Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampung Kota Solo

28 Mei 2019   19:25 Diperbarui: 29 Mei 2019   23:42 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajah kampung di kota kini tak lagi sama. Yang dimaksud di sini bukan kampung di kota metropolitan seperti Jakarta, tetapi kampung di kota kecil macam Solo. Berbeda dengan di Jakarta yang tidak atau jarang menggunakan kata "kampung" untuk wilayah hunian warganya, masyarakat Solo menyebut dirinya sebagai warga kampung jika mereka tidak tinggal dalam wilayah kompleks perumahan, apartemen, atau cluster.  Kampung dalam konteks kota kecil seperti Solo adalah lingkungan tempat warganya tinggal, yang antara satu dengan yang lain memiliki nama-namanya sendiri, misal: kampung Keprabon, Kepatihan, Mangkubumen, dsb.

Jika dulu, sekitar 3 sampai 4 dekade lalu, suasana kampung-kampung di Solo sama sekali berbeda dengan wilayah pemukiman di Jakarta atau kota-kota besar, tampaknya hal itu tidak lagi berlaku sekarang. Kampung-kampung  di Solo memiliki atmosfer yang tidak jauh berbeda dengan wilayah hunian di kota besar lainnya yang tidak lengang dari lalu lalang kendaraan bermotor. Mengikuti perkembangan zaman, suara kendaraan bermotor semakin meningkat meramaikan suasana, dan rumah-rumah dalam kampung pun sudah dibangun mengikuti gaya arsitektur yang lebih modern. Kita akan sangat jarang melihat rumah-rumah yang berhalaman luas dan lebar dengan model rumah kayu kuno atau bergaya kolonial, yang dulu justru menjadi ciri khas kampung di Solo maupun di beberapa kota di Jawa Tengah.

Ada lagi hal yang membuat kampung di Solo dulu sangat khas. Pedagang yang berjualan di dalam kampung dulu biasanya berjalan kaki dengan membawa tenggok (bakul besar), pikulan, atau didorong. Belum ada pedagang yang menawarkan dagangannya dengan menggunakan motor apalagi mobil. Warung-warung kecil yang menyediakan barang kelontong atau barang kebutuhan sehari-hari adalah tempat yang masih sering dijumpai dan umum didatangi oleh warga kampung. Belum ada minimarket apalagi pusat-pusat perbelanjaan yang bertebaran di setiap sudut kota. Orang yang berjalan kaki atau menggunakan sepeda bahkan masih sering terlihat dalam pemandangan kampung pada tahun 90an. Bau arang dibakar menjadi aroma yang khas dan masih sering dijumpai saat itu, ketika kita melewati berbagai sudut, terutama di hik atau warung-warung makan.

Kampung pada saat itu juga masih berwajah ramah. Saat kita melewati rumah warga atau tetangga dan bertemu dengan mereka, kita akan selalu disambut dengan anggukan atau senyuman, yang lalu diselingi dengan kalimat, "Monggo," atau "Pinarak, Bu/Pak, Mas/Mbak/Dek ..." Sapaan dan ekspresi semacam itu bahkan akan diberikan pada orang yang tidak mereka kenal sekali pun. Saat ini, hal semacam itu sudah jarang diungkapkan, kecuali antartetangga atau pada orang-orang yang sudah dikenal.

Yang paling khas dari kampung tentu saja adalah suasananya pada saat pagi dan sore hari. Saat pagi hari, biasanya kira akan melihat rombongan anak sekolah atau pekerja yang bersepeda menuju tempat aktivitas. Lalu, pada sore hari, keriuhan anak-anak bermain atau ibu-ibu yang keluar untuk menemani anak bermain atau untuk sekadar mengobrol dengan tetangga adalah suasana yang biasa terjadi. Baru menjelang maghrib, suasana ramai itu perlahan-lahan akan senyap, diganti dengan kumandang adzan Mesjid.

Sekarang, kampung terasa sepi dan lengang. Anak-anak semakin jarang terlihat, dan orang-orang tidak lagi keluar untuk mengobrol dengan tetangga.  Gawai mungkin sudah mengambil alih banyak aktivitas konvensional yang dulu hanya kita lakukan dalam dunia nyata.  Berbagai aplikasi games, hiburan, media sosial, atau sarana chat tampaknya lebih menarik dan lazim untuk dilakukan dibandingkan bertemu dan berinteraksi secara langsung. Pagar-pagar setiap rumah juga tampaknya kian dibuat tinggi, untuk membuat jarak dengan lingkungan kampung. Berubahnya nilai-nilai dan gaya hidup membuat banyak orang meninggalkan pola-pola lama dalam kehidupan berkomunitas.

Menjelang 17-an, kampung dulu juga biasanya akan sibuk dengan berbagai kegiatan kerja bakti, memasang umbul-umbul, menghias kampung, menghias gapura, dan persiapan untuk aneka lomba 17 an Yang meriah. Setiap warga akan ramai-ramai "turun" dan melibatkan diri dalam setiap kegiatan yang hanya terjadi sekali dalam setahun itu. Tetapi, sekarang hal itu tidak  lagi terjadi. Hanya beberapa gelintir warga yang akan ikut bekerja bakti dan menghias kampung. Acara lomba pun tidak lagi ditunggu-tunggu seperti dulu, kecuali oleh beberapa anak yang jumlahnya hanya sedikit. Tirakatan (acara menjelang 17an pada tanggal 16 Agustus - Red.) kini dihadiri oleh warga hanya karena merasa "pekewuh" pada warga yang lain jika tidak hadir, sehingga situasinya tidak lagi gayeng dan akrab, melainkan penuh dengan basa-basi dan kecanggungan.

Perubahan dalam kampung juga banyak disebabkan dengan semakin bergesernya minat masyarakat untuk membeli rumah dalam kompleks perumahan atau apartemen dibanding di kampung. Oleh sebab itu, meski kampung di kota semakin sunyi dan eksklusif, tetapi keriuhan warga di kompleks-kompleks perumahan justru semakin marak. Suatu keadaan yang dulu terjadi secara terbalik pada kedua komunitas tersebut. 

Pergeseran itu memang mau tidak mau akan semakin terjadi ke depan. Kampung kota akan semakin memudar, berubah fungsi menjadi pusat ekonomi, bisnis, dan sektor publik. Sementara, seluruh denyut kehidupan komunitas keluarga dan warga akan berpindah ke kompleks-kompleks perumahan di pinggiran kota. 

Kampung di kota dengan begitu memang sudah berubah wajah, bertukar kondisi dengan hunian warga di kompleks-kompleks perumahan. Jika demikian, maka beruntunglah mereka yang pernah mengalami kehidupan sebagai warga kampung di kota. Kelak, pengalaman itu akan menjadi sejarah dan cerita yang manis bagi generasi masa depan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun