"Aku rindu seseorang, wahai bintang," kata Sa'ad.
Bintang tak bergeliat sedikitpun, tetap diam dengan sepinya cakrawala malam. Sa'ad tetap berselimut dengan rindunya bersama tiga gelas kopi hitam yang telah habis diseduhnya, sampai waktu menunjukkan sepertiga malam. Sa'ad teringat sebuah peristiwa yang membuktikan dirinya memang pecinta, walau ia tak sanggup bertanggung jawab atas air mata kekasihnya.
****
Saat itu di sebuah jendela, tatapan Sa'ad terpatung oleh dua pasang bibir yang sedang menyemai senyumnya. Saat ia tertawa degap jantung Sa'ad berbeda detaknya, tak seperti wanita-wanita lain yang pernah disapanya, gelombang otak Sa'ad jauh berpikiran dan berangan bahwa wanita itu mewah dalam kesederhanaan parasnya.
"Aku harus mengenalnya, atau setidaknya mengetahui warna kesukaannya," gumam Sa'ad dalam hati.
Sampai di pojok perpustakaan kampus mereka bertemu, di rak buku yang paling belakang. Sa'ad yang pemalu pura-pura cuek, tak tentu buku apa yang sedang dicarinya.
"Kak, mau cari buku apa?" tanya wanita tadi.
Sa'ad masih bingung, tentang buku apa yang ia cari. Ia menerka-nerka jawaban untuk pertanyaan wanita yang ingin dikenalnya.
"Oh, buku sejarah Dik."
"Tunggu..., saya carikan."
Setelah mengelilingi semua rak buku, buku sejarah yang Sa'ad cari akhirnya ketemu.