Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Biasa yang setia pada proses.

Lahir di Grobogan, 13 Mei 1973

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Riset Film: Mencermati Kasus Film Anto Galon

7 Juli 2017   03:52 Diperbarui: 7 Juli 2017   04:39 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://www.google.com

Beberapa hari yang lalu, saya dapat posting di salah satu grup WA saya, dengan judul : "MENYIMAK CARA PANDANG POLISI TERHADAP RUMAH SAKIT DAN PETUGAS KESEHATAN MELALUI VIDEO ANTO GALON".Isinya begini:

"Video yang dibuat oleh seseorang bernama Anto Galon dan menjadi terkenal karena diunggah oleh akun Divisi Humas POLRI di facebook dan sekarang ramai dikritik karena tendensinya yang menyudutkan umat Islam itu sebenarnya punya sisi lain, yang tidak kalah kontroversialnya.

Dalam pandangan saya, video ini tidak hanya menyudutkan umat Islam, tapi sekaligus juga menyudutkan RUMAH SAKIT dan PETUGAS KESEHATAN.

Justru, adegan yang menyudutkan Rumah Sakit itu tampil lebih dulu daripada penyudutan umat Islam.

Video ini dibuka dengan adegan ketika satu pasangan suami-istri diantar seorang anggota POLRI membawa anak balitanya ke RS.

Mereka menuju ke Poli Rawat Jalan RS (bukan UGD) sehingga harus mengambil nomor antrian. Nomor yang didapat adalah nomor 27, padahal saat itu pasien yang mendapat giliran pelayanan baru sampai nomor 11.

Mungkin Sang Bapak merasa anaknya sudah dalam kondisi parah, sehingga ia menemui petugas RS untuk meminta agar anaknya didahulukan.

Petugas menolak dan mengatakan, "Maaf, Pak. Ini sudah peraturan."

Adegan ini tergambar begitu miris, tragis, dan ironis, ketika seorang pasien anak-anak yang sakit parah harus pasrah menunggu antrian.

Pembuat video kemudian menampilkan "pahlawan" yaitu seorang pasien dengan nomor urut 12 yang bersedia menukarkan antriannya dengan anak tsb.

Teman-teman, ada yang melihat keanehan dalam adegan ini?

Iya, bagi orang yang sehari-harinya tidak berkecimpung di lingkungan RS mungkin tidak segera melihat keanehan ini.

(1) Pasien sakit berat/gawat seharusnya mendaftar keUnit Gawat Darurat(UGD) atau Emergency Unit yang ada di tiap RS. Di UGD TIDAK ADA NOMOR ANTRIAN.

Pasien akan segera dilayani sesuai tingkat kegawatannya masing-masing, bukan soal siapa yang duluan datang.

Bagaimana mungkin seorang POLISI tidak bisa membedakan antara Poli Rawat Jalan dan UGD? Bagaimana bisa dia salah mengantar pasien tsb ke Poli dan bukannya UGD?

Secara tidak langsung, pembuat video ini menggambarkan betapa bodohnya petugas kepolisian di Indonesia.

Menurut saya sih jelas bukan polisi kita yang bodoh, melainkan pembuat video ini yang 'kurang piknik'. Dia bikin video tapi tidak melakukanrisetdulu bagaimana sebenarnya seluk-beluk pelayanan di RS.

Tapi yang lebih mengherankan, bagaimana bisa sebuah video yang menggambarkan polisi Indonesia jadi tampak bodoh begini memenangkan penghargaan di Police Movie Festival dan mendapat kehormatan diunggah di akun fb Divisi Humas POLRI?

(2) Dan HERO-nya adalah pemilik no.12! Sedangkan petugas RS tergambar bagai iblis yang tidak punya perikemanusiaan!

Bagaimana seorang PETUGAS KESEHATAN tidak peduli dengan parah-tidaknya kondisi pasien, dan bisanya cuma bilang, "Maaf Pak, ini sudah peraturan."?

Semua RS punya Unit Gawat Darurat, dan gunanya memang untuk mengatasi hal-hal semacam ini. Petugas Kesehatan yang menemui kasus pasien gawat di Poli tinggal bilang saja, "Pak silakan pasiennya dibawa ke UGD, di sana tidak perlu nomor antrian." Gampang, kan?!

Pasien no.12 pun tidak perlu repot-repot berkorban untuk jadi pahlawan.

Kejadian sehari-hari yang umum terjadi adalah pasien semacam ini akan diantar petugas kesehatan ke UGD.

Mas Anto Galon yang bikin video ini pasti tidak tahu karena tidak pernah nongkrong di RS. Dia membuat video hanya berdasarkan khayalan dan prasangkanya sendiri.

Dan herannya, videotanpa risetyang hanya berdasar khayalandan prasangkaini bisa menang menjadi JUARA di Police Movie Festival!

Menjawab wawancara sebuah media, Anto Galon menjawab bahwa ia mendapat ide membuat video tsb ketika menemui kejadian sebuah jalan ditutup karena ada acara pengajian. Lalu terpikir olehnya bagaimana seandainya ada ambulan yang mau lewat.

Anda bisa memahami bagaimana cara berpikirnya? Apa isi benaknya?

Ya, isi benak yang dipenuhi prasangka negatif, kemudian diolah dengan khayalan tingkat tinggi, dipadu dengankemalasan untuk melakukan risetterhadap fakta yang terjadi sehari-hari di sekitarnya.

Jalan ditutup karena ada kegiatan masyarakat, bukankah itu kejadian lumrah dan sering?! Biasanya juga harus mengurus surat izin dari instansi kepolisian setempat untuk bisa menutup jalan selama waktu tertentu.

Dan perhatikan, kegiatan apakah yang paling sering menutup jalan? PENGAJIAN-kah?

Silakan lakukan riset, cari tahu kegiatan apa yang paling sering menutup jalan.

Kalau dari pengamatan saya sehari-hari, yang paling sering menutup jalan itu adalah kegiatan sosial seperti kawinan, khitanan, agustusan, dll. Hampir tiap bulan ada, bahkan kadang bisa lebih dari sekali.

PENGAJIAN mah jaraaang. Setahun ada sekali pengajian akbar di satu kampung itu sudah hebaaat. "

Sengaja aku kutip sharingberita itu secara utuh, agar kita tahu gambaran utuh respons masyarakat terhadap film yang saat ini menjadi kontroversial. Video yang dimaksud adalah video yang berjudul "Kau adalah Aku yang lain" garapan Anto Galon, yang belakangan ini ramai dibincangkan di media sosial.

Begitulah, betapa kerasnya efek dari sebuah film yang dibuat tanpa melakukan riset yang mendalam. Apalagi saat ini Bangsa Indonesia masih dalam kondisi sensitif terhadap isu SARA. Diperparah lagi dengan kecenderungan pengguna media sosial, jika ada berita kontroversial, dengan mudah menyerukan: "viralkan!" Tentu efeknya akan menjadi lebih massive.

Riset dalam sebuah film, menurut saya minimal untuk memenuhi 3 unsur: yaitu untuk menampilkan kebenaran historis, logisdan etis. Pentingnya sebuah riset dalam film bergantung pada kebutuhan film itu sendiri. Film kartun Zootopia yang mengkisahkan tentang hewan, melakukan riset gerakan hewan-hewan selama 18 bulan! ( sumber ), Pemeran Marthin (seorang dokter jantung) dalam film "Surat Kecil untuk Tuhan" pun mendalami perannya dengan observasi dan konsultasi dengan seorang dokter jantung beneran. Ada seorang teman di Jogja yang harus menginap di Rumah Sakit Jiwa Pakem beberapa hari untuk observasi perilaku orang gila! Semua itu untuk sebuah riset untuk film yang ideal. Itu sekedar contoh, untuk sebuah karya film yang baik tentu dipersiapkan dengan riset yang baik pula.

Film yang multlak harus melalui riset, bahkan riset yang mendalam, adalah film tentang sejarah. Karena film ini menangkap realitas dan mem-visualisasikannya sebagai kebenaran historis. Bisa tentang sejarah seorang tokoh atau sejarah tentang sebuah peristiwa. Karena film di sini menjadi representasi potret sebuah realitas sejarah, maka jika ada kekeliruan --baik disengaja atau tidak-- dalam menampilkan visualisasi, bisa dianggap sebagai pembelokan sejarah. Bahkan dianggap melakukan kebohongan terhadap publik. Apalagi dengan sengaja membuat framing. Maka membikin film sejarah wajib melakukan riset yang komprehensif, kaya referensi dan memenuhi kaidah logika berfikir yang benar, serta memenuhi kaidah etika. Banyak film-film tentang sejarah yang mutlak harus melalui riset yang mendalam, misalnya Film "Hitler", "Cut Nyak Dien", "Sang Pencerah", "Kartini", "Soegija", " Ainun Habibie", dan lain sebagainya.

Bisa juga sebuah film fiksi yang ditempelkan pada backgroundsebuah peristiwa sejarah. Menurut saya sah-sah saja, dengan catatan bahwa tokoh dan narasi yang ditampilkan tidak mereduksi, apalagi membelokkanperistiwa sejarah yang dijadikan background. Film seperti ini patut dicermati secara detail dan cermat. Agar tidak terjadi pembelokan peristiwa sejarah. Karena film sejarah adalah 'potret' tentang sebuah peristiwa sejarah, maka ketiga instrumen dalam riset film; kebenaran historis, logis dan etis harus terpenuhi.

Saya pernah melihat film sudah lama sekali, di atas tujuh tahun yang lalu. Sayangnya saya cari di Youtube dan Google belum ketemu. Film itu menampilkan peristiwa sejarah penyerangan Markas Militer Angkatan Laut Amerika Pearl Harbour oleh tentara Jepang. Film itu cukup keren dengan visualisasi adegan pengeboman Pearl Harbour. Setelah tentara Jepang sukses menyerang Pearl Harbour, ada peristiwa yang aneh, tentara Amerika yang kalah itu memasuki lorong waktu sehingga bisa menembus jaman modern, yang mana Amerika telah memiliki Pesawat F-16 dengan segala perangkat pengeboman yang serba canggih. Alhasil serangan tentara Jepang di Pearl Harbour dibalas oleh tentara Amerika tesebut dengan menggunakan F-16. 

Akhirnya pesawat tempur kuno jaman Jepang bertempur melawan F-16. Kalang kabutlah tentara Jepang. Saat itu aku tak tahan menahan tawa. Dasar Hollywood! Mungkin jika ada teman yang lebih tahu judul film itu, silakan di-comment. Menurutku film ini film fiksi dengan latar sejarah yang dimasuki unsur imajinasi yang 'liar'. 

Terlepas dari kreatifitas pembuatnya, bagi saya film ini menjadi cermin ketidakmaukalahan sebuah bangsa atas peristiwa perang. Sepertinya Amerika dengan corong film Hollywood-nya mempunyai karakter seperti itu sejak dulu, propaganda dan pencitraan terselubung. Menurutku film ini tidak memenuhi unsur kebenaran historis, karena ada "rekayasa" sejarah. Pun tidak memenuhi unsur kebenaran logis, apalagi unsur etis. Karena konsekuensi film berlatar sejarah, menurut saya, tidak elok jika membelokkan kebenaran sejarah itu sendiri.

Kembali kepada film Anto Galon. Seperti yang telah diunggah dalam video klarifikasinya ( https://www.youtube.com/watch?v=0Ho2qW083tc ) , Anto Galon telah mengklarifikasi, bahwa dia tak bermaksud untuk merendahkan agama Islam. Menurutnya, dia justru menginginkan adanya toleransi antar umat beragama. Namun apa yang terjadi, pemahaman sebagian masyarakat dunia maya (netizen) tidak berkenan dengan adegan yang muncul di dalam film itu. 

Dalam konteks ini, menurut saya, Anto Galon sebagai seorang sutradara harus peka, mana adegan yang bisa ditampilkan secara verbal, dan mana adegan yang tidak perlu divisualkan secara verbal. Maka dibutuhkan riset yang cukup untuk membuat film ini tampil lebih aman dan diterima oleh netizen. Apalagi saat ini masyarakat dunia maya, khususnya di Indonesia masih merasa sensitif terhadap hal-hal yang berbau SARA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun