Dalam konteks menyelesaikan masalah, masyarakat Papua sebenarnya lebih memilih menggunakan hukum adat dibanding hukum positif. Dari 310 suku di Papua masing-masing memiliki hukum adat tersendiri yang masih bertahan hingga sekarang. Bagi masyarakat Papua hukum adat dinilai lebih adil dan dipahami semua warga karena sudah diterapkan sejak jaman nenek moyang sementara hukum positif banyak terjadi penyelewengan terhadap masyarakat kecil terutama di pengadilan.
Dualisme hukum adat dan hukum positif sejauh ini menyelesaikan kasus-kasus perselingkuhan, perceraian, pencurian dan penganiayaan dimana pelaku biasanya memilih menggunakan hukum positif sedangkan korban ingin menyelesaikan secara adat yang tuntutannya mencapai miliaran rupiah ditambah ternak babi ratusan ekor dan berbagai jenis perhiasan yang tidak diperoleh melalui pengadilan.
Melihat besarnya sanksi yang harus dibayar oleh pelaku melalui hukum adat atas kasus-kasus di atas, nampaknya perlu dirumuskan pula sanksi-sanksi adat yang tegas untuk para pelaku korupsi di Papua. Sejalan dengan gagasan tersebut, kasus korupsi yang menggerogoti proses pembangunan di Papua membuat Komunitas Masyarakat Adat Papua Anti Korupsi (KAMPAK) angkat bicara. KAMPAK memandang perlu diberlakukannya sanksi adat terhadap pelaku korupsi di Papua di samping hukum penjara dan denda uang.
KAMPAK melalui koordinatornya yaitu Victor Betay mengatakan siap berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait seperti Dewan Adat Papua dan Majelis Rakyat Papua untuk merumuskan bentuk sanksi adat yang sesuai dan mekanismenya serta agar menimbulkan efek jera kepada pelaku korupsi.
Sementara Anggota Dewan Penasehat KAMPAK yang lain yaitu Barnabas Mandacan dan Dominggus Urbon menyatakan sepakat jika diberlakukan sanksi adat bagi pelaku korupsi di Papua. Bahkan Barnabas sendiri telah berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan kejaksaan Manokwari agar lembaga adat diberi peran untuk memberi masukan dalam kasus-kasus tertentu termasuk korupsi. Namun sayangnya terobosan tersebut belum mendapat respon dari lembaga penegak hukum di Manokwari sampai saat ini.
Dominggus Urbon pun berpendapat mengenai pentingnya pendekatan budaya dalam rangka menghentikan perilaku korupsi di Papua dimana jika salah seorang dari anak adat salah satu suku maupun marga yang terbukti melakukan korupsi, maka seharusnya perbuatan itu telah mencoreng dan memalukan nama baik suku maupun marga itu secara keseluruhan. Oleh karena itu, setiap orang asli Papua wajib menjaga kehormatan dan nama baik suku maupun marga masing-masing dengan tidak melakukan korupsi.
Source: bintangpapua.com