Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bullying, Dampak, dan Maknanya Bagiku

11 Desember 2019   08:34 Diperbarui: 11 Desember 2019   08:38 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bullying, Dampak dan Maknanya

Beberapa waktu lalu ada  sebuah status media sosial yang bertanya apa bully-an yang pernah didapat. Lha sya banyak banget, mulai nama, agama, rambut, dan masih banyak lagi. Dan seolah waktu itu dunia runtuh.  Lha mau apa lagi coba, semua tertuju ke satu pribadi dan jelas tidak berdaya.

Soal agama, ada yang kalau ketemu selalu mengatakan, kapir nek mati dipentheng. Selalu, dan diam saja. Syukur sekarang belum pernah ketemu, walaupun pastinya dia gak akan berani lagi, atau malah lebih berani entahlah. Kecil kemungkinan lebih berani melihat keberadaan kekinian kami. Gaya dikit, sal sekolah dia pastilah ngeper.

Satu yang jauh berdampak lebih mengerikan dan itu hingga detik ini. Tepatnya bukan bully-an mungkin tetapi intimidasi oleh maaf almarhum guru. Ketika menyanyi bibir saya dipegangi dan itu hingga sekarang, jari dan pewarna kuku guru itu masih kuat melekat dalam benak saya. Cara beliau berdiri, di mana saya duduk, dan ketika pelajaran seni musik saya sudah keringat dingin duluan, dan itu berkepanjangan ketika seminari juga ada mata kuliah cantus. Dan belum sembuh apalagi itu ketrampilan juga.

Nama. Ha, ha, ha jadi diingatkan tadi pagi ternyata pernah ada Kner memanggil saya ibu, saya tidak ingat karena saking walehe. Lha ada Kner juga menyebut PP saya dikira pacar/pasangan, mentang-mentang ganteng dipakai terus. Lha emang saya hombreng apa.

Kisah panjang juga untuk menerima nama ini, lha bagaimana ketika cucu keponakan bertanya panggil apa, panggil saja opa, opa siapa, Susi, lha opa kog Susi. Ini belum seberapa. Dan sykur bahwa sudah berdamai dengan nama.

Kisah nama berakhir 2003, ketika retret di sebuah paroki, di pantura. Sore sebelum pembukaan, kami diperkenalkan kepada umat, dan selesai misa,  basa-basi dengan umat dan biarawati di sana, eh ada suster yang nyolot dengan genitnya, susiiii. Dan itu masih sangat terngiang tetapi mengubah saya. Spontan bilang a** terucap. Teman satu angkatan sih ngakak tahu banget apa yang terjadi.

Paginya ada anak kelas lima, yang mengatakan, frater, kata mama to, kalau jadi rama dan pakai jubah mesti cantik, cantik lho bukan ganteng. Lak sarap. Soal nama selesai apalagi setelah itu sering jadi tukang rekoleksi, untuk menjadi pusat perhatian, maksudnya peserta mendengarkan itu penting. Lha kenalan saja sudah membuat mereka mendengar dan ingat, mengapa mesti ngomel bukan?

Itu kisah, apa artinya bully-an kemudian,

Setiap anak tidak ada yang mau menyakiti temannya, ini penting dipegang dulu. Anak hanya becanda. Berbeda ketika berbeda usia dan kelas pelakunya, dan pihak dewasa yang jauh lebih penting memberikan peran menerjemahkan itu sebagai apa. sangat tidak mungkin anak menyakiti dan merendahkan.

Bahasa komunikasi yang terbatas. Anak sejatinya mau berkomunikasi. Bagaimana menyatakan apa yang terjadi, namun belum bisa. Dan itu sangat mungkin juga didikan menjadi rujukan utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun