Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korupsi Dua Generasi, Efek Jera, dan Peran KPK

24 September 2017   07:14 Diperbarui: 24 September 2017   07:33 1268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya memiliki tetangga yang dulu era 70-an mengebor kaki maling, bos tangan zaman itu, pada mata kaki. Si maling yang dibor matakakinya ini, pincang, dia alih profesi jadi penjal kayu keliling. Pincangnya jelas karena peristiwa itu. Anehnya, sepuluh tahunan kemudian si anak-anak dari yang ngebor kaki ini malah jadi maling. Bukan hanya satu, namun beberapa. Salah satunya, dikejar orang sekampung di rawa dengan perahu, bisa lepas. Ujungnya mati dimassa karena menodai gadis-gadis. Eeh malah hari ini membaca kisah korupsi dua generasi.

Wah seru ini OTT KPK yang membuat banyak pihak sensi  tambah amunisi saat seorang walikota kena tangkap tangan  karena OTT KPK. Apalagi ayah pemimpin daerah ini, dulunya juga kena kasus yang sama. Korupsi saling berganti suami ke istri yang menjabat dan kena kasus yang sama, seingat saya cukup banyak. Jika dua generasi  mungkin baru ini. Rekor tersendiri, tidak ada efek jera bahkan malu sekalipun seolah tiada.

Hukuman Sosial mendesak diperlakukan. Orang hanya berteriak soal KPK yang ini itu, lembaga yang begini dan begitu, atau semua perebutan peran saja, perebutan pepesan kosong yang tidak ada kontribusinya bagi bangsa dan negara. Hukuman sosial dipermalukan dan dimiskinkan jauh lebih mendesak daripada berkutat pada pansus KPK yang makin hari makin tidak jelas itu.  Dalih soal HAM dan praduga tak bersalah selalu membuat para maling tidak pernah berubah dan bertobat. Tobat atau sesal hanya di mulut, nyatanya mengulang lagi dan lagi.

Bentuk hukuman lain adalah, sanksi sosial untuk tidak memilih yang pernah terlibat dalam korupsi, toh nyatanya orang yang korupsi masih bisa dilantik di penjara. Memang kejam kalau anak koruptor tidak mesti korupsi, namun sebagai bentuk hukuman sosial sangat penting. Tidak ada kaitannya dengan dendam, namun efek jera. Hal ini belum disepakati sebagai musuh bersama, dan dianggap angin lalu, maling lagi dan lagi, menyesal dan maling lagi.

Bentuk mempermalukan lainnya juga patut diberlakukan, misalnya menjadi pekerja sosial, menyapu jalan-jalan protokol di mana pernah ia menjabat. Dalih HAM lagi, lha dia maling memangnya juga mikri HAM? Dendam? Dendam apanya kalau tujuannya untuk memperbaiki diri kog dan kehidupan bersama. Jika  motivasinya hanya mempermalukan tanpa manfaat iya itu namanya dendam. Beda tentunya. Hal ini perlu dipahami.

Pemiskinan ini menjadi sangat mendesak karena sekian lama makin banyak saja yang maling tanpa malu. Bayangkan saja bagaimana masih punya modal untuk nyaleg atau nyabup-nyagub dan sebagainya seusai dari tahanan. Atau melalui pasangannya, istri atau ganti suami, anak atau menantu. Dan ironisnya kembali maling atau korupsi lagi. Masalah lain yang ngikut adalah soal masyarakat yang mudah lupa dan mudah diiming-imingi uang. Pemilu yang masih bisa dibeli tentu masalah yang mendasar dari korupnya birokrat bangsa ini.

Sikap yang penting kaya, takut miskin bukan khawatir malu. Soal sah atau tidak, hak atau bukan tidak menjadi perhatian. Penghormatan akan materi daripada prestasi, kekayaan dan penampilan daripada harga diri karena budi baik membuat bangsa ini tidak malu korupsi yang penting kaya dan terpandang. Segala cara dipakai dan digunakan untuk bisa memperoleh kedudukan, lingkaran setan kemarukan antara kuasa dan suap saling bertautan. Perilaku malu miskin meskipun jujur bukan menjadi pertimbangan. Yang penting kaya asal usul bukan yang utama. Hasil membenarkan cara, eh lebih fasis daripada Barat yang dicela ternyata.

Peran KPK tentu sangat krusial, namun tentu tidak bisa sendirian. Benar bahwa ada kelemahan dan kekuarangan dalam semua lembaga di Indonesia, namun saling melengkapi dan menyempurnakan menjadi lebih penting daripada merasa  lebih baik sendiri dan pihak lain salah. Selama ini masih lebih banyak perselisihan, iri, atau curiga akan lembaga lain. Kebanggaan korps dan lembaga secara berlebihan, sehingga malah membenarkan apapun yang dilakukan rekan karena sekantor. Yang salah orangnya bukan lembaganya. Lepaskan label untuk kebaikan bersama.

Jelas kalau dua generasi melakukan hal yang sama, bukan salah KPK namun mental maruk yang perlu dibenahi. Semoga hal ini menjadi pembelajaran bersama bukan saling menyalahkan namun mencari pembenahan. Peran pendidikan menjadi penting, bukan soal warung atau toko kejujuran yang tidak mengubah sikap mental itu. Bagaimana ada warung kejujuran di sekolah, namun ujian bisa saling contek dengan leluasa tanpa ada teguran dari guru pengawas. Bisa-bisanya ketua panitia mengatakan tolong jaga anak-anak kita, jangan ketat-ketat toh anak sendiri. Ujian dan nilai bisa dipesan dengan instan, kebocoran hal yang lumrah, ada warung kejujuran, lha untuk apa coba.

Atau pemuka agama menyerukan soal kalimat suci namun korup, melakukan tindak asusila di depan mata. Menerima sumbangan dengan ramah kalau tidak ada uang enggan datang. Korupsi itu luas, kesamaan maksud dan menjadikannya musuh bersama tentu lebih mendesak daripada ribut soal keberadaan KPK.

Mosok korup kog dua generasi, apa tidak malu pada Ibu Pertiwi?

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun