Mohon tunggu...
Ojek Bang Anto
Ojek Bang Anto Mohon Tunggu... Ojek Offline -

Hanya Tukang Ojek panggilan yang tiap hari menelusuri hidup...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bandar Memanfaatkan Momen

19 September 2017   13:44 Diperbarui: 19 September 2017   14:01 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah Broadcast saya terima di grup sosial media pada petang hari.  Isinya cukup mencengangkan.

"LBH digeruduk Polisi, dan keadilan akan semakin gelap. Bersiaplah..."

Secara reflek saya langsung browsing untuk melakukan pengecekan tentang kebenaran berita tersebut. Dari 5 portal resmi yang memiliki validitas yang bisa dipercaya, tidak saya temukan berita bahwa Polisi menggeruduk LBH. Pada keesokan harinya barulah beredar berita bahwa LBH benar 'dikepung' namun oleh gerombolan orang yang tak dikenal dan Polisi yang datang untuk mengamankan malah ikut diserbu oleh gerombolan tersebut.  Gerombolan tersebut mengklaim bahwa LBH saat ini disusupi oleh Partai Komunis Indonesia sehingga hanya membela orang-orang yang menyetujui kembalinya paham komunis di Nusantara ini.  

Sejak 'panas' nya Pilkada DKI Jakarta tahap 1 lalu, saya tak pernah lagi mempercayai postingan berita yang cenderung bombastis dan kadang menyulut emosi jiwa untuk segera 'bertindak' dalam menindaklanjuti postingan berita tersebut. Ternyata banyak yang menjadi korban emosi tersebut sehingga pilkada kemarin 'sukses' merenggangkan solidaritas para masyarakat Jakarta. 

Sebenarnya sejak Pilpres pun sudah ada berita-berita yang heboh, sindiran yang nylekit (tanpa otak dan sumber yang jelas) dalam meledek dan hasutan-hasutan baik yang halus maupun kasar.  Tak lupa disisipkan gambar yang begitu provokatif disertai caption yang membakar sehingga dalam hitungan milidetik, siapapun yang membaca dan melihat sisipan tersebut akan langsung memberikan reaksi.

Semakin kekinian, pola gebyah publik pun menjadi lebih jelas gerakannya walaupun masih samar bagi masyarakat untuk memahami apa maunya dan siapa otak dan pendana utama yang membuat mereka bergerak cukup bebas. Beberapa teman memberikan analisa bahwa memang mendekati ajang pilpres 2019 akan ada beberapa 'goro-goro yang ditampilkan sehingga akan terjadi kekacauan yang direkayasa.  Dalam kekacauan itulah akan mudah untuk melakukan penyusupan dan muncul 'pahlawan' yang akan menjadi pujaan masyarakat sehingga memuluskan perolehan kekuasaan.

Pola yang cukup 'masif' nampaknya dimulai pada duplikasi perpecahan yang dilakukan di Suriah dengan sentimen anti Cina dengan Ahok sebagai sasaran tembaknya.  Gerakan ini tidak tanggung-tanggung dilakukan dengan mengumpulkan basis massa yang (saya yakin) 80% tidak 'ngeh' dengan tujuan utama para otak gerakan tersebut. Dengan pendanaan yang cukup luar biasa dan koordinasi yang cermat, beberapa masyarakat 'lugu' dari pelosok sampai rela melakukan long march dari dusun tempat mereka berasal berjalan kaki ke Ibukota Jakarta. Usaha tersebut 'terhitung' berhasil dengan kalahnya Ahok-Djarot dalam Pilkada 2017 dan digiringnya Ahok masuk penjara dengan dakwaan Penghinaan terhadap Agama. 

DKI 1 bisa digilas, mengapa tidak mencoba dengan sasaran yang lebih tinggi ? Bagaimana dengan menggeser RI-1 ? Ya, Mengapa tidak ? Maka dsusunlah gerakan selanjutnya dengan simbol agama dan angka-angka yang saya sendiri suka tersenyum dibuatnya.  Saya tersenyum karena mengagumi kreatifitas mereke dalam 'mengemas' suatu peristiwa dengan marketing yang bombastis secara persuasif hiperbolik.  Seorang rekan semasa kuliah yang memiliki prestasi akademik dengan IPK (IPK lho, bukan IP smester) 3,75 pun sampai rela bolos dari kerjanya untuk ikut bergabung dan berteriak-teriak membela entah siapa diterik matahari, shalat Jumat ditengah taman rerumputan dan berjalan belasan kilometer. Luar Biasa !

Maka disusun beberapa gerakan ulang dengan simbol angka ala togel yang oleh beberapa orang benar-benar 'dimistik' untuk keperluan togel... Namun nampaknya 'kejayaan' itu sudah mulai menurun. Secara Kualitas dan Kuantitas, gerakan yang terjadi tidaklah sesuai dengan harapan. Rekan saya nyeletuk "Biaya udah keluar banyak, kalo hasilnya begitu aja ya pasti rugi bandar..." 

Dan Sang Bandar tentunya tak mau rugi.  Maka tim Think Tank mereka mencoba meracik kembali untuk membuat momen yang bisa memunculkan kembali  histeria massa. Dan dengan cerdiknya mereka mengadaptasi metode Ir. Soekarno dengan metode, jika Rakyat Indonesia terpecah, maka harus dibuatkan Musuh Bersama sehingga Bangsa Indonesia bisa bersatu kembali. Bedanya metode ini menggunakan jargon agama untuk 'menyatukan' kembali gerakan yang mulai terpecah dan jalan sendiri-sendiri. 

Dan Peristiwa Rohingya menjadi Golden Momen mereka! Dengan melakukan editing yang cantik maka tampillah di media bahwa Muslim Rohingya dianiaya oleh kaum Budha Myanmar, plus tempelan sang Biksu Wirathu yang memang kontroversial dengan statement-statement nya yang memanaskan telinga non Budha.  Seandainya Si Wirathu tahu bahwa nama dan fotonya dicatut untuk geraan di Indonesia, pasti ia akan meminta jatah royalti yang tidak sedikit.... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun