Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pulau Carey, Kampung Mistis Suku Mah Meri

2 Februari 2017   19:16 Diperbarui: 3 Februari 2017   21:07 3009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua perempuan Mah Meri berjalan menuju Rumah Moyang (dok. koleksi pribadi)

Sewaktu diajak ke Pulau Carey, saya pikir akan menyeberang dengan perahu atau kapal motor cepat dari Damansara, tempat saya menginap selama di Selangor, Malaysia, ke sebuah pulau yang bernama Carey. Jadi, saya pun bertanya, dari mana dan berapa lama waktu tempuh yang diperlukan untuk menyeberang?

+ We don't go for an island hoping Lip, Pulau Carey can be reach by bus.

- Owuoooo

Penjelasan dari beberapa kawan pejalan yang menemani berjalan hari itu pun melahirkan "o" bulat berkepanjangan di bibir serupa orang oon. Sejam perjalanan yang diisi dengan tidur pulas di dalam bus melahirkan ke-oonan kedua sesampai di tujuan. Saat bus berhenti, tanpa pikir panjang saya sigap berdiri dari bangku dan .. praaaank! Otak masih setengah tidur, belum bisa mengingat dan berpikir dengan jernih, hanya mengarahkan mata memandangi sebuah kamera yang tergeletak di lantai bus. Lensanya lepas dari cangkangnya, menggelinding ke kolong bangku seberang. Tak sadar, kamera yang jatuh itu bukan milik tetangga.

Pulau Carey diberi nama mengikuti nama Edward Valentine Carey, pengusaha perkebunan yang berhasil mengembangkan komoditi kopi dan karet di Malaysia hingga dihadiahi sebuah pulau oleh pemerintah yang berkuasa di Malaysia pada abad 19 untuk dikelola. Pulau yang berada di wilayah Kuala Langat itu, letaknya di sebelah utara Kota Banting, di sisi selatan Port Klang, dan dipisahkan oleh Sungai Langat dengan daratan Selangor. Kami sampai di Kampung Sungai Bumbun, yang warganya masih percaya pada mistis, dan saya menerima sambutan selamat datang yang tak biasa. Penghalang pertama untuk mengikuti ritual telah dipatahkan, ketergantungan pada seperangkat kamera dslr!! #nyessss

Turun dari bus, saya mengayun langkah pendek-pendek mendekati sebuah pekarangan rumah orang asli Mah Meri untuk menerima Bunga Moyang. Mahkota yang terbuat dari anyaman daun pandan itu disematkan di kepala. Tok Batin, Ketua Kampung Sungai Bumbun lalu mengajak kami mendekat ke depan semacam para-para kecil yang berdiri di atas rumput, di depan rumah. Dinyalakannya empat batang lilin yang didirikan pada keempat sudut panga, tempat sesembahan di depan kami yang dihiasi dengan janur sebelum dirinya merapalkan sebait doa dalam bahasa Mah Meri yang terdengar sangat asing di kuping. Belakangan, dirinya menjelaskan isi doanya memohon keselamatan kepada tetamu yang boleh sampai dengan selamat di kampung mereka.

Dalam keseharian, orang - orang Mah Meri bercakap dengan bahasa asli Mah Meri. Namun bila berhadapan dengan pendatang, orang di luar Mah Meri, mereka dengan senang hati akan berbincang menggunakan bahasa Melayu. Mah Meri adalah suku terbesar dan tertua dari 18 (delapan belas) suku asli di Malaysia. Mereka, keturunan sea gipsy people dari bangsa Austronesia yang dahulu senang bertualang di lautan sebelum akhirnya memilih menetap di Pulau Carey.

Tarian memanggil spirit moyang (dok. koleksi pribadi)
Tarian memanggil spirit moyang (dok. koleksi pribadi)
Usai berdoa, kami pun duduk di bangku-bangku yang tersedia di serambi rumah. Sambutan kedua, sebuah persembahan tari spiritual untuk memanggil moyang digelar; Tari Topemg. Sebuah gunungan yang terbuat dari pilinan daun nipah dan kelapa ditempatkan di tengah - tengah. Biola mulai digesek, suaranya bersahutan dengan tabuhan gendang (tambo), ketukan buluh, dan dengungan gong yang dipukul; dimainkan tiga lelaki dan dua orang perempuan yang duduk di lantai. 

Salah satu dari perempuan itu mulai pula melantunkan bait-bait lagu dengan menyebut-nyebut Tok Naning. Dari belakangnya, empat orang perempuan berbaju kulit kayu dengan hiasan anyaman daun nipah yang menggantung dari rambut hingga pinggang;  melangkah satu - satu membentuk lingkaran, bergerak mengikuti irama.

Mendengar namanya dipanggil-panggil, Tok Naning, moyang Mah Meri yang baik hati dan selalu berbagi berkat pun keluar. Tak lama, dari belakangnya, menyusul Moyang Pongkol, moyang yang kerap bermain petak umpet, menggelisahkan orang Mah Meri hingga menyesatkan warga di tengah hutan dengan menyamar seperti anak - anak atau orang tua yang baik. Karena dorongan yang kuat untuk bergerak, pada tarian ketiga, saya pun ikut berbaris mengisi lingkaran dan menari bersama mereka, serta diijinkan pula untuk memainkan alat musik; mengetuk - ngetuk buluh, mengiringi para penari.

Rumah Mah Meri di Kampung Budaya Kampung Sungai Bumbun (dok. koleksi pribadi)
Rumah Mah Meri di Kampung Budaya Kampung Sungai Bumbun (dok. koleksi pribadi)
Suku Mah Meri masih memelihara dan menjalankan tradisi ritual nenek moyang. Mereka percaya roh nenek moyanglah yang memelihara, melindungi, dan memberkati kehidupan mereka. Sehingga, pada masa-masa tertentu, mereka datang ke Rumah Moyang, sebuah pondok yang didirikan di tepi kampung, di tengah-tengah kebun sawit, yang dihuni aneka patung nenek moyang untuk berdoa dan mengadakan upacara pemujaan. Dua meter di samping kanan Rumah Moyang, berdiri pondok pertemuan yang cukup lega, tanpa dinding dengan meja dan bangku dari bambu di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun