Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lima Pembiaran yang Membahayakan Kehidupan Pernikahan

12 Agustus 2017   21:50 Diperbarui: 13 Agustus 2017   08:38 47332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di antara persoalan hidup berumah tangga yang sangat banyak terjadi adalah gejala pembiaran. Yang dimaksud adalah, tidak adanya tindakan untuk mencari solusi, atau untuk melakukan perbaikan, atau untuk keluar dari situasi ketidaknyamanan. Saat pasangan suami istri berada dalam suasana konflik atau ketidaknyamanan hubungan, mereka cenderung membiarkan saja semua berlalu, tanpa ada upaya mencegah agar tidak berkembang, memperbaiki situasi, atau menemukan solusi. Dampaknya, konflik kian meningkat intensitas dan level ketidaknyamanannya akan semakin mengemuka.

Ada sangat banyak gejala pembiaran dalam kehidupan berumah tangga. Suami dan istri yang mulai disibukkan dengan pekerjaan, bisnis, organisasi, hobi, dan lain sebagainya, semakin memiliki alasan untuk membiarkan semua hal yang tidak pada tempatnya. Mereka beralasan, biarlah waktu yang akan menyelesaikan semua. Dampaknya, berbagai persoalan semakin berkembang membesar karena tidak ada tindakan untuk menyelesaikan.

Berikut ini adalah beberapa contoh gejala pembiaran yang terjadi dalam kehidupan suami istri.

  • Membiarkan berkembangnya konflik

Konflik antara suami istri tidaklah muncul dengan tiba-tiba. Konflik selalu ada sebab dan ada tingkatannya. Secara teoritis, ada tiga level konflik. Yang pertama adalah the unvisible conflict, yaitu konflik yang tidak kelihatan di permukaan. Wujudnya adalah perasaan tidak nyaman antara suami dan istri. Yang kedua adalah the experienced conflict, yaitu konflik yang sudah tampak dalam bentuk pertengkaran, kata-kata keras dan kasar, saling menyalahkan, saling menuduh, dan lain sebagainya. Yang ketiga adalah the fighting, yaitu konflik yang sudah menggunakan tindakan fisik, seperti memukul, menendang, mencakar, termasuk menggunakan barang dan benda-benda.

Apabila suami dan istri membiarkan saja terjadinya konflik pada level pertama, maka akan dengan mudah berkembang menjadi level kedua. Dan apabila pertengkaran sudah terjadi namun tidak segera mencari solusi, akan mudah berkembang serta meningkat ke level ketiga. Jika kita perhatikan, terjadinya konflik sampai ke level kekerasan fisik atau KDRT, ini terjadi karena mereka melakukan pembiaran terhadap munculnya konflik pada level sebelumnya. Jika mereka segera mengambil tindakan, maka tidak akan berkembang ke arah yang membahayakan.

  • Membiarkan berkembangnya perasaan ketidaknyamanan

Kadang suami dan istri merasakan suasana ketidaknyamanan dalam interaksi. Mereka merasakan ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang janggal, sesuatu yang tidak wajar, namun cenderung dibiarkan saja. Suami tidak bisa leluasa berbicara kepada istri karena merasa ada sekat; istri tidak berani bicara kepada suami karena merasa takut tidak tepat. Mereka merasakan hal yang sama, namun membiarkan saja perasaan tidak nyaman bercokol dalam jiwa.

Dalam situasi ketidaknyamanan seperti ini, kadang suami dan istri mencari serta menemukan pelampiasan sendiri-sendiri. Istri curhat kepada teman sosialita, suami curhat kepada teman kerja. Bukan penyelesaian yang mereka dapatkan, namun semakin memperuncing keadaan. Seharusnya mereka berdua segera mencari waktu dan suasana yang tepat untuk bercengkerama, mengungkapkan perasaan dan saling membuka diri untuk menemukan solusi. Bukan membiarkan dan mencari pelampiasan di luar rumah.

  • Membiarkan tidak ada komunikasi

Karena merasakan ketidaknyamanan perasaan, akhirnya suami dan istri memilih diam tanpa komunikasi. Ada pasangan suami istri yang saling mendiamkan lebih dari sepuluh tahun lamanya, padahal hidup bersama dalam satu rumah. Karena ada masalah yang tak kunjung terselesaikan, keduanya memilih diam dan tidak saling menyapa. Suasana seperti ini apabila dibiarkan berlama-lama akan mengikis dan mematikan perasaan cinta dalam jiwa mereka. Semakin lama akan semakin pudar kasih sayang di antara mereka, karena tidak disiram dengan komunikasi yang melegakan hati.

Kelihatannya sepele dan remeh, hanya sekedar komunikasi. Namun ini adalah hal penting dalam membangun kebahagiaan dan keharmonisan keluarga. Kegagalan komunikasi telah terbukti melahirkan banyak konflik bahkan sampai tingkat perceraian. Maka jangan pernah membiarkan berlama-lama tanpa ada komunikasi. Pembiaran terhadap kondisi seperti ini akan memperburuk hubungan suami dan istri, bahkan bisa berdampak terhadap anak-anak. Mereka tidak menemukan contoh komunikasi yang nyaman dan melegakan dari orang tua yang seharusnya menjadi panutan dalam kebaikan.

  • Membiarkan tidak ada keintiman interaksi

Ada kalanya suami dan istri berinteraksi dan berkomunikasi secara normatif dan minimalis. Mereka hanya menunaikan kegiatan rutin setiap hari, berbicara seperlunya, berinteraksi seperlunya, tidak ada keintiman dan kehangatan interaksi. Suasana yang monoton, suami dan istri yang memiliki ritme mekanis. Bangun pagi, ibadah, mandi, sarapan, berangkat kerja, kemudian sore hari pulang kerja, malam tidur, demikian seterusnya. Mereka tidak konflik, tidak bertengkar, namun hidupnya sangat standar, tanpa ada sentuhan warna yang menggairahkan.

Seharusnya suami dan istri memiliki keintiman (intimacy) yang sangat kuat dan sangat hangat. Tidak ada corak hubungan yang lebih intim dibanding dengan suami dan istri. Maka ketika mereka kehilangan keintiman, artinya kehilangan keindahan yang sesungguhnya tidak akan bisa dimiliki oleh mereka yang tidak menikah. Keengganan melakukan hubungan seksual dengan alasan kelelahan, atau alasan kesibukan, menyebabkan suasana keintiman semakin berkurang lagi. Sampai titik tertentu dimana mereka kehilangan keintiman, maka hilang pula keceriaan dan kebahagiaan dalam kehidupan pernikahan. Jangan sampai itu terjadi, harus segera diantisipasi.

  • Membiarkan keasyikan sendiri-sendiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun