Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mahasiswa Mem-"Bully", Ironisnya Dunia Pendidikan

17 Juli 2017   07:27 Diperbarui: 17 Juli 2017   12:30 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mahasiswa Mem-bully, Ironisnya Dunia Pendidikan

Kemarin, ramai diberitakan soal mahasiswa yang sedang "ngerjain" rekannya yang berkebutuhan khusus. Pertama membaca judul, ah ini anak sekolah dasar, atau maksimal sekolah menengah. Lebih kaget ternyata mahasiswa, maha lho, bukan hanya siswa. Mengapa begitu dangkal anak muda bangsa ini di dalam bersikap?

Beberapa hal bisa menjadi sebab akan kedunguan, kekanak-kanakan, dan sikap tidak menghargai rekan berkebutuhan khusus.

Satu, sejak kecil, dididik, dibiasakan untuk meledek rekannya yang berbeda, bisa karena agama, rambut, atau kulitnya. Lahirlah istilah-istilah, paraban,bukan pariban lho. Panggilan kesayangan karena "perbedaan" yang kita miliki. Biasanya usia sekolah menengah atas banyak berkurang, eh ternyata hingga mahasiswa ada yang masih tinggal.

Dua, candaan itu bisa memang menjadi sarana pengakraban diri, sebagaimana di alami di sebuah asrama biasanya sampai tua pun akan suka cita mendapatkan nama baru itu, namun perlu ada kesadaran dan pendidikan untuk menerima keadaan "berbeda" itu dengan jernih, pola pikir yang sama.

Tiga, budaya instan yang tercipta makin menguat akhir-akhir. Media sosial, berbagi video yang mudah dan murah, menjadi jalan pintas untuk mendapatkan eksistensi diri dan popularitas, sayangnya abai akan kemanusiaan.

Empat, keteladanan, lihat saja bagaimana elit politik terutama, menggunakan segala cara, membenarkan semua jalan untuk mendapatkan hasil. Paham ini suka atau tidak akan ditiru oleh generasi muda.  Pemaksaan kehendak oleh orang dewasa dalam banyak kasus, dan pemberitaan dengan gegap gempita membuat bawah sadar anak terpengaruh. Boleh memaksakan orang untuk sama, menjadikan yang berbeda sebagai obyek.

Lima, penyeragamanan dalam seluruh dimensi hidup. Membuat anak menjadi gumun, aneh, dan lucu kalau berbeda. Sebenarnya kan wajar dengan segala hal yang berbeda itu, namun karena gencarnya pemaksaan kehendak soal mayoritas dan minoritas tinggalan kolonialisme yang disukai segelintir elit, merambah ke dunia generasi muda.

Enam,sikap kritis yang lemah. Dunia pendidikan tidak menciptakan manusia kritis namun manusia kreatif yang abai akan kemanusiaan sendiri. Jangan heran kreatif namun  tanpa nilai moral di sana. Bagaimana bisa rekaannya yang perlu bantuan malah menjadi tontonan dan kadang guyonan yang tidak bermartabat seperti itu.

Tujuh, pendidikan tidak membawa anak untuk mengetahui bakat dan minatnya dengan baik. Pilihan jurusan kuliah belum tentu sesuai bakat dan keinginannya, akhirnya iseng dan stres. Akibat dari itu semua kreatif yang tidak berguna.

Delapan, dunia bermain anak makin sedikit. Akhirnya menyalurkan hasrat bermain yang instingtif tersebut pada rekannya yang dipandang bisa membuat hati riang. Sekarang lihat saja berapa persen sekolah yang masih memiliki lahan dan lapangan untuk bermain, apalagi taman yang menyejukkan mata dan hati. Semua jadi beton dan parkiran yang makin luas itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun