Mohon tunggu...
Nugroho Angkasa
Nugroho Angkasa Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pemilik Toko Online di Dapur Sehat dan Alami, Guide Freelance di Towilfiets dan Urban Organic Farmer. Gemar Baca dan Rangkai Kata untuk Hidup yang lebih Bermakna. Blog: http://local-wisdom.blogspot.com/.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Merajut Masa Depan Bocah Merapi

3 Juli 2012   09:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:19 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1341307884744937259

Dimuat di Indonesia Art News, Senin/2 Juli 2012 http://indonesiaartnews.or.id/bukudetil.php?id=11

POLOS nian ekpresi anak-anak lereng Merapi, walau sebenarnya mereka geram menyaksikan penambangan pasir yang merusak alam desa Sumber, Muntilan, Jawa Tengah. Maka, tatkala bocah-bocah tersebut berpapasan dengan truk-truk penjarah pasir di jalan, tanpa ada yang mengkomando mereka sontak terdiam. Lantas, apakah anak-anak desa itu kemudian melempari batu? Ternyata tidak, mereka hanya tak mau mengeluarkan sepatah kata pun. Tetapi begitu terbebas dari pandangan yang menyiksa itu, mereka kembali berlarian, bersenda-gurau, dan bersiul gembira.

Begitulah penuturan Romo Vincentius Kirjito Pr selaku "pamong" mereka. Putra pasangan Kromo Pawiro dan Padinem ini merupakan alumni Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Ada satu prinsip yang menarik untuk dicermati. Baginya, media massa bukan sekadar “panggung” untuk pemberitaan sebagai seorang pesohor.

Dalam konteks ini, sungguh berbeda dengan kecenderungan para elit politik yang 'hobi" menggelar konferensi pers. Paderi desa kelahiran Menoreh, 18 November 1953 tersebut memaknai interaksi dengan media massa tak cukup sekadar menjalin komunikasi antara seorang berjubah dengan pekerja pers. Kenapa? Karena ini lebih merupakan srawung (interaksi) antarmanusia yang berkehendak baik.

Pastor Praja (Pr) Keuskupan Agung Semarang (KAS) ini mengaku terinspirasi dari petuah Romo Y.B. Mangunwijaya. Pada 1987 silam, tepatnya di Salam, kabupaten Magelang, ada pelatihan terkait tugas-tugas Imam di dalam masyarakat. Mendiang Romo Mangun berpesan, “Imam Praja itu punya kesempatan bagus untuk dekat dengan masyarakat, merasakan denyut nadi, suka-duka masyarakat.

Dalam sistem politik yang semakin menekan masyarakat, seorang Imam Praja bisa menjadi saluran menyuarakan aspirasinya. Paling tidak bisa menyalurkan lewat media massa, entah dengan menulis atau sekurang-kurangnya menjadi narasumber media dalam mencari kebenaran suatu masalah dalam masyarakat. Karena media massa itu yang memerankan “wakil rakyat” yang sesungguhnya (halaman v)”.

Buku ini merupakan kompilasi buah pena para insan pers selama 10 tahun (2001-2011). Isinya menyiratkan betapa komplit dinamika kehidupan masyarakat di pedesaan. Mulai dari keindahan lingkungan alam sekitar, kearifan pustaka budaya lokal, hingga keluh-kesah akar rumput dan warta bahagia dari lereng Merapi. Penulisnya terdiri atas para wartawan media cetak dan elektronik. Baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Total ada 51 artikel. Terbagi ke dalam 3 sub-bab: Masalah Ekologi, Pagelaran Budaya, dan Spiritualitas.

“Know Thyself,” sebuah mantra ampuh dari Yunani. Artinya, “Kenalilah Dirimu.” Menyitir pendapat Anand Krishna. Ternyata, ada 3 macam diri manusia. Pertama, diri kita menurut orang lain. Kedua, diri menurut diri kita sendiri. Ketiga, diri kita yang sejati. Lantas, bagaimana anak-anak Merapi menemukan kembali jati dirinya? Yakni, sebagai bagian dari kolektivitas wong gunung nan murni itu. Lewat artikel bertajuk, “Kawruh Sakti untuk Anak-anak Merapi” (halaman 91-94) termaktub jawabnya.

Alkisah, Anjani berpesan pada Anoman dalam pertunjukan Wahyu Mangliawan, “Anakku, mulai saat ini jika kamu haus minumlah embun di pepohonan dan rerumputan, jika kamu lapar makanlah buah dan ubi di hutan. Itu sama dengan meminum air susu ibumu dan memakan masakan ibumu. Ketika kamu bersedih karena kesepian, kamu tidak boleh lagi menangis karena sendiri. Alam ini adalah saudaramu...”

Artinya, kembali ke Bunda alam semesta (back to Mother nature). Mendekatkan anak-anak dengan lingkungan sekitar dan budaya lokal. Dua acungan jempol untuk kreatifitas anak-anak lereng Merapi. Terutama tatkala mereka bermain dhakon. Kenapa? Karena tanpa papan congklak sekalipun, para "bolang" dusun Gemer, kecamatan Dukun, Muntilan tersebut masih bisa menikmati keindahan masa kanak-kanak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun