Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

Capres Tunggal di 2019

22 Juli 2017   05:58 Diperbarui: 22 Juli 2017   06:11 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) baru saja memutuskan UU Pemilu untuk tahun 2019. Yang diantaranya dari keputusan tersebut adalah diberlakukannya ambang batas untuk mencalonkan presiden beserta wakilnya sebesar 20% suara perolehan kursi di DPR. Keputusan ini menimbulkan banyak pertanyaan, karena pada tahun 2019 nanti pemilihan umum akan diadakan secara serentak antara pemilihan legislatif dan pemilihan presiden beserta wakilnya. Keputusan ini juga dianggap menguntungkan partai penguasa pada saat ini, karena mereka bisa dengan mudah mengatur koalisi sejak saat ini.

Sama-sama diketahui bersama, Presiden Joko Widodo yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada saat ini memiliki koalisi yang cukup kuat di parlemen. Jokowi yang sebelumnya hanya di dukung oleh PDIP, PKB, Partai Nasdem dan Partai Hanura pada Pilpres 2014 lambat laun dapat mengikis oposisinya dengan menarik beberapa partai ke dalam pemerintahannya. Alhasil pada saat ini Partai Golkar, PPP dan PAN ikut masuk ke dalam susunan kabinetnya. Di luar pemerintahan hanya menyisakan tiga partai yakni Partai Demokrat, Partai Gerindra dan PKS. Jika melihat dari komposisi tersebut maka keputusan DPR dan Pemerintah yang menentukan ambang batas presiden pada tahun 2019 merupakan keputusan yang menguntungkan bagi Jokowi dan para partai pendukungnya.

Sebelum keputusan ini diambil ada dua topik utama yang hangat dibicarakan oleh publik nasional. Diantaranya adalah isu reshufle dan juga tentang penetapan Setya Novanto (ketua DPR/Partai Golkar) menjadi tersangka dugaan kasus korupsi KTP elektronik. Publik tidak boleh menduga-duga bahwa ini adalah permainan politik para politisi tanah air. Namun kedekatan isu-isu tersebut tak bisa dipungkiri bahwa akan menimbulkan rasa curiga dikalangan masyarakat bahwa kedua isu itu sengaja "dilepas" menjelang paripurna DPR.

Sejatinya Indonesia mengadopsi sistem kepartaian dalam sistem presidensial. Hal yang menarik adalah presiden dan para wakil rakyat dipilih secara langsung oleh rakyat itu sendiri. Akan menjadi masalah tersendiri jika para wakil rakyat memutuskan untuk memilih jalan politik yang berbeda dengan yang diambil oleh presiden. Hal inilah yang membuat negoisasi politik antar Parpol begitu kental.

Seperti pemerintahan Jokowi di awal kekuasaannya partai pendukung pemerintah menjadi kelompok minoritas di parlemen. Tak ayal isu pelengseran pemerintahan kerap kali mencuat meski pemerintahan Jokowi baru beberapa bulan berkuasa. Untuk meningkatkan kekuatan di DPR, Jokowi dan partai pengusungnya meski berjibaku agar partai yang pada saat itu berada di luar pemerintahan hendak bergabung dalam koalisi. Iming-iming kursi menteri dalam kabinet pemerintah menjadi daya tawar utama. Inilah kelemahan yang kerap kali muncul jika pemerintahan presidensial dibangun dalam sistem multipartai.

Seperti akhir dari perjalanan panjang RUU Pemilu kali ini. Pemerintah dengan kekuatan koalisinya berhasil memenangi pertarungan yang alot dengan partai oposisi di DPR. Isu "reshufle" seakan menjadi warning buat partai pendukung pemerintah jika mereka tidak menginstruksikan para kadernya di DPR agar menyetujui UU Pemilu yang telah dirancang oleh pemerintah maka kadernya di kabinet yang menjabat menjadi menteri akan dicopot atau diganti dengan kader partai yang lebih solid kepada penguasa.

Wajar saja jika pihak istana menggulirkan isu reshufle menjelang paripurna DPR. Ini untuk menyolidkan koalisi partai pendukung pemerintah. Karena belum lama ini, PDIP sebagai pengusung utama Jokowi baru saja mengalami kekalahan dalam dua pemilihan gubernur, yakni di DKI Jakarta dan Banten. Kekalahan tersebut tak lepas dari tak solidnya koalisi mereka antara pusat dan di daerah. Sebut saja Ahok yang tak mendapat dukungan dari PAN dan PKB sehingga kalah oleh pasangan yang diusung oleh Partai Gerindra. Di Banten PDIP dikalahkan calon gubernur yang diusung Partai Demokrat dan Partai Golkar. Kedua hal tersebut menjadi pembelajaran bagi PDIP agar kepentingan mereka di pusat dan di daerah dapat terwujud maka ketegasan harus diterapkan di koalisi pemerintah pusat.

Sampai saat ini PDIP masih percaya diri bahwa pamor Jokowi di tahun 2019 tidak turun sama sekali. Hal itulah yang juga membuat partainya Megawati tersebut tetap yakin bahwa koalisi partai pendukung pemerintah tetap akan solid dan sepakat mencalonkan kembali sosok Jokowi pada Pilpres tahun 2019. Pemerintahan Jokowi dan PDIP memang dikenal sangat loyal kepada para pendukungnya. Bukan hanya kepada partai politik tapi juga loyal kepada para relawan yang bergerak di luar Parpol. Dari posisi menteri sampai posisi direktur utama di BUMN menjadi imbalan bagi mereka yang setia. Ada hubungan yang saling menguntungkan diantara kesemuanya. Superioritas Jokowi akan menjamin partai politiknya dan para relawannya akan mendapatkan tempat pada pemerintahan periode 2019-2024.

Akankah pada tahun 2019 nanti hanya akan ada calon tunggal presiden dan wakilnya? Masih banyak yang perlu dipertimbangkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Terutama persaingan politik di tahun 2018 dalam memperebutkan posisi strategis di Pulau Jawa. Pilgub di Pulau Jawa masih menyisakan tiga posisi gubernur, yakni Gubernur Jateng, Jabar dan juga Jatim. Pulau Jawa yang menjadi daerah terbanyak jumlah pemilihnya bakal menjadi perhatian khusus partai politik dalam menentukan arah politik di tahun 2019. Meski PDIP telah gagal di Banten dan DKI Jakarta mereka masih percaya diri akan memenangi daerah Jateng. 

Sedangkan Jabar selama ini menjadi daerah bagi PKS namun pada pemilihan legislatif tahun 2014 PDIP berhasil menguasai suara di Jabar, dan Jatim tetap menjadi wilayah utama PKB. Sekiranya PDIP dan partai koalisinya akan berada di atas angin dalam upaya perebutan tiga kursi gubernur tersisa di Pulau Jawa. Akan tetapi bukan tidak mungkin bagi PKS dan Gerindra untuk memberikan kejutan seperti pada Pilgub DKI Jakarta. Yang patut dicatat ialah realitas politik antara pusat dan daerah tidak berbanding lurus. Bisa jadi hasil dari pemilihan serentak pada tahun 2018 akan mengubah kekuatan masing-masing partai politik sehingga menciptakan lobi-lobi politik yang baru.

Selain itu publik juga menantikan keberanian Partai Gerindra, PKS dan juga PAN untuk mengajukan nama calon presiden pada Pilpres yang akan datang. Jika digabungkan, suara ketiga partai tersebut jelas berada di atas ambang batas yang baru saja disetujui oleh DPR dan juga Pemerintah. Bukan tidak mungkin kelompok ini juga akan mendapatkan dukungan dari Partai Demokrat mengingat fraksi mereka di DPR juga melakukan walk out dari sidang paripurna karena tidak setuju ambang batas pemilihan presiden diangka 20%. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun