Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

KUR, Manis di Bibir, Pahit di Google

26 April 2017   23:39 Diperbarui: 27 April 2017   18:00 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KUR (Tempo.co)

"KALAU ingin perbesar usaha, modalnya sekarang bisa menggunakan KUR yang (bunga) 9 persen," kata Jokowi saat membuka Inacraft 2017 di Jakarta Convention Center,  Senayan, Rabu (26/4/2017).

Begitulah ucapan Presiden Jokowi tentang penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang tentunya kembali menjadi kabar baik bagi mereka yang berkecimpung di sektor UMKM. Akses modal yang mudah dengan bunga rendah sudah dipastikan menjadi idaman semua pedagang, terutama mereka pedagang “kelas teri”.

Masalah muncul ketika kampanye akses mudah dan bunga rendah itu ingin diterapkan ke perbankan yang telah ditunjuk pemerintah, yakni Mandiri, BRI, dan BNI. Kenyataannya, kampanye akses mudah yang digembar-gemborkan pemerintah masih saja manis di bibir. Tidak percaya? Ayo silakan telusuri mesin pencari Google. Hampir di seluruh daerah terjadi keluhan tentang sulitnya mengakses modal berbasis KUR ke pihak perbankan. Alasannya klasik: KUR tetap butuh agunan. Padahal, KUR sejatinya tidak membutuhkan adanya agunan sebagaimana pinjaman konvensional. Bahkan, kampanye tanpa agunan itu pun sering disuarakan perbankan. Tetapi kenyataannya, pihak bank selalu meminta adanya jaminan berupa surat rumah, BPKP motor atau mobil, atau surat berharga lainnya.

Bunga KUR memang relatif rendah bahkan terbilang sangat rendah apabila dibandingkan dengan model pinjaman lainnya. Harus diakui, terobosan ini sangat membantu mereka yang memiliki usaha yang telah berjalan ataupun tengah terseok-seok. Namun, KUR agaknya tidak cocok bagi mereka yang baru berencana membuka usaha dengan modal seadanya. Modal seadanya, semisal, belum memiliki rumah pribadi dan belum mempunyai kendaraan bermotor. Okelah, mungkin sudah hampir semua pedagang kecil telah mempunyai kendaraan bermotor, tetapi belum tentu cicilan kendaraan bermotor itu telah selesai alias lunas. Dengan kata lain, BPKP motor belum bisa “disekolahkan” ke bank.

Salah satu bukti belum efektifnya KUR merangsang pertumbuhan UMKM adalah masih menjamurnya bank swasta berkelas kecil, yakni Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Hampir di seluruh daerah BPR masih tetap berjaya. Sebagai bank swasta, bunga bank yang diterapkan BPR berbeda jauh bila dibandingkan dengan KUR. Namun, mau tidak mau, BPR masih tetap menjadi primadona bagi pengusaha UMKM. Sebab, BPR tergolong lebih “nekad” meminjamkan uang (tentu dengan bunga lebih tinggi) ketimbang bank lain semisal Mandiri, BRI, BNI.

Poinnya jelas. Seandainya KUR sudah betul-betul menyentuh persoalan akses modal mudah bagi pegiat UMKM, secara alamiah BPR akan mati perlahan. Sebab tak mungkin pegiat UMKM meminjam ke bank (BPR) yang bunganya lebih tinggi, jika KUR memang betul-betul mudah diakses.

Persoalannya, kenapa bank yang ditunjuk pemerintah untuk menyalurkan KUR harus memaksa debitur menyertakan agunan? Konon, jaminan itu disebut sebagai “moral hazard” yang bahasa halusnya bisa dimaknai sebagai “pengikat” agar debitur tidak lalai melunasi utangnya. Di satu sisi, syarat itu bisa dimaklumi lantaran kita tidak boleh juga menutup mata bahwa banyak pedagang UMKM yang enggan melunasi utangnya. Toh, kalaupun tidak dilunasi, tidak ada aset yang akan disita. Namun di sisi lain, adanya agunan juga membebani pedagang UMKM.

Di sinilah simalakama terjadi. Pihak bank dan sebagian besar calon debitur sama-sama berada di posisi kurang beruntung. Jika pihak bank mengguyur KUR tetapi pengembalian macet, pemerintah tentu akan menyalahkan mereka. Sebaliknya, jika persyaratan dibuat terlalu ketat, penyaluran KUR juga akan mengalami hambatan. Sepertinya, persoalan seperti ini sudah terjadi sejak KUR diluncurkan pada masa Presiden SBY.

Kesimpulannya, KUR rasa-rasanya belum mampu menjawab kegalauan sebagian peminat UMKM guna memperoleh akses modal yang mudah. Satu-satunya keunggulan KUR hanya terletak pada tingkat bunganya yang sangat rendah. Selebihnya, tak beda jauh dengan rentenir. Setuju?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun