Mohon tunggu...
Oji Saeroji
Oji Saeroji Mohon Tunggu... Dosen - suka ngajar

..terlahir pada 1976 lalu di cirebon,.menulis untuk pembelajaran diri dan memperkaya ide,..mencari ilmu di SMPN Trusmi -SMA 3 cirebon, Ponpes Sunan Pandanaran Yogyakarta - Ponpes Darul Hikmah Lampung - S1 Kehutanan UNILA - S2 Kebijakan Publik UNRI; bekerja di Ditjen Pajak "I'am FISCUS I'am Not Corruptor" pernah berkarya di Sylva Ind, KAMMI, Watala,...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bakar Tongkang; Sejarah, Ritual dan Pariwisata

29 Juni 2010   03:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:13 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ACARA Bakar Tongkang atau Sio ong Cuan di Bagansiapi-api yang berlangsung senin 28 Juni 2010 kemarin, penuh dengan pesan sejarah masa lalu tentang kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia, khususnya ke Bagansiapi-api, Riau. Sejarah memang tidak bisa dibuat-buat, sejarah adalah fakta yang tak terbantahkan. Begitu pula tentang sejarah marga Ang dari etnis Tionghoa yang menginjakkan kakinya pertama kali di tanah Bagan tahun 1826 masehi, kala itu Bagan masih ditumbuhi rimba dan hutan yang lebat. Saat itu tak ada penghuni manusia di muara Sungai Rokan itu. Dengan menggunakan tiga tongkang, atau kapal layar terbuat dari kayu, marga Ang yang terdiri dari 18 orang—satu diantaranya perempuan, berlayar ke Bagan tahun 1826 masehi. Mereka ini sebelumnya adalah  penduduk asli RRC yang migran ke Desa Songkla Thailand tahun 1825 masehi. Ketika pecah kerusuhan di Desa Songkla Thailand antara warga Desa Songkla dengan etnis Tionghoa ini tahun 1825 masehi, etnis  Tionghoa menyelamatkan diri pindah ke Bagan dengan tiga tongkang kayu mengarungi lautan. Di tengah perjalanan di laut, dua tongkang tenggelam, dan satu tongkang selamat berlabuh di Bagan. Sebelum tiba di Bagan mereka berlabuh terlebih dahulu di Kerajaan Kubu. Namun karena merasa kurang aman, akhirnya etnis Tionghoa ini pindah ke daratan Bagan. Satu tongkang yang selamat, menurut kisahnya disebabkan karena terdapat patung Dewa Tai Sun di haluan tongkangnya, yaitu satu-satunya dewa tak punya rumah, yang hidupnya hanya menggembara. Sedangkan dewa Ki Ong Ya diletakkan di rumah kapal (magun). Karena ada kedua dewa ini di dalam tongkang, maka selamatlah mereka menempuh perjalanan yang penuh tantangan itu. Selanjutnya, di daratan Bagan saat mereka menginjakkan kakinya sekitar tahun 1826 masehi, ada tiga kerajaan Riau yang telah berdiri lebih dahulu yaitu Kerajaan Kubu, Kerajaan Tanah Putih, dan Kerajaan  Batu Hampar. Kendati demikian etnis Tionghoa ini lebih nyaman menetap  di Bagan, di muara Sungai Rokan sekarang di pinggir pelabuhan. Di sini mereka membangun pemukiman tradisional, termasuk membangun Bang  Liau (gudang penampungan ikan). Disini juga dibuat pelataran untuk menjemur ikan asin. Selain itu mereka juga membuat dok kapal kayu, yaitu tempat pembuatan kapal yang digunakan untuk menangkap ikan. Kapal kayu terbuat dari jenis kayu leban. Selanjutnya agak ke daratan Bagan etnis Tionghoa ini membangun klenteng Ing Hok Kiong. Dari peringatan acara Bakar Tongkang tahun 2010 ini sebenarnya ada sesuatu yang tergandung di dalamnya, yaitu ingin melaksanakan sembahyang untuk mendapatkan berkat, keberuntungan, kemudahan rezeki sekaligus menyampaikan pesan sejarah. Tapi juga terdapat potensi pariwisata. Mereka selain melaksanakan ritual sembahyang, bakar hio, bakar kim, juga ikut dalam iring-iringantongkang ke lokasi pembakarannya di Jalan Perniagaan ujung Bagansiapi- api. (riaupos/wisatamelayu.com)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun