Mohon tunggu...
Nur Dini
Nur Dini Mohon Tunggu... Buruh - Find me on instagram or shopee @nvrdini

Omelan dan gerutuan yang terpendam, mari ungkapkan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kerja di Pabrik Sama dengan Aib?

10 Juni 2019   13:01 Diperbarui: 20 April 2021   13:05 3082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Gambar oleh Steve Buissinne/Pixabay

Hallo,

Saya masih seorang karyawan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri sepatu. Gampangnya, saya kerja di pabrik sepatu. Saya sudah bekerja selama 3,5 tahun dan masih menghitung waktu yang tepat untuk mewujudkan impian saya untuk resign.

Tempat saya bekerja berbeda kota dengan tempat tinggal saya. Saya harus kos, karena sangat tidak mungkin saya pulang setiap hari. Saya hanya bisa pulang maksimal 4 kali setahun. Saya paham, saya bukan termasuk perantau sejati yang pulang setahun sekali demi berhemat. Masa awal kerja adalah waktu saya jadi sampah sesampah-sampahnya.

Seminggu sekali saya pasti ke supermarket, beli makanan dan ditimbun di kos. Sebulan 2 kali nonton film, padahal di kota tempat saya tinggal belum ada bioskop. Saya harus naik bis dulu sekitar 70 km demi sampai bioskop.

Setiap ada tanggal merah, saya selalu pulang ke rumah saya. Zaman itu saya sampah. Saya pake uang sesuka saya. Setelah sekian lama, baru sadar kalau tabungan saya tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari, seandainya saya tiba-tiba resign atau dipecat. Emang bahlul!

Kabar saya bekerja di luar kota jadi berita viral sekampung raya. Semua merasa heran kenapa bisa saya kerja di luar kota. Semua orang tahu saya beda dengan adik saya yang charming. Saya lebih sering diam saat bertemu orang, tidak ramah, muka kusut, cenderung galak, suka menyerang, negatif reaktif (ini istilah yang saya karang sendiri untuk menggambarkan kalau saya reaktif itu biasanya negatif).

Saya juga jarang bersosialisasi dengan orang, suka keramaian tapi tidak dengan beramai-ramai, individualis. Saya hanya bersosialisasi dalam lingkup kecil, yaitu keluarga inti, dan 3-5 teman sekolah. Yang lain? Tidak pernah benar-benar saya anggap dan menganggap saya, sepertinya.

Hal ini juga yang membuat saya membuat artikel di Kompasiana, karena ngga ada teman yang paham dari kepala sampai buntut arah pemikiran saya ke mana. Kalaupun mungkin ada, saya belum pernah bertemu langsung.

Seperti yang orang-orang ketahui, seumur-umur saya juga belum pernah pisah dengan keluarga saya. Ke mana pun saya pergi saya selalu dengan adik atau ibu bapak saya. Kalau sampai saya bisa merantau itu sangat wow!.

Pada tahun yang sama banyak teman yang tinggal sekampung dengan saya meminta izin untuk kerja di luar kota pada orangtua mereka masing-masing.

Rata-rata yang anaknya perempuan tidak diizinkan karena kasihan, padahal kalau dilarang kerja lalu jadi pengangguran dan ngga bisa makan itu lebih kasian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun