Mohon tunggu...
Pinurba Yudha
Pinurba Yudha Mohon Tunggu... -

Just a man who loved jazz...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Delman

1 Januari 2014   13:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:16 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Plok... plok... plok...

Plok...plok... plok...

....

Pada Hari Minggu ku turut ayah ke kota

Naik delman istimewa ku duduk di muka

Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja

Mengendarai kuda supaya baik jalannya

....

Suroto melihat sesaat ke anak kecil yang duduk di sampinnyanya bersama ayahnya. Kembali ia fokus ke jalan di depan. Jangan sampai Si Jongos nabrak orang lagi, benaknya. Jongos adalah panggilan untuk kuda yang selalu menjadi tulang punggung keluarganya yang sekarang sedang Suroto kendalikan. Sudah dua tahun ia bekerja sebagai penunggang pedati ini dengan kata lain sebagai kusir delman. Sejak ayahnya sakit-sakitan ia menggantikan ayahnya menjadi kusir kuda, sementara ibunya juga bekerja untuk menambahi nafkah untuk ketiga adiknya yang masih sekolah.

“Awas mas ada orang lewat!” teriak ibu di belakangnya sedikit panik.

Suroto segera bangkit dari alam lamunannya. Segera ia tarik tali pengekang kudanya.

Meh wae..”

Empat meter di depannya terlihat tiga orang bule sedang melintasi jalan. Salah satu bule berjalan sambil melihat delmannya sesaat lalu memalingkan wajahnya ke depan lagi dan pergi.

Sesuk nek ngusiri meneh sing ati-ati mas. Meh wae nabrak bule lewat.”, nasehat bapak yang sejak tadi menemani anaknya di sampingnya.

Nuwun sewu nggih pak.”, Suroto hanya bisa menjawab dengan sedikit malu.

Hampir saja Suroto mengulangi kejadian tiga hari yang lalu. Tiga hari yang lalu Suroto membawa rombongan bule dari Islandia. Dari semua penumpang delman, penumpang delman dari mancanegara. Ia sangat senang karena dapat berbincang-bincang dengan seseorang dari luar negeri, apalagi pakai bahasa Inggris. Dulunya Suroto adalah mahasiswa pendidikan bahasa Inggris di salah satu universitas negeri di kota Gudeg ini. Impianya sejak awal adalah menjadi guru bahasa Inggris dan melalang buana ke pelosok dunia. Namun sejak ayahnya sakit dan ibunya melahirkan adiknya yang ketiga, Suroto dengan sangat terpaksa harus putus kuliah dan bekerja menafkahi keluarganya.

What do you think about Indonesian people?” tannyanya ke bule yang duduk di sampingnya.

Many of my friend said that people in Indonesia aren’t polite. They think Indonesian people like a caveman. But, after i came here, I think they opinion not true. Indonesian people has a culture and its culture is one of high culture that I didn’t see before. In Borneo and Celebes I see how people still give a reward to they ancestor although they have been die. In Java I see how people still give a respect to each other. Those kind of culture that my homeland don’t have.” jelas bule itu.

Suroto hanya bisa termangu mendengarkan perkataan wisatawan asal Irlandia itu. Sebenarnya hampir penjuru dunia mengakui Indonesia sebagai negara yang beradab. Namun, ada segelintir manusia di tanah air lebih suka diperbudak oleh harta dan nafsu daripada meneruskan budaya beradab yang ada. Sungguh ironis.

Ketika sedang asyiknya melanjutkan pembincaraan dengan bule tersebut, tiba-tiba sesuatu terjadi.

“ADUH !!!”

Suroto kaget. Ia segera menghentikan delmannya dan turun dari tempatnya. Dilihatnya seorang wanita muda terjatuh ditabrak si Jongos.

“Hei mata lo taruh mana!” omel wanita itu sembari berdiri.

“Lo tahu ada orang lewat mengapa lo tabrak. Lihat itu semua belanjaan gue berserakan. Pokoknya gue gak mau tahu, lo harus ganti semua barang yang jatuh!!”, lanjut wanita itu.

“Nuwun sewu mbak. Saya sebelumnya minta maaf mbak saya ngak lihat mbaknya lewat. Kalo diminta mengganti saya ngak bisa mbak. Saya tidak punya uang. Toh barang mbak ngak ada yang rusak satupun.”, kata Suroto.

“Gue nggak mau tahu. Mau lo nggak punya uang, tetep lo harus ganti. Atau gue panggilan polisi. Asal lo tahu bokap gue pejabat. Lo mau pilih ngganti atau masuk bui.”, bentak wanita itu.

“Aduh..”

Suroto hanya bisa bingung. Dilihatnya orang-orang mengerumuni mereka. Salah satu rekan sesama kusir yang melihatnya terlihat geram dan mengepalkan tangannya.

Sorry. What happen in here?”, tiba-tiba bule tadi muncul disebelahnya.

Oh. It OK. Just a little problem.”, jawab Suroto agak terkaget. Suroto sudah merasa tidak enak karena telah mengganggu perjalanan penumpannya.

Oh I see.”, lirih bule itu. Ia segera menghampiri wanita muda tadi yang sedang mengumpulkan belanjaannya yang berserakan.

This for his fault to you.”, kata bule itu sembari menyerahkan lima lembar seratus ribuan. Wanita itu hanya diam. Segera dia ambil uang itu dan tanpa berkata dia segera memberesi belanjaannya.

“Heh.. Lo kusir miskin. Lain kali kuda lo kasih kacamata. Udah tau ada orang lewat main seruduk aja. Dasar lo miskin. Hidup cuma bisa dari orang lain saja.”, kata wanita itu kepada Suroto sembari pergi.

Suroto hanya bisa diam. Itu adalah hinaan paling menusuk yang ia rasakan seumur hidup. Orang disekeliling mulai bubar. Ada beberapa yang terlihat geram. Sepertinya mereka geram atas ulah wanita itu.

Sakjane mau kae wedok mung kesenggol moncong jarane tok.”, celoteh salah satu pedagang cinderamata dari kejahuan. Suroto seperti ingin menangis. Menangisi hidupnya yang miskin dan sengsara.

It’s Ok.”, seloroh bule itu tiba-tiba, membangukan Suroto dari lamunan.

Sorry Sir for make you in the problem.”

O.. Its Ok. Just think that money for your politiness to us.” , jawab bule itu.

Thanks, sir” balas Suroto.

“O.. just one think. I think that bloddy moron girl is not Indonesian people”

“How can?”

“She doesn’t have attitude and one again she wear a shirt from your neigbour country.”

“O.. I see.”

.........

Senin pagi, Jalan Malioboro terlihat sudah ramai. Walaupun hari Senin Malioboro tetap ramai. Mungkin ini adalah dampak dari penerapan libur yang hanya tiga minggu setiap akhir tahun ajaran. Walaupun kondisi jalan yang ramai, namun tak satupun para wisatawan yang menyentuh andong Suroto. Kebanyakan wisatawan yang merupakan anak sekolahan lebih suka berbelanja kaos suvenir dan kaos KW  super di pinggir jalan. Suroto lebih senang mengisi waktunya dengan tidur di atas andongnya daripada memandangi orang berbelanja.

Heh Sur..”

Tiba-tiba Suroto bangun dari tidurannya. Ia melihat seseorang di kursi belakangnya. Pakdhe Wardoyo. Pakdhe Wardoyo adalah salah satu teman baik ayahnya sesama penarik kuda.

Kok turu wae kowe. Piye meh entuk duit nek kowe aras-arasen ae.”, kata Pakdhe War.

“Ah sudah kahanan Pakdhe. Lihat aja sekarang akeh wong lebih senang belanja daripada jalan-jalan menikmati kota Yogya naik andong.”, jawab Suroto.

Heh Sur, awakmu nek hidup itu jangan njug pasrah ngono. Zaman sekarang itu sudah namanya hidup keras. Saiki nek mung awakmu turu ae ra bakal ana duit teko. Saiki dadi wong harus siap, aja mung pasrah karo keadaan.”

Suroto cuma terdiam mendengar perkataan Pakdhe War tadi. Dia sebenarnya sudah pasrah terhadap keadaan sejak ayahnya sakit dan ia harus putus kuliah.

“Ngomong-ngomong Sur, bapakmu piye. Jarene Mas Priyono bapakmu sekarang sudah bisa jalan sendiri ngak pakai kursi roda meneh?”, tanya Pakdhe War.

Allhamdulilah Pakdhe sekarang sudah agak sehatan.”,jawab Suroto.

Sudah satu tahun bapak Suroto menderita stroke. Oleh karena kondisi bapaknya yang tidak memungkinkan untuk menafkahi Suroto mengambil alih tugas bapaknya. Namun akhir-akhir ini setelah meminum obat-obatan herbal buatan tetangganya mantan apoteker Bu Yartim, bapaknya sudah mulai memperlihatkan kondisi yang kian membaik.

Yho baguslah Sur. Tapi kalo kondisi bapakmu udah baik terus besok yang narik kuda siapa Sur?” tanya Pakdhe War.

“Wah belum mikir Pakdhe. Tapi kelihatannya tetep saya Pakdhe, bapakkan sudah sepuh, selain itu saya sudah putus sekolah. Jadi kalau mau ngelanjutin nanti nambah biaya lagi. Kasihan bapak sama ibu.”, jawab Suroto.

Sebenarnya dalam benak Suroto ia ingin melanjutkan kuliah setelah melihat kondisi kesehatan bapaknya. Namun ia akhirnya memikirkan hal itu sekali lagi setelah melihat kondisi ekonomi keluarganya setelah habis banyak untuk perawatan bapaknya.

“Wah yho encen urip yho susah saiki.”

“Inggih Pakdhe.”, jawab Suroto.

“Ngomong –ngomong Sur, kuwi ana bocah sekolahan pengen numpak delmanmu tho. Dari tadi nunjuk-nunjuk delmanmu.”

Datanglah rombongan anak SMA yang sedang liburan ke arahnya.

“Tak pamit sek yho Sur. Wis tak andani rejeki ora bakal ngampiri wong sing kerjane turu wae pasrah karo kahanan. Bejo mau kowe tak tangike.”, kata Pakdhe War sembari turun dari delman Suroto.

Matur nuwun nggih Pakdhe.”, jawab Suroto.

“Yho..”

.........

Jam 01.00, Suroto mengendarai delmannya pulang ke arah Cangkringan. Hari ini merupakan hari yang melelahkan bagi Suroto. Sejak perbincangan dengan Pakdhe War tadi, tiba-tiba seperti hujan datang banyak orang yang ingin berkeliling Malioboro naik delamannya, bahkan malamnya rombongan turis Prancis memintanya untuk memintannya untuk mengantar mereka mengelilingi kota Yogya selama tiga jam.

Suroto berhenti sebentar di pinggir jalan. Di hitungnya uang yang ia dapat. Seratus dua puluh lima ribu rupiah. Alhamdulillah, batinnya.

Suroto menatap kedepan. Dilihatnya si Jongos mengenyam rumput dipinggir jalan.  Suroto masih memimikirkan perkataan Pakdhe War tadi pagi. Suroto merasa masih terjebak pada masa lalunya yang kelam. Masih terngiang dipikirannya akan kegagalan untuk mewujudkan cita-citanya. Namun sejak pertemuanya dengan Pakdhe War ia kembali memikirkan kembali apa tujuan hidupnya. Tergambar di benaknya adik-adiknya yang masih kecil dan kedua orang tuanya terutama ayahnya yang terbaring sakit di rumah.

Aku harus mencoba dari awal lagi.

Ini bukanlah akhir,

namun ini adalah awal dari perjalananku yang sebenarnya.

Aku tak ingin pasrah.

Aku ingin mencapai cita-citaku.

Tak ada kata menyerah bagiku.

Aku harus bisa...

Aku pasti bisa...

Jangkrik bernyanyi memainkan lagu malamnya. Di bawah hembusan angin malam, kuda itu kembali melangkah bersama sang kusir menyusuri jalan yang sunyi.

Plok... plok... plok...

Plok...plok... plok...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun