. Mau berteriak tidak bisa, saya hanya melongo bego saja sebelum saya dijatuhkan kembali beberapa saat kemudian.Keringat bercucuran, padahal jam masih menunjukkan pukul 2 dinihari hiiiyyyyy.... Setelah menempuh lima bulan tahap testing, maka pada 1 Mei 1990 saya tercatat sebagai karyawan tidak tetap dan pada 1 November saya menjadi karyawan Kompas di Pusat Informasi Kompas (PIK). Pekerjaan saya tidak lain bergelut dengan pelayanan informasi dan sesekali mengolah (baca menjahit) informasi sehingga bisa menjadi informasi siap pakai. Saya menyusun profil perguruan tinggi di Indonesia. Modalnya cukup mengandalkan nama besar Kompas. Saya menulis permintaan untuk dikirimi buku kepada seluruh perguuruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia. Tidak disangka, mereka antusias sekali berkirim bahan-bahan, bahkan beberapa perguruan tinggi di Jakarta ada yang mengirimkan langsung bahan-bahannya sambil kenalan. Setelah itu saya bikin profil perguruan tinggi. Saya mengumpulkan berbagai informasi kecelakaan pesawat yang besar-besar, lalu disusun secara kronologis dan diserahkan ke Litbang Kompas. Saya juga menyusun sejarah Harian Kompas sampai-sampai saya harus wawancara langsung kepada Pak Swantoro dan Pak Jakob Oetama lewat telepon. Hasilnya sejarah Harian Kompas yang paling awal yang menurut saya cukup komprehensif telah tersusun dan siap pakai. Tetapi belakangan saya terkejut karena hasil kerja saya menyusun sejarah Harian Kompas diklaim sebagai karya orang lain hahaha.... ya sutralah! Saya menjadi banyak tahu bagaimana mengolah informasi yang tercecer menjadi informasi yang siap pakai sebagai bank data saat dunia internet belum mewabah. Saya membaca majalah Time, Newsweek, Far Economic Eastern Review dan Majalah Tempo karena saya harus mengindeks, agar informasi di dalamnya bisa "dipanggil" kembali dengan cepat hanya dengan mengetik kata kunci. Saya juga menyerap dan membaca buku-buku terbaru di berbagai bidang, sebelum orang lain (termasuk wartawan) membacanya hehehe.... Pokoknya, saya haus dan rakus informasi sampai-sampai seri buku Pramoedya Ananta Toer saya lalap habis di sini. Karena saya kena shift malam dalam kerja, maka saya lebih bersyukur karena pada malam hari permintaan akan informasi relatif rendah. Terlebih lagi, saya tidak harus melayani permintaan informasi dari masyarakat umum sebagaimana saya kerja pagi hari. Pada malam hari, saya lebih produktif menulis. Energi saya saya habiskan untuk menulis artikel untuk koran majalah di bawah KG dan cerpen atau cerbung untuk majalah/koran KG dan luar KG. Saya menulis artikel di Majalah Intisari, menulsi cerpen di Majalah Bobo, Hai dan tabloid Nova, dan pernah menulis opini di halaman 4 (sekarang halaman 6-7) Harian Kompas yang bergengsi! Tahun 1992 di Majalah Intisari saya menulis "Koran Tanpa Kertas" yang beberapa tahun kemudian menjadi "koran online" seperti yang kita kenal sekarang ini. Tahun 1991 di harian Kompas saya menulis artikel mengenai CD-ROM ketika barang itu masih menjadi angan-angan! Karena seringnya menulis di berbagai majalah dan koran, maka saat ada kesempatan rekrutmen wartawan Kompas tahun 1994, saya mengikuti tes lagi, tetapi tidak harus melamar lagi. Saat itu "tiket" menjadi analis di Litbang Kompas sudah saya genggam (ceritanya naik peringkat bo!). Saya hanya bilang kepada Pak Swantoro yang kala itu sebagai kepala sekolah Diklat Kompas kalau saya berniat menjajal tes wartawan. Setelah diikuti, eh, diterima juga.... maka sejak April 1994 saya mulai masuk diklat dan setahun kemudian lulus sebaga wartawan Kompas untuk meliput di lapangan. Pada bagian ini, maksud saya sebagai wartawan, saya sudah tidak punya kesan lagi, sebab hampir tidak ada kejutan. Saya sudah terlalu percaya diri, karena empat tahun belajar sendiri (otodidak) mengolah informasi dan menuliskannya, cukuplah bekal bagi saya sebagai jurnalis yang dituntut memiliki kedalaman dalam menulis (tidak melulu sebagai "corong" atau perekam saja). Hanya saja yang saya sayangkan, saya harus menenggelamkan kemampuan saya dalam menulis fiksi (cerpen dan cerbung/novel) karena jurnalis menuntut cara kerja faktual, bukan khayal! Sekarang, ada keinginan untuk kembali menulis fiksi, mungkin dalam bentuk novel sekalian, toh saya sudah jarang turun ke lapangan karena tugas baru saya sekarang di Kompas.com mengembangkan komunitas! Barangkali, itulah sekelumit pengalaman kerja pertama saya yang penuh suka-cita. Sekadar berbagi saja, tidak ada maksud apa-apa!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun