Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Pengemis Kembalikan Pemberian Uang Receh, Kita Bisa Apa?

29 Juli 2017   12:10 Diperbarui: 30 Juli 2017   19:06 11556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang pecahan Rp 100, 200, 500, dan permen. Banyak masyarakat yang menganggap uang recehan ini tak bernilai dan penting(KOMPAS.com / Mei Leandha)

Ini kejadian nyata yang bikin saya terbengong sejenak "tak karuan". Campur aduk antara kaget, "kagum", kasihan sekaligus bersyukur tentang hidup saya ini. Jadi bingung mendefenisikannya, namun ada baiknya ditulis untuk berbagi dan jadi bahan renungan. Mungkin kali ini saya lebay. Tapi seperti kata pepatah lama "Tak ada lebay yang tak retak". Ada satu lagi; "Sepandai-pandainya orang tidak lebay akhirnya jatuh lebay juga". Hahahaha! Kalau kelak para pembaca mengalami atau pernah baca ini jadi lebih siap tidak lebay serta diberi penghiburan.

Saat itu saya di Stasiun Gambir. Setelah dari kereta Argo Parahiyangan Bandung-Jakarta saya keluar gedung dan menuju shelter Bis Damri yang berada masih di dalam satu kawasan stasiun Gambir. Rencananya saya akan naik Damri ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Jadwal penerbangan saya masih 4 jam ke depan, jadi masih cukup waktu untuk bersantai sejenak. Usai beli tiket Damri, saya duduk di kursi ruang tunggu. Saat itu bawa empat barang, dua ransel yang nempel di badan, satu tas kecil bertali yang melilit di badan, serta oleh-oleh yang saya tenteng.

Baru saja duduk, saat mau menurunkan barang yang melilit di badan, tiba-tiba didepan saya berdiri seorang bapak menggendong anak kecil. Saya sebetulnya agak kaget karena tidak melihat kapan dia mendekati saya.

Si Bapak berkata, "Pak, bagi sedikit uangnya, saya belum makan". Saya tatap sejenak sosok bapak itu. Badannya terlihat tegap, di pikiran saya Si Bapak sehat. Biasanya kalau melihat kondisi begitu saya akan menggeleng atau tidak akan memberi. Tapi karena ada anak kecil lusuh di gendongannya (pakai kain). Mata anak itu menatap saya, bikin saya tidak tega.

Karena posisi duduk saya yang "ribet" saya tidak bisa ambil dompet di "saku bokong". Tapi saya selalu bawa tas kecil yang selalu diselempangkan di badan. Tas kecil itu biasanya berisi HP, charger, pulpen, note kecil, tiket, dan lain-lain...serta uang recehan dari kembalian belanja ini-itu.

Segera saya rogoh uang recehan dari tak kecil itu dan memberikannya ke Si Bapak. Saya tidak hitung berapa jumlahnya. Si Bapak menerima uang recehan segenggam ala kadarnya itu dan tidak beranjak dari depan saya, melainkan menghitungnya yang ada di tanggannya itu. Saat dia menghitung, saya sebenarnya agak heran. Tak lama kemudian, Si Bapak ngomong kembali ke saya, "Ini pak, ndak usah saja." sembari dia berikan recehan digenggamannya itu ke saya. Secara spontan uang itu saya terima lagi-masih dalam dalam "kebengongan". Kemudian dia beranjak dari saya dan menuju ke dua orang ibu-ibu calon penumpang yang sedang makan nasi kotak. Saya lihat sua orang ibu itu menggelengkan kepalanya, kemudian Si Bapak tadi pergi ke penumpang lain yang di ujung.

Uang recehan "kembalian" yang di tangan saya itu kemudian saya lihat dan hitung, terdiri dari uang logam 100, 200, dan 500 rupiah. Total jumlahnya tiga ribu tujuhratusan. Yang banyak memang recehan 100 dan 200 rupiah. Saya hanya tersenyum kecil, dalam hati, "Hadooh...baru kali ini duit pemberian saya dikembalikan" Heuheueu...

Sumber ilusrasi: bangkoor.com
Sumber ilusrasi: bangkoor.com
Menghargai Uang Receh, Bukan Untuk Jadi Kaya
Saya tidak paham yang ada dipikiran si bapak pengemis tadi dengan jumlah uang recehan yang hanya tiga ribuan. Dalam hati kecil saya terpikir Terserah dia lah...mungkin recehan 3 ribu terlalu sedikit? Gak bisa buat beli nasi bungkus? Aah...terlalu banyak kemungkinan. "Ojo di pikir, om... Aku rapopo". Heu heu heu...

Kejadian itu mengingatkan kebiasaan saya. Selama ini saya tidak pernah membuang uang recehan. Biarpun 100 rupiah nominal terkecil (dulu pernah ada 50 rupiah) tetap disimpan. Di rumah saya punya keranjang khusus untuk simpan recehan dari kembalian berbelanja. Pernah saking banyaknya kalau ditimbang mungkin beratnya mencapai 5-7 Kg.

Uang itu sewaktu-waktu saya dan anggota keluarga pakai untuk keperluan sehari-hari yang membutuhkan uang receh, terutama belanja kecil di warung dekat rumah. Saya juga rajin memungut recehan 500-an di keranjang itu dan menyimpannya di mobil dan jok motor saya untuk bayar parkir. Di setiap tas bawaan saya juga simpan recehan untuk memudahkan bayar belanjaan yang menyertakan uang recehan.

Pernah juga uang receh itu karena sudah banyak di keranjang kemudian saya "jual" ke warung. Saya kelompokkan kedalam nominal yang sama per seribu atau per 5 ribu dan dimasukkan kantong plastik. Pssst! Satu lagi...jangan kasi tau siap-siapa ya...saya juga pernah beli rokok di warung kecil dekat rumah pakai uang receh itu karena waktu itu uang di dompet masih berupa uang kertas keluaran BI terbaru, masih sayang dibelanjakan. Hahahaha!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun