Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kewajiban Garasi Tanpa Mengubah Tabiat, Solusi Partial

19 September 2017   18:11 Diperbarui: 19 September 2017   18:15 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ide pemaksaan memiliki garasi sebenarnya baik-baik saja, namun belum menyentuh akar masalah kemacetan sebenarnya bukan hanya Jakarta. Jauh lebih mendasar adalah gaya hidup pamer dan memajang kekayaan. Masih diperparah tidak mau kerja keras dan kerja cerdas.

Benar bahwa salah satu kemacetan karena bahu jalan menjadi tempat "penyimpanan" mobil atau menjadi garasi. Namun bukan satu-satunya masalah yang bisa mmenjadi jalan keluar untuk memperbaikinya. Karakter dasar yang menjadi bagian utuh soal tidak mau kangelan,tidak mau susah, ada garasi pun banyak lho yang tidak memasukkan kendaraannya ke dalam. alasannya tergesa-gesa, atau bisa saja malah depan garasi itu esok hari sudah "dipalang" kendaraan lain, dan aneka dalih lainnya. ini soal karakter bangsa yang abai.

Rumah Makan, Perkantoran, dan Pertokoan

Jangan salah mereka juga menyumbang banyak masalah ketertiban hidup bersama. Mereka tidak menyediakan kantong parkir yang cukup untuk konsumen mereka. Dan lagi-lagi penyakit, "parkir liar" pun lebih menjanjikan, biasanya jalan di sekitaran kawasan itu, baik mall,rumah makan besar, dan sejenisnya. Enggan susah dan jauh lebih murah biasanya. Artinya garasi belum akan menjamin, jika perilakunya masih tetap sama saja. Lebih parah bahkan sekarang sekolah dan kampus pun kritis parkiran, karena hampir semua siswa atau mahasiswa bermotor, dosen, guru, dan sebagian mahasiswa atau siswa pun bermobil. Jelas tidak akan cukup seluas apapun parkiran, jika pola pikir dan karakternya tidak diubah.

Gaya Hidup Pamer

Salah satu penyakit yang dari abad ke abad belum sembuh adalah pamer. Lihat saja bagaimana orang berlomba-lomba memajang mobil, hape,tas, atau asesorisnya kadang malah norak. Yang tidak mampu akan membeli atau memaksakan diri membeli yang sebenarnya tidak layak lagi jalan pun tidak menjadi soal.  Persoalan ini juga harus diatasi dulu dan lebih mendesak, soal karakter.  Tampilan luar menjadi prioritas. Mau angkutan umum bagus, nyaman, pun tidak akan berpengaruh kalau mental ini tidak dibenahi.

Tidak Mau Susah

Sudah sedikit dibahas, bagaimana memilih yang mudah, seperti parkir di tepi jalan, enggan masuk ke kantor, sekolah, pusat perbelanjaan, atau rumah sendiri sekalipun. Ini karakter dan mental yang tidak mudah diubah, apalagi sudah mengerak sekian abad tanpa adanya perubahan dan gerakan untuk memaksa tertib. Ironisnya bahkan polisi dan DLLAJR pun memiliki perilaku yang sama. Bahkan ada kantor SatPol PP yang memarkir kendaraan operasionalnya di bahu jalan depan kantornya, tanpa merasa mengganggu lagi. Asli ada lho.

Mengubah Budaya dan Tabiat

Tabiat dna budaya itu sudah susah diubah. Bagaimana angkutan umum bagus sekalipun kalau tidak bisa pamer mana mau. Keteladanan pun minim, semua berlomba-lomba menggunakan mobil pribadi. Lihat berapa mobil dinas yang diberikan, jangan salah ini pun bagian masalah, staf pun bisa menggunakan mobil dinas kog. Coba berapa banyak luasan parkiran, garasi, dan jalan yang harus disediakan untuk menampung sikap tidak pernah cukup dari pribadi bangsa ini.

Perumahan Bersubsidi pun Memiliki Mobil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun