Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Intoleran dan Ide Perbaikan Kurikulum Calon Guru, Menjawab Persoalan?

20 Oktober 2018   15:00 Diperbarui: 20 Oktober 2018   15:16 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menarik hasil penelitian UIN Jakarta yang menemukan guru beragama tertentu memiliki paham intoleran, hingga 57%. Mendiknas yang cukup sigap menanggapi bahwa perlu adanya perbaikan dalam kurikulum calon guru yang akan bekerja sama dengan Menag sebagai pemangku kebijakan mengenai kurikulum calon guru agama.

Membaca apa yang menjadi hasil penelitian, sepanjang pemahaman saya, ternyata  bukan hanya guru agama, sebagai responden, namun guru beragama. Artinya, ini tidak menjawab persoalan secara menyeluruh, sebagai sebuah upaya baguslah, namun perlu dilihat secara mendalam lagi.

Sebelum melanjutkan ulasan, ada dua kisah yang sebenarnya pernah juga menjadi ilustrasi dalam artikel lain, namun saya lupa.

Kisah satu. Ini berkaitan dengan pendidikan teologi di kampus yang berbicara secara mendalam mengenai teologi. Ke dua kampus menjalin komitmen, bahwa setiap tahun   mahasiswa semester empat akan saling bertemu dan berdiskusi. Tahun ini kampus A menjadi tuan rumah dan tahun berikut kampus B. Ketika menjadi tuan rumah memang bagus, ramah, dan bisa terjadi diskusi dan pembelajaran bersama. Berbeda kala menjadi tamu, mereka tidak datang, tidak memberikan konfirmasi, dan dihubungi tidak bisa.

Kisah kedua, ini langsung berbicara oknum guru agama dan jelas beragama. Rumahnya berhadapan dengan seminari. Ia memberikan syarat kalau lonceng kapel tidak boleh dibunyikan selain Natal dan Paskah saja. Guru ini di sekolah tidak mau bersalaman dengan guru agama dan beragama lain, padahal guru di sekolah negeri. Aneh dan lucunya, rumahnya yang juga kost-kostan menerima mahasiswa teologi Kristen.

Jika kita mau melongok ke kantor-kantor kementrian agama, belum pernah sekalipun mengucapkan selama hari raya agama selain Hari Raya Idul Fitri. Jadi intoleran ini bukan semata konsep kata, namun jelas sudah ada sejak pikiran, termasuk di mana kementrian dan jajarannya yang mengurus soal agama. Benar tidak aa urgensinya ucapan selamat ini dan itu, namun itu adalah wujud toleransi yang paling kecil dan sederhana saja tidak mampu mereka lakukan.

Hiduplah menjadi bagian kecil, bukan yang dominan. Saya paling tidak suka dengan minoritas dan mayoritas, bahasa politis penjajah yang disukai politikus minim prestasi. Jika mau demikian, akan tahu repot, ribet, dan ketika menjadi bagian yang banyak bisa empati.

Keberanian berinteraksi dan belajar agama lain. Ingat belajar sebagai pengetahuan, dan itu tidak akan pernah mengubah kadar keimanan saya kira. Masak hanya membaca pengetahuan agama lain, langsung luntur imannya. Malah menjadi pertanyaan jangan-jangan imannya memang lemah. Ketika orang hanya tahu sedikit, jangan kaget kalau merasa tahu segalanya, bahkan bisa menghakimi agama lain.

Mengurangi sikap saling curiga, isu Islamisasi dan Kristenisasi, ini produk politikus miskin prestasi, gampang memainkan hal yang sensitif. Sepanjang hal ini belum bisa dibenahi, selalu merasa orang lain akan menggoda kelompoknya, jangan harap akan ada perbaikan sikap terhadap orang lain.

Menghargai kemanusiaan bukan karena labelingnya. Entah mengapa usai 1928 dengan  Sumpah Pemuda yang begitu progresif, maju dalam banyak ide kebangsaan dan pluralis sebagai satu bangsa ini, akhri-ahhir ini malah orang menjadi jagoan untuk memilah dan memilih, bukan kelompokku dan musuh yang boleh dibinasakan. Miris, bukan hanya soal agama, juga suku, ras, dan beda pandangan politik sekalipun.

Dulu tidak demikian, biasa, cair, dan tidak akan ada orang bercanda agama dihukum sebagai penistaan, menghina, sekarang, habis masuk bui, dan demo yang berkepanjangan. Menemukan perbedaan seolah menjadi prestasi. Padahal begitu banyak persamaan, namun mengapa orang suka mencari-cari yang berbeda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun