Mohon tunggu...
Mas Bei
Mas Bei Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sepanjang Jalan Pulang

25 Mei 2017   12:23 Diperbarui: 25 Mei 2017   12:32 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

 Sore tadi, matahari sebenarnya ragu untuk tenggelam,
 ingin mampir mengucap salam rindu kepada hari rabu,
 yang pernah tampak cantik mengenakan baju batik
 berwarna kuning hijau, dibawah langit yang biru.
 Jam lima sore sudah lewat,
 ia melintas diatas kampungmu,
 memantulkan sinarnya di sungai keruh,
 lalu menulis sajak tentang kangen yang sedang kumat.
 Jembatan mulai ramai para pekerja pulang,
 aku terjebak di tengah-tengah bau keringat buruh,
 yang sudah lelah seharian bekerja dipabrik,
 rela diperas tenaga dan waktunya oleh juragan,
 untuk ditukar dengan jaminan hidup sebulan.
 Sedangkan aku adalah pengangguran berlabel mahasiswa,
 yang ada diantara mereka, melintas di jalan yang sama,
 menuju rumah untuk memulihkan pikiran.

 Bunga kamboja masih bersemi,
 harumnya memaksa masuk mengetuk hidung,
 dibawa angin kemarau yang dingin dan kering.
 Mengapa sore selalu membangunkan hantu,
 melepasnya dari kurungan bait-bait sajak,
 untuk kembali berkeliaran ditengah malam,
 melompat-lompat dalam ingatan,
 menyulut kenangan yang sudah kering dalam catatan.
 Akhirnya membuatku harus begadang,
 hingga adzan subuh sebentar lagi akan terdengar
 mengamankan mereka satu persatu,
 padahal jumlahnya tak terhitung jari tangan.
 Ya, mereka adalah hantu-hantu kenangan,
 serpihan masa lalu, sisa-sisa kejayaan,
 yang sering mengejutkan seperti suara petasan.

 Aku bukan lagi anak TPA,
 yang amat gembira menyambut bulan ramadhan,
 bukan lagi anak kampung pinggiran,
 yang menanti bulan puasa dengan menyulut petasan,
 bukan juga pemuda muslim yang teramat taat,
 yang sudah memikirkan menu berbuka dan sahur,
 menyiapkan pakaian untuk sholat tarawih,
 menundukkan pandangan bila berpapasan dengan perempuan,
 bukan malah bersiul, menggoda dan menebar gombalan,
 seperti hobi yang ku tekuni selama ini
 Maafkan aku Tuhan,
 masih menulis sajak ketika waktu masuk sepertiga malam,
 bukan bersujud dalam sholat tahajud,
 memohon kepadamu dijauhkan dari neraka,
 meminta surga dan bonus bidadari cantik juga sepetak rumah
 lengkap dengan segala fasilitas yang maha canggih.

 Hidup adalah mengemban tugas untuk pulang,
 jauh dekat waktu penghabisan tak selalu sama,
 mencari jalan untuk kembali pada sang pencipta,
 ada yang sampai lebih cepat, ada yang datang belakangan,
 ada yang sampai lebih dulu, ada juga yang harus menunggu.
 Banyak belokan banyak tikungan banyak persimpangan,
 dengan segala peristiwa dan kegiatan sepanjang perjalanan,
 yang harus diurai, dimaknai, dan disadari.
 Menanam, membagi, menggali, mencari, menanti,
 menabuh, menyanyi, menari, menyutradarai,
 menulis, menghapus, mendongeng, mendengar,
 mengejar, menggombal, mendekati, menjauhi, merelakan,
 dan masih banyak lagi yang dapat dilakukan,
 berjumpa kawan, kenalan, pacar, juga incaran.
 Tapi bukan untuk menetap selamanya di muka bumi,
 istilahnya bolehlah kalau hanya sekedar mampir ngopi
 dan menghabiskan rokok sebatang,
 sambil mencatat setiap kejadian,
 juga ngobrol tentang cita-cita dan kenangan.
 Ya, pada akhirnya seperti ini sementara jadinya:
 sepanjang jalan pulang, kita tak lagi bergandeng tangan.
 .
 .
 Surakarta, 25 Mei 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun