Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Demi Kepastian Hukum, Taufik Gerindra Sah Jadi Caleg

5 September 2018   21:26 Diperbarui: 5 September 2018   21:44 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
M Taufik (Kompas.com)

Politisi Gerindra M Taufik barangkali tidak terlalu pusing bila gagal melaju sebagai caleg untuk DPRD DKI Jakarta. Toh, ia masih menjabat Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta. Masih berkuasa atas anggota DPRD yang berasal dari Gerindra. Punya kewenangan mengatur anggota DPRD. Siapa ketua fraksi, sekretaris, dan seterusnya, diatur oleh Taufik.

Maka jangan heran, dalam prakteknya, anggota DPRD cenderung memilih memenuhi panggilan Ketua DPD ketimbang menghadiri rapat dengan Gubernur DKI, misalnya. Ya jelas dong, itu karena Gubernur tidak berwenang melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) terhadap anggota DPRD. Kewenangan itu hanya di tangan Ketua DPD, yang tentu saja atas restu DPP.

Melawan titah Ketua DPD bagi anggota DPRD, sama saja harus siap kehilangan kursi empuknya. Ah tidak juga, buktinya Fahri Hamzah justru sukses mengacak-acak PKS, padahal sudah dipecat. Sulit dilengserkan. Fahri memang beda, lain daripada yang lain. Kasus seperti Fahri sangat jarang terjadi dan kemungkinan hanya itu satu-satunya. Tidak ada lagi kasus serupa.

Kembali ke Taufik yang konon juga akan menggantikan Sandiaga Uno sebagai Wagub DKI Jakarta. Bila Taufik gagal maju sebagai caleg untuk kedua kalinya hanya karena peraturan yang dibuat KPU, tentu urusannya menjadi lain. Taufik akan menganggapnya sebagai pertarungan harga diri sebagai politisi. Bagaimana mungkin anggota dewan yang berstatus petahana malah dihambat untuk maju kedua kalinya? Ini tidak adil.

KPU rasanya memang tidak pas mengungkit kembali kasus yang pernah menjerat Taufik pada April 2004 lalu. Kala itu, Taufik memang divonis 18 bulan penjara setelah terbukti merugikan negara sebesar Rp 488 juta dalam kasus pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004. Toh, Taufik sudah menjalani hukumannya hingga kembali ke panggung politik setelah dinyatakan bebas. Itu berarti Taufik sudah kembali sebagai warga negara yang mempunyai hak politik penuh, dipilih dan memilih.

Apalagi, aturan yang disebut KPU menghambat laju Taufik hanya berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legistlatif. Salah satu poin dalam PKPU itu adalah melarang terpidana korupsi untuk maju sebagai caleg. PKPU ini sebenarnya boleh-boleh saja dengan niat menghambat kesempatan mantan koruptor kembali ke arena politik sehingga kembali mempunyai kesempatan melakukan perbuatan serupa.

Tetapi niat itu sepertinya terlalu dipaksakan. Seorang caleg yang pernah melakukan korupsi, tentu tidak bisa dipastikan akan mengulangi perbuatannya jika terpilih kembali sebagai wakil rakyat. Bisa ya dan bisa tidak. Sebaliknya juga begitu, tidak ada jaminan seorang caleg yang tidak pernah melakukan korupsi, akan menghindari perilaku korupsi dan tetap bersih selama menjabat. Tak seorangpun yang bisa menjamin itu.

Berangkat dari ketidakpastian itulah PKPU tentang larangan caleg mantan koruptor menjadi kurang relevan. Dalam kasus ini, KPU justru membatasi hak politik Taufik meskipun telah menebus kesalahannya di masa lalu. Sehingga keputusan Bawaslu sudah tepat dengan meloloskan Taufik sebagai caleg berdasarkan Undang Undang No 27 tentang Pemilu. Hak politik Taufik harus dikembalikan demi adanya kepastian hukum.

Tetapi pertarungan antara KPU-Bawaslu masih harus menungu putusan Mahkamah Agung (MA) tentang uji materi terhadap PKPU No 20. Putusan MA menjadi jalan tengah bagi KPU dan Bawaslu dan wajib dipatuhi, apapun hasilnya nanti. Akan tetapi, bila mencermati PKPU No 20, sangat logis bila MA membatalkan peraturan itu. Hal itu semata-mata dilakukan guna menjamin adanya kepastian hukum bagi seluruh caleg.

Satu-satunya kontroversi dan yang sangat mungkin merugikan caleg mantan napi korupsi hanya terletak pada sanksi sosialnya saja. Massa pemilih berpotensi meninggalkan caleg yang diketahui memiliki rekam jejak negatif di masa lalu. Kendati begitu, caleg mantan napi korupsi bukan tidak mungkin juga meraup suara banyak pada Pemilu nanti. Semuanya tergantung massa pemilih.

Kalau begitu, biarkan saja Taufik sebagai caleg. Urusan apakah ia akan terpilih kembali atau tidak, seluruhnya terserah kepada pemilih. Itulah demokrasi yang sesungguhnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun