Mohon tunggu...
Igniz Patristiane
Igniz Patristiane Mohon Tunggu... -

kerja, kuliah, me-time. perpaduan dari legitnya seduhan panas vanilla latte dengan topping whipped cream pada pagi hari yang dingin. dengan menulis di waktu senggang serasa menikmati roti bakar selai nanas dengan taburan keju bagiku :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lena

24 April 2017   14:18 Diperbarui: 25 April 2017   02:00 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tema obrolan Maya sejak tiga hari yang lalu masih sama seperti hari ini. Bahwa adiknya yang nomor dua akan menikah dua bulan lagi. Maya memaparkan detail mengenai persiapan yang sedang dijalani adiknya. Dia seperti buku agenda hidup milik adiknya, yang mengetahui semua hal dan waktu untuk menjalankan serentetan aktivitas pra pernikahan. Hanya saja, ia tidak dapat berbuat lebih. Yang jelas, sebagai kakak yang sudah menginjak usia kepala tiga lalu didahului menikah, selalu menjadi kisah pahit di bagian akhir tema obrolannya. Bagian penutup yang tiada akhir karena Maya mulai mengeluarkan semua perasaan yang menyesaki dadanya dari jam istirahat sampai pulang kerja.

Lena sepertinya sudah mulai bisa beradaptasi dengan suasana hati Maya. Rekan kerja yang duduk di samping mejanya itu sedang galau. Hanya itu sebenarnya. Ia sudah hampir dua tahun bekerja sebagai operator telepon sebuah biro perjalanan wisata. Bersama beberapa rekan kerja yang lain mereka bertugas menerima telepon dari orang-orang yang akan menggunakan jasa wisata atau hanya bertanya-tanya mengenai harga tiket pesawat. 

Mereka memiliki meja kerja masing-masing yang disekat oleh papan kayu mahoni warna hijau pastel. Lena berada di pinggir dan sebelah kanannya merupakan tempat Maya bekerja. Devo ada di sebelah kanan Maya. Seorang lelaki berkaca mata dan bermimik muka tegas, seorang pendiam yang giat bekerja untuk menghidupi seorang istri dan dua anak yang masih balita.

“Pagi sebelum aku berangkat kerja tadi, Vera sudah berisik di dapur,” cerita Maya. Tangannya meletakkan gagang telepon yang baru saja ia gunakan untuk berbicara dengan seorang pelanggan. Sekilas Lena menoleh, dan mendapati Maya sedang berhati-hati agar tidak menimbulkan suara keras saat gagang telepon ia kembalikan ke tempatnya semula.

“Apa ia sedang latihan memasak?”

“Tepat sekali,” Maya memutar kursinya mengarah pada Lena. Ia mulai berapi-api, “Hanya bikin nasi goreng sosis dengan telur mata sapi saja, sebenarnya.” Menurut cerita Maya, ia dan adiknya itu usianya terpaut enam tahun. Lena mengulum senyum, sesaat membalas tatapan Maya yang membulat lebih untuk mengungkapkan perasaan campur aduknya. Lena kembali menulis di atas kertas steno-nya, mulai mengingat urutan angka dari harga tiket pesawat terakhir yang ia tawarkan kepada seorang receptionist salah satu hotel yang baru saja meneleponnya. Beberapa menit lagi receptionist itu akan menelepon untuk klarifikasi pembelian yang tertunda.

“Sebenarnya, aku mengerti dan paham betul bahwa ia sedang di puncak bahagianya,” Maya mulai membuka laci, mengeluarkan beberapa bungkus biskuit berwarna biru tua. Lena menggeleng tatkala Maya menyodorkan salah satunya kepadanya.

“Tidak, terima kasih,” ia mengangkat telapak tangan kanannya, menolak dengan halus sembari sedikit menunduk dan tersenyum. Maya mengangguk-angguk, mulai membuka salah satu bungkus biskuitnya. Lena tidak habis pikir, dari hari ke hari Maya tidak pernah absen dari mengudap biskuit itu. Ia sampai hafal bagaimana cara Maya mengeluarkan tiga keping biskuit bertabur gula itu dari bungkusnya dengan sekali sobekan pada salah satu ujungnya. Setelah membuang bungkusnya ke tong sampah di belakang kursinya ia akan meletakkan isinya di atas sebuah piring porselen kecil warna putih mengkilat. Maya akan menikmati camilannya itu seharian, sembari bekerja, dan terkadang mencelupkannya ke dalam secangkir teh hangat.

“Tetapi, cara Vera menunjukkannya kepada dunia sungguh kekanak-kanakan.” Lena menoleh lagi ke arah Maya. Ia tersenyum, dan memperhatikan tubuh gempal Maya dalam balutan gaun kerja serba hitam. Itu mengingatkannya sekilas mengenai tata cara berpakaian untuk menghadiri upacara berkabung.

Raut wajah Maya tampak lesu dan penuh kesedihan. Mungkin ia sedang sakit hati dan bisa jadi ia juga iri kepada adiknya yang akan menikah.

Lena menunjukkan raut simpatik tetapi tidak terlalu mengasihaninya. Apabila usia Maya terpaut enam tahun dengan adiknya, itu berarti adik Maya empat tahun lebih muda dari dirinya. Iapun menghela nafas. Sedetik kemudian telepon di atas mejanya berdering. Receptionist hotel yang ia nantikan akhirnya meneleponnya kembali.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun