Mohon tunggu...
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Keep learning and never give up

pembelajar sejati

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mari Membumikan Nilai-nilai Puasa dalam Kehidupan Sehari-hari

17 Agustus 2012   18:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:36 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1345228410679038155

[caption id="attachment_200881" align="aligncenter" width="534" caption="Selamat berpuasa (Doc: Aingindra.com)"][/caption] Bulan Ramadhan sebentar lagi akan meninggalkan kita semua dan seluruh umat Islam sedunia segera akan  merayakan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1433 H. Perayaan hari ‘kemenangan’ ini merupakan suatu hal yang sangat penting, setelah menjalankan ibadah satu bulan lamanya pada bulan suci Ramadhan. Menjadi harapan kita semua bahwa setelah sebulan ditempa dengan ibadah untuk mengendalikan pelbagai hawa nafsu, umat yang menyongsong Hari Kemenangan akan keluar sebagai sosok insan yang lebih utama dan unggul. Memang secara fisik sebagian mungkin menjadi lebih kurus dibandingkan sebulan silam, tetapi batin dan jiwa, sebaliknya menjadi lebih kokoh, lebih tahan godaan, serta lebih kuat dalam prinsip dan keyakinan. Ini kualitas yang semakin kita butuhkan di tengah gelombang zaman yang semakin diliputi onak dan duri godaan duniawi. Oleh karena itu, untuk menjadi suci seluruh egosentrisme dan kesombongan manusia diredam demi menjaga hubungan baik dengan seluruh umat manusia, lingkungan, alam, dan segala sesuatu di luar diri dan pribadinya. Tidak mengherankan kemudian apabila kesucian 1 Syawal dijadikan momentum bagi seluruh umat muslim di berbagai penjuru dunia untuk memberi kesempatan bersilaturahim, bermaaf-maafan, dan kesempatan memperoleh kemenangan baik secara individual maupun kelompok. Idul Fitri seharusnya juga dimaknai sebagai ‘kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci’ sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang Muslim yang selama sebulan berpuasa,  dan menjalankan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan. Namun, dari pengamatan selama ini, kita lebih prihatin dengan krisis perilaku buruk yang banyak diperlihatkan oleh para elite. Maraknya korupsi di berbagai level birokrasi seperti memperlihatkan betapa jiwa yang rakus oleh keduniawian telah tega merampas hak-hak orang lain, dalam hal ini rakyat, yang masih banyak dililit kemiskinan. Untuk itu, Idul Fitri diharapkan kita akan kembali pada naluri kemanusian yang murni, kembali pada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari seluruh praktik busuk yang bertentangan dengan jiwa manusia yang masih suci. Kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak islami. Dengan demikian, hari Raya Idul Fitri sebagai penyempurna pascapuasa Ramadan menjadi sangat berarti ketika kemerdekaan kembali direngkuh. Manusia sebagai insan yang tidak pernah lepas dari salah dan lupa akan menemukan fitrahnya kembali apabila hari kemenangan ini dapat kita maknai dengan sungguh-sungguh. Bukan sekadar ritual yang habis manis sepah dibuang. Atau bergembira ria di hari Lebaran, selepas salat Ied berlalu. Namun segala sifat, mentalitas, dan perbuatan buruk mencuat kembali dan menorehkan tinta hitam di kertas putih dan suci. Kita acap kecil hati, mengapa di balik sosok yang di luar menampilkan simbol-simbol religiositas ada budi yang tumpul dan mata batin yang buta. Bukankah semua koruptor yang kini tengah diperkarakan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah insan-insan beragama, yang boleh jadi rajin beribadah. Namun, jelas dengan perilaku buruk itu mereka gagal menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Fitrah (kesucian) inilah yang kemudian menjadi dasar hidup kita berpijak. Maka lantunan takbir, tahmid, dan tasbih, merupakan tombak spiritual kita dalam rangka memerangi segala macam problem kehidupan; baik berupa ketertindasan struktural, kebodohan sosial, kemunafikan, kedengkian, kebohongan, keculasan, dan segala yang merugikan bagi diri sendiri ataupun bagi lingkungan sosial kita. Hal itu pula yang sedang dibutuhkan bagi bangsa dengan berbagai konflik sosial, kesenjangan ekonomi, dan hiruk pikuk politik seperti Indonesia. Apalagi dunia yang sedang kita tinggali, kini sedang dililit berbagai krisis, seperti oleh system perekonomian yang tampak semakin tak mampu menopang kesejahteraan umat manusia. Negara-negara di Eropa yang semula menjadi kblat kemajuan kini banyak yang goyah. Sementara Negara-negara berkembang yang tatanan social politik dan ekonominya belum mantap kini banyak didera krisis pangan dan energi Demikian juga, menahan diri yang dimaknai jauh lebih besar daripada sekadar urusan kerongkongan semestinya berarti keengganan orang untuk melakukan korupsi. Pengendalian serupa pula mestinya masuk ke ruang-ruang politik di tanah air yang didominasi oleh syahwat kekuasaan, bukan pengorbanan. Sudah terlalu lama politik kita menjadi ajang saling sandera antarpartai yang miskin substansi. Politik yang semestinya menjadi ajang perlombaan untuk menuju keadaban dan ajang memperjuangkan kepentingan rakyat, telah menjelma menjadi laga berebut kuasa dengan menghalalkan segala cara. Disamping itu, puasa seyogyanya mampu memupuk rasa solidaritas dan empati kita kepada masyarakat yang tidak punya atau tak berkecukupan. Bagi mereka rasa lapar yang muncul pada bulan Ramadan ini adalah merupakan keseharian yang mereka hadapi dalam 11 bulan sebelumnya. Karena hidup mereka memang berada pada garis kemiskinan atau bahkan dibawah garis kemiskinan. Dengan demikian, penderitaan yang dirasakan bersama mestinya melahirkan kekuatan untuk bersatu bagi bangsa ini, bukan nafsu memperkaya pundi-pundi pribadi apa pun dan bagaimanapun caranya. Bukankah sejarah sudah menunjukkan solidaritas untuk bangkit dan maju telah membuat bangsa ini keluar dari ketertindasan? Solidaritas pula yang membuat perbedaan suku dan agama kala itu terajut menjadi anyaman yang justru indah. Karena itu, alangkah malangnya bangsa yang religius ini jika kesempatan untuk merefleksi diri lewat Ramadan itu menguap begitu saja. Kalau selepas puasa kali ini pun kita masih belum naik derajat ke hidup yang baik, boleh jadi puasa yang kita jalani memang hanya menghasilkan haus dan lapar sebagaimana dikhawatirkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Untuk itu, mari kita refleksikan pada hari yang fitri ini ibadah kita dan jadikan kekuatan ibadah yang kita laksanakan untuk bekal berbuat kebaikan, mengisi kemerdekaan, membangun bangsa, dan menjadikannya jaya dan benar- benar merdeka. Yaitu dengan kita membumikan ajaran dan hikmah apa yang terkandung dibalik perintah dari ibadah puasa ini untuk kita terapkan pada 11 bulan-bulan berikutnya. Training 1 bulan penuh ini, diharapkan bisa membekali kita untuk melangkah jauh ke depan serta menghiasi jejak langkah perilaku kita dalam menuju perubahan yang nyata.  Karena pada dasarnya, puasa bukan hanya untuk menahan lapar dan dahaga di siang hari.  Tapi diharapkan kita menjadi manusia yang bertaqwa yang terwujud dalam kehidupan kita sehari-hari. Tanpa ada perubahan yang nyata dalam diri kita, maka puasa nyaris tak bermakna dan tidak berbekas. Selamat jalan bulan Ramadan, semoga kita dipertemukan lagi di masa yang akan datang. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1433 H. Taqabbalallahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir dan batin.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun