Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

PNS dan Kenduri

4 Juni 2016   06:28 Diperbarui: 4 Juni 2016   07:15 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PNS dan Kenduri

Apa persamaan antara  PNS dan kenduri? Satu persamaannya, proses macam-macam dapatnya sama satu dus nasi. Banyak budaya yang mengenal apa itu kenduri, yang jelas dalam kenduri itu, siapapun akan dapat satu dus nasi. Soal satuannya bisa macem-macem, ada yang dus, ada yang pakai besek, atau tlangsangan,wadah dari daun pohon kelapa, atau tempat lainnya. Apakah  undangan itu serius berdoanya, apapun agamanya, mau ngantuk, mau disambi ngerokok di pojokan, atau ada yang malah main kartu, bahkan yang tidak datang sekalipun, masih diantar, semua dapat yang sama.

PNS. Selama ini, pegawai yang rajin, bekerja keras dan cerdas, dengan pegawai yang hanya main pingpong, main catur, bahkan yang tidak datang pun dapat gaji yang sama. Lebih luar biasa, sudah di penjara pun masih sama mendapatkan gajinya. Keadilan yang sangat tidak adil karena ada yang kerja keras namun ada pula yang seenaknya sendiri tetap saja masih bisa bekerja. Tidak heran, PNS menjadi beban negara dan menjadikan iri dari pihak swasta.

Apakah layak memecat PNS?

Layak sepanjang itu pegawai yang bekinerja rendah. Kriteria kerja buruk misalnya sekian hari baik terus menerus tidak masuk kerja. Sekian kali terlambat tanpa ada alasan yang jelas, atasan langsung sangat berperan. Kasihan bagi pegawai yang rajin dan serius bekerja mendapatkan label pemalas, ini sudah rahasia umum, bisa dllihat di mana-mana.

Ada anggapan kalau masih kurang PNS, ini soal distribusi. Persoalan itu distribusi, di sekolah tertentu, biasanya sekolah favorit kelebihan guru, namun dengan rombel sertifikasi hal ini sudah terjembatani. Masalah di tempat lain, karena KKN yang puluhan tahun membuat penumpukan di suatu tempat dan di lain tempat kekurangan. Berkaitan dengan KKN.

Rekrutmen yang kacau balau, bertahun-tahun seleksi PNS model kolusi dan nepotisme. Ini salah satu yang perlu penanganan. Jika nepotis tapi berkualitas masih bisa lah diterima, kebanyakan yang nepotis ini biasanya tidak berkualitas dan kembali menjadi beban negara. Hanya menjadi benalu. Tandanya, bukan jurusannya namun ada di sana, model ini  perlu direposisi lebih dulu, sehingga kinerja menjadi lebih baik.

Raja-raja kecil model pilkada langsung membawa gerbong maksiat yang tercipta. Maksud baik dengan alam demokrasi namun ternyata disusupi mental rakus dan maruk, membawa gerbang timses untuk menjadi kepala-kepala dinas dan tempat-tempat basah lainnya. Untuk bisa duduk di sana, juga butuh doit, dan menjadi rantai maksiat baru, akhirnya suap, main anggaran, dan sejenisnya  tercipta, terjadi, dan memang terdengar sangat pesimis dan buruk, paling tidak, hal ini bisa terjadi di sana. Mengerjar baliknya setoran untuk beaya pilkada dan pileg tentunya.

Seleksi dengan ketat yang hendak dipecat sangat perlu sehingga tidak semena-mena, karena banyak rangkaian, seperti anak istri-suami yang pasti ikut menjadi korban. Sepanjang memang tidak layak dipertahankan tentu tidak masalah, namun harus selektif dan tidak sembarangan. Misalnya sudah divonis bersalah dalam berbagai jenis kasus, narkoba, indisipliner, suap, maling dan korupsi, lebih sibuk di partai dari pada kerja demi negara dan bangsa.

Pengawasan perlu, bukan hanya papan nama dan malah seperti jeruk makan jeruk. Penegakan aturan dan hukum yang selama ini hanya seperti macan ompong dan berkutat pada prosedural semata. Bertahun-tahun kinerjanya yang begitu-begitu saja, belum banyak beranjak dan berubah. Perubahan nama belum memberikan angin segar selain hanya soal mengubah nama belum mentalitas dan gaya kerja.

Belajar dari BUMN dan swasta sehingga kinerja bisa meningkat, efisien, dan layak bersaing sangat penting. Tidak ada salahnya belajar demi kebaikan. Belum tentu bahwa swasta lebih buruk. Menjadi ironis lagi ketika justru negeri menjadi rujukan dan pedoman penilaian, paling jelas rumah sakit dan sekolah, sedangkan kualitas kedua lembaga itu sering jauh lebih baik swasta, namun mau tidak mau swasta harus distandarisasi dengan negeri. Pola kerja mereka memang sudah banyak beruabh namun bisa lebih baik lagi dan bisa, hanya saja riskan diboikot dan bisa menjadi masalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun