Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Trotoar di Antara PKL, Pengendara Motor dan Pejalan Kaki

17 Juli 2017   16:35 Diperbarui: 17 Juli 2017   22:00 1621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengendara motor yang masuk trotoar. Tribunnews.com

Berjalan kaki di kota, terutama kota menengah seperti orang asing dari planet lain. Berjalan kaki hanya menjadi sebentuk gaya hidup dan berolah raga di akhir pekan. Kurang sekilo meter saja, sudah naik angkutan umum, atau kendaraan pribadi. 

Pergeseran gaya hidup yang diperparah dengan bahu jalan yang tidak ada (di daerah-daerah), kalau kota ya trotoarnya hilang, kalah oleh pemotor, tidak jarang pos polisi, atau jadi lahan parkir, dan sebagian besar menjadi lahan dagang K-lima alias PKL. 

Pemotor yang ngamuk ini kan bukan barang baru, semua sudah lupa akan kisah anak di Semarang yang setiap sore mengusir pemotor yang di trotoar, padahal dulu heboh, kini heboh dengan kasus yang identik, tanpa perubahan sikap.

Kemauan bersama lintas lembaga

Bagaimana trotoar dibangun baik, eh polisi mendirikan pos di sana. Jelas ini menyalahi penggunaan yang namanya trotoar. Lihat saja sepanjang jalan yang dilalui. Sekarang banyak daerah ada sistem bus trans, lebih parah lagi, karena jalur pejalan kaki itu dijadikan halte. Ada ruas yang hilang karena terhalang halte. 

Kemauan untuk menegakkan aturan sangat lemah. Pemotor termasuk polisi, dishub sendiri, dan aparat yang lain saja malah menjadi pionir melanggar aturan. Bukan semata trotoar lho. Ada pula sebuah kota yang sepanjang jalan itu sama sekali tidak ada jalur pejalan kaki, semua pinggir jalan itu jadi taman. Indah dan bagus, penuh warna-warni tanaman, lha pejalan kaki ke mana? Satu dua yang masih berjalan kaki akhirnya di jalan raya dengan menyabung nyawa karena ada bus antar-provinsi, motor, dan mobil pribadi yang lewat di sana.

Sikap tegas yang Lemah

Hampir semua hal karena hukum tidak tegas. Bisa karena suap, bisa karena mengedepankan ranah rasa. Kasihan, kan tergesa-gesa biar saja. Coba lihat beberapa pedagang kaki lima itu, awalnya kan hanya meja kecil, karena didiamkan jadi warung kecil, dibiarkan jadi warung permanen, nambah lagi tetangganya, dan jadi besar. 

Termasuk pemotor, awalnya mereka mencoba-coba karena tidak ada tindakan, lama-lama jadi ajang potong kompas. heboh kalau sudah besar, ini sama juga membuang putung rokok ke hutan di musim kemarau, ah kan hanya asap, nanti saja, setelah jadi api ada angin, habis semua. Hukum tidak lagi mampu. 

Fenomena yang ada di mana-mana, dan ramai hanya sesekali. Pedagang kaki lima pun akan geger ketika merasa nyaman, sudah banyak pelanggan, dan tidak lagi mau ditertibkan, merasa tidak bersalah dengan dalih sudah sekian lama.

Upaya yang bisa dilakukan sebenarnya banyak, hanya soal kemauan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun