[caption id="attachment_373007" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi - Pemancar telekomunikasi. (Julianny Kaban)"][/caption]
Seorang kawan wartawan surat kabar di Samarinda terkaget-kaget melihat fakta bahwa di sebuah desa perbatasan di Kabupaten Malinau dengan Malaysia, banyak sekali warga yang memiliki smartphone berbasis Android. Namun, smartphone milik warga itu bukan sembarangan smartphone. Heran dan kaget karena di wilayah itu belum ada jaringan seluler yang masuk. Tak ada menara telekomunikasi yang bisa menyambungkan wilayah itu dengan wilayah lain lewat jalur handphone. Terbukti, smartphone miliknya pun tidak dapat digunakan untuk menelepon karena tidak ada sinyal.
Berbeda dengan smartphone milik warga perbatasan. Mereka masih bisa menggunakan perangkat cerdas itu meski tidak ada sinyal. Aneh bukan? Unik bukan? Sang kawan tersebut dibuat terbengong-bengong. Sampai akhirnya dia memberanikan diri bertanya kepada warga setempat.
“Di sini tidak ada sinyal, tapi kenapa banyak warga yang menggunakan smartphone?” ujarnya dengan nada penuh keheranan.
Yang ditanya tersenyum-senyum sendiri. Dia tidak buru-buru memberikan jawaban. Seolah membiarkan penanya menikmati keheranannya. Dia sendiri menikmati mimik penanya yang terheran-heran itu.
“Smartphone di sini tidak dipakai untuk menelepon…” jawabnya kemudian, tetap sambil menahan tawa.
“Lalu?” tanya sang wartawan tersebut makin penasaran. Wajahnya mungkin sudah berada pada level keheranan tertinggi.
“Di sini warga menggunakan smartphone hanya untuk SELFIE dan MENDENGARKAN MUSIK!”
“Hahahaha…” mereka berdua tertawa bersama.
Tapi, cerita di atas adalah masa lalu untuk beberapa wilayah perbatasan. Mungkin di wilayah perbatasan lainnya, masih terjadi. Di sejumlah wilayah perbatasan Malinau dengan Malaysia, kini kondisinya sudah berubah. Smartphone “unik” itu sudah “lenyap” dan kini berfungsi seperti aslinya, yaitu untuk menelepon dan berkirim pesan baik via SMS maupun via email plus berselancar ke dunia maya. Smartphone itu juga sudah bisa digunakan warga untuk bermedia sosial. Perubahan terjadi karena Pemerintah Daerah Malinau membuka akses telekomunikasi, sebagai salah satu program utama di perbatasan, selain membuka akses transportasi. Pemda Malinau terpaksa memberikan subsidi kepada perusahaan telekomunikasi agar bersedia membangun menara BTS di wilayah perbatasan. Dari sisi bisnis, wilayah dengan jumlah penduduk minim tersebut, tidak masuk dalam syarat pembangunan BTS baru oleh perusahaan seluler. Mereka mau, karena pemda memberikan subsidi.
Alhasil, kini jaringan komunikasi seluler di sejumlah wilayah perbatasan Malinau dengan Malaysia, sudah berjalan lancar. Sinyalnya tidak kalah kuat dibanding wilayah lain di Kalimantan. Menurut Bupati Malinau Dr. Yansen TP. MSi., pembukaan akses telekomunikasi itu disambut gegap gempita oleh warga setempat. Bahkan sebagian dari mereka masih merasa tidak percaya, bahwa sekarang mereka bisa menikmati akses telekomunikasi dengan baik. Seorang tokoh adat di perbatasan bahkan menyebut kondisi ini sebagai yang terhebat sejak Indonesia merdeka. “Baru kali ini kami merasakan benar-benar merdeka, setelah 69 tahun Indonesia merdeka!” demikian katanya.