Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menjemput Air Mata

17 Desember 2019   20:40 Diperbarui: 18 Desember 2019   15:16 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin semua orang bersepakat jika perempuan yang baik-baik adalah ia yang berasal dari keluarga yang baik-baik pula. Tak perlu kaya, sederhanapun tak masalah yang penting ia baik agama dan akhlaknya. Kira -- kira begitu  pesan orang tua mas Gandri dalam menentukan calon menantu.

Sore itu, dibawah pohon rambutan tempat kami biasa bertemu, dengan bersemangat mas Gandri mengulang ucapan itu didepan ku. Aku yang sedari tadi mendengar ceritanya manggut-manggut saja. Pikiran ku jauh menyelam kedalam diriku sendiri. 

Mas kau tau, aku tak pernah berharap bisa terlahir dari keluargaku sendiri. Ya setidaknya hingga aku benar-benar sadar kalau aku tak penah benar-benar senang bisa lahir dari keluarga yang miskin, keparat dan kacau. 

Kakak pertama ku, seorang panutan dalam memimpin adik-adiknya adalah tukang bangunan yang berhasil merebut istri orang karena kepiawaiannya menanam benih sembarangan. Kakak perempuan ku lain lagi, ia sukses menjadi bulan-bulanan suaminya dirumah setiap hari karena suaminya berteman baik dengan barang haram.

Dan aku, anak ketiga yang masih memiliki seorang adik yang selalu mempunyai cara dalam memperoleh dan mengkonsumsi sabu setiap harinya. Bagaimana mungkin aku memenuhi harap orang tua mu itu. Aku makin menyelam kedalam. Bapak yang meskipun sudah tua dan tetap bekerja  sebagai buruh, masih suka menyimpan janda sebagai pemuas nafsu berahinya.

Hanya ibu, orang yang bagiku masih normal. Entahlah, menurutku ibu adalah korban rayuan bapak, laki-laki yang telah ditinggal mati oleh istrinya terdahulu. Aku sering melihat ibu  makan nasi berkuahkan air mata. Jangankan untuk berbelanja ke supermarket, berbelanja di tukang sayur saja seperti ritual lebaran. Setahun sekali. 

Mas Gandri menatap ku dalam, aku terkejut dan lamunanku tentang keluarga ambles seketika. "Dik, besok malam kau siap kan bertemu keluarga abang" ucapnya pelan. Aku tersenyum dan mengangguk. Wajah keluarga mas Gandri berkelebat di kepala ku.

    ***

Angin-angin yang menyentuh rambutku seakan menahan perjalanan kami, motor mas Gandri melaju pelan tak seperti biasanya, belum lagi pohon-pohon di tepian jalan yang seakan bercakap-cakap menyindir kepergianku.

"Mau kemana tuh" kata pohon pisang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun