Mohon tunggu...
Novi Candra
Novi Candra Mohon Tunggu... -

PhD student di bidang children's mental health di The University of Melbourne, Australia Dosen Psikologi Perkembangan, UGM Relawan gerakan 'Indonesia Belajar' (http://www.indonesia-belajar.org)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

(Bukan Hanya) Karena Anak-anakku Perempuan. Sebuah Tulisan dalam Perjalanan Mencari Pemimpin Indonesia

7 Juli 2014   11:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:10 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini saya tulis di hari menjelang pemilihan umum yang dilaksanakan di Melbourne pagi tepatnya tanggal 5 Juli 2014. Sehari setelah ulang tahun anak ke 3 saya, Maiza Soraya Syakieb yang ke 7 tahun. Meski doa saya kepada mereka selalu berbeda untuk ketiganya, selalu ada terselip doa yang sama yaitu agar mereka selalu menjadi manusia yang berilmu luas, bukan hanya ilmu pengetahuan dan atau agama, tapi juga ilmu kehidupan, agar mereka menjadi wanita-wanita cerdas dan bijaksana. Tidak cukup hanya itu, saya juga selalu menyelipkan doa agar meskipun mereka wanita, mereka dapat memberi kontribusi dan manfaat nyata bagi kehidupan, sejarah dan peradaban dunia. Terlalu muluk muluk ya? Tidak bagi saya, karena mereka harus tahu bahwa setiap manusia yang diciptakan oleh Tuhan diharapkan untuk memberi manfaat bagi kehidupan yang diciptakan oleh penciptaNya semaksimal mungkin. Berangkat dari doa saya setiap hari ini, saya menuliskan sebuah refleksi perjalanan saya untuk mencarikan pemimpin .bukan hanya untuk anak-anak perempuan saya, tapi juga anak-anak perempuan lainnya dan juga bagi bangsa kita, Indonesia.

Seperti biasanya di setiap liburan sekolah, anak-anak akan menghabiskan waktunya untuk membaca atau melihat video. Kami biasa pinjam buku dan video di perpustakaan public terdekat. Luar biasa memang negara ini (Australia) memberi akses membaca pada setiap generasinya. Seperti juga liburan kali ini yg bersamaan dengan puasa, saya tawarkan anaka-anak ke perpustakaan untuk memimjam buku. Tidak seperti biasanya, Aliya (12 tahun) putri pertama saya menolak. “Seminggu lagi bunda, karena kakak mendapat tugas membaca dari sekolah sebanyak 3 buku.” Ketika saya cermati, dia mendapat tugas membaca 3 buku masing masing setebal 200 halaman dengan judul ‘Parvana 1”, Parvana 2, dan ‘the children of war’ ditulis oleh Deborah Ellis.  Wow, ketiga buku itu bercerita tentang Malala, dan bagaimana wanita-wanita muda Afganistan. Saya coba baca secara lompat-lompat untuk tahu isinya. Dan ternyata isinya luar biasa, cerita tentang Malala dan Parvana ini menceritakan bagaimana seorang wanita muda menggunakan hak politiknya untuk memperjuangkan pendidikan di bangsanya.  Ada unsur politik, sosial budaya, dan pergulatan personal yang psikologis dalam cerita cerita itu.

Tetarik dengan itu, saya melanjutkan dengan bertanya padanya, “Kak, why your teacher choose these books.” Why Malala ? . Saya tidak menyangka jawabannya, “Because she is a leader in triple minority, she is woman, moslem and young. “ Lalu dia melanjutkan, ‘After we read this book, my teacher ask us to review the book and write what have you been inspired by Malala, and also we are asked to write down about what kind of our message in our life who will contribute to other’s life.”

Wow.., waktu saya seusia dia saat ini, rasanya saya tidak mungkin menjawab dengan jawaban seperti itu. Pandangan yang menurut saya tidak sederhana. Saya menunggu sampai dia menyelesaikan membaca bukunya, dan saya ingin menanyakan lebih lanjut pandangannya tentang perjuangan Malala, pasti banyak kejutan.

Bagi saya yang dibesarkan pada masa orde baru, mengenal politik, bicara politik, mendiskusikan politik dan melatih sikap politik saya baru saya mulai ketika saya duduk di bangku kuliah UGM dan aktif di gelanggang sebagai senat mahasiswa. Dalam balutan suasana represif saat itu, saya awalnya’ terpaksa’ melatih diri saya untuk mengenal politik. Dan , iya, kebanyakan rekan saya bicara dan diskusi politik adalah laki-laki. Bahkan saat saya dan sahabat dekat saya Winda Widyastuti aktif dalam demo-demo kampus, beberapa rekan kami menanyakan untuk apa aktif sebagai senat, berbicara kebijakan, mengkritisi kebijakan. Tugas mahasiswa ya belajar saja. Apalagi saat itu bicara politik dipandang tabu!.Sampai sekaran pun sampai saya mengambil PhD di Melbourne, Australia, saya tidak menemukan banyak teman wanita Indonesia yang tertarik membicarakan politik. Jangankan politik, mendiskusikan negara kita dengan sedikit serius saja saya sulit mencari tendemnya. Namun ada yang lucu, ada beberapa rekan yang mengatakan bahwa mereka tidak suka dengan politik dan tidak suka membicarakan politik karena bukan kapasitas mereka (namun disisi lain mereka aktif di sebuah partai, aktif politik praktis walaupun dibungkus isu lain). Politik di Indonesia dipandang sebagai aktivitas kotor. Sementara secara gender sosial masyarakat kita, wanita digambarkan sebagai wanita yang lemah lembut, sehingga tidak selayaknya bicara politik, bicara tentang sosial masyarakat, karena mungkin bicara tentang gossip selebriti lebih menarik, bicara tentang orang lain lebih menantang, atau bicara tentang agama lebih menjanjikan surga bagi wanita Indonesia.

Demikian juga wacana tentang perempuan, tentang gender. Sejak kecil saya hanya tahu bahwa wanita itu tugas utamanya mengurus rumah dan setelah menikah semua halnya tergantung pada suami saja.

Sementara itu, di sini di Australia, pendidikan gender telah dimulai ketika mereka di sekolah dasar. Bukan dengan ceramah dan kata-kata, namun dengan kebijakan dan aktivitas sekolah. Pelajaran memasak, misalnya, diajarkan kepada seluruh anak-didik tanpa membedakan laki-laki dan perempuan sejak mereka di sekolah dasar sampai ke sekolah atas. Dari sini kita dapat melihat, bahwa memasak adalah ketrampilan hidup yang harus dimiliki oleh semua manusia baik laki-laki dan perempuan. Bukan monopoli wanita saja seperti di kultur kita selama ini. Demikian juga pada pemilihan leader atau pemimpin di sekolah. Mereka selalu memilih pasangan laki-laki dan perempuan sebagai kapten sekolah. Semangat penghargaan terhadap pemberian kesempatan yang sama kepada perempuan sangat terasa dalam aktivitas yang dibangun di sekolah. Saya percaya pendidikan gender bukan hanya ditujukan pada anak-anak wanita, namun juga pada anak laki-laki, agar dia mampu menghormati, memiliki mindset untuk tidak memisahkan peran wanita antara domestic dan ruang public. Belum lagi tingginya angka kematian ibu melahirkan dan juga kekerasan pada wanita dan anak baik di dalam rumah tangga maupun secara sosial, serta tingginya mental illness seperti stress, depresi pada wanita.

Karena saya memberi perhatian yang tingi pada kualitas sumber daya manusia terutama kaum yang kadang tak terdengan seperti wanita, anak-anak, anak muda, dan juga difable people maka saya selalu mengikuti kebijakan negara yang berkaitan dengan mereka.

Termasuk beberapa saat ini, saat kita akan memilih pemimpin. Saya adalah wanita yang berusaha menyeimbangkan porsi rasional dan emosional dalam menentukan pilihan terhadap apapun, termasuk dalam memilih presiden. Saya sangat concern dengan bagaimana visi dan misi yang mereka tawarkan kepada bangsa ini. Terus terang selama lebih dari satu dikade setelah reformasi, pemilu kali ini sangat menarik buat saya. Bukan saja karena hanya ada dua kandidat yang menurut saya sama kuatnya, namun karena mereka sangat terbuka dalam mensosialisasikannya di media sosial ataupun debat terbuka.

Karena perhatian saya pada pembangunan manusia, maka saya selalu mencermati visi-misi kedua calon presiden dalam bidang pendidikan, pemberdayaan wanita, kaum disable, anak-anak, pemuda, kesehatan dan kesejahteraan sosial. Hasil amatan dan analisis saya ini dibantu oleh analisis beberapa rekan yang terjun langsung dalam kebijakan dan juga beberapa rekan yang turut dalam penyusunan visi misi mereka. Dan berikut amatan saya terhadap visi misi kedua calon tersebut dalam hal pemberdayaan pada wanita, anak dan kaum muda.

Dalam sebuah bingkai yang besar pasangan Prabowo-Hatta (PH) mengemukakan bahwa sumber daya alam adalah resources utama bangsa yang harus diberdayakan dan dijaga. Sementara kubu JJ (Jokowi-JK) selalu menegaskan bahwa sumber daya yang paling utama harus dikelola oleh bangsa ini adalah manusianya melalui pendidikan dan rekayasa sosial yang diberi tema besar’ revolusi mental’. Sebagai langkah awal, frame besar JJ menarik perhatian saya. Mengapa? Isu bahwa Indonesia kaya akan sumber daya alam dan harus cerdas mengelolanya adalah isu lama sekali yang terbukti Indonesia gagal melaksanakan dengan optimal. Ada apa? Karena Indonesia tidak serius dalam membangun peradaban dan kualitas manusia yang memiliki tanggung jawab mengelola sumber daya alam. Ditambah lagi, untuk menghadapi tantangan global ke depan seperti AFTA 2015, Indonesia harus memiliki sumber daya manusia yang memiliki mental, karakter, ketrampilan unggul sehingga memiliki daya saing tinggi dengan sdm bangsa lain. Dalam hal ini, saya melihat kebaruan cara pandang dan harapan besar pada kandidat JJ.

Pada visi misi tentang wanita, saya cermati

Pada dokumen kubu PH, tidak ada agenda dan program nyata untuk perempuan. Jika ditelusuri secara cermat, ada 2 point yang benar-benar menyebut kata 'perempuan', yaitu:

1.Memberikan perlindungan yang efektif kepada perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya dari tindakan kekerasan dan kejahatan termasuk kejahatan seksual, serta meningkatkan status Kementerian Negara Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak menuju Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

2.Menempatkan 30% perempuan dalam posisi menteri dan/atau pejabat setingkat menteri serta mendorong kedudukan strategis lainnya bagi perempuan pada pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.

Pada dokumen kubu JJ, pemberdayaan perempuan menjadi agenda ke-10 dengan 7 prioritas utama, yaitu:

1.Tidak berlaku diskriminatif

2.Membuat kebijakan tindakan khusus sementara terhadap kelompok marjinal, termasuk perempuan, untuk menjamin kesetaraan sebagai warga negara

3.Memperjuangkan pemenuhan kuota perempuan 30% tidak sekedar angka tetapi juga mendorongkan agar semua partai politik memiliki dan menyiapkan kader politik, kaderisasi, dan memberikan akses yang sama dan adil kepada politisi perempuan untuk terlibat dalam politik partainya. Tidak hanya dalam ranah partai tapi juga eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

4.Menyediakan sistem perlindungan sosial bidang kesehatan yang inklusif dan menyediakan jaminan persalinan gratis bagi setiap perempuan.

5.Menyelenggarakan pendidikan 12 tahun yang berkualitas dan tanpa biaya di seluruh Indonesia serta menerapkan nilai-nilai kesetaraan gender dan penghargaan terhadap keberagaman dalam pendidikan.

6.Mengefektifkan semua UU untuk penghentian kekerasan terhadap perempuan melalui peningkatan upaya-upaya pencegahan, meningkatkan kapasitas kelembagaan, peningkatan alokasi anggaran serta mengembangkan dan menerapkan kerangka pemantauan dan evaluasi yang efektif.

7.Menginisiasi pembuatan peraturan perundangan dan langkah-langkah perlindungan bagi semua pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam maupun luar negeri terutama untuk buruh migran perempuan.

Selain pada 7 point di atas, ada juga program-program berikut:

1.Pemberanasan tindakan kriminal yang menjadikan anak dan perempuan sebagai objek eksploitasi di dunia kerja, dan objek transaksi dalam masalah kejahatan perdagangan manusia baik di dalam maupun lintas negara.

2.Menghapus regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan, termasuk perempuan, anak, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas.

3.Memprioritaskan penanganan kasus kekerasan seksual terutama pada perempuan dan anak.

(terima kasih kepada rekan saya Yanti Depe, untuk informasinya yang sangat lengkap)

Jika saya perhatikan, ada dua cara pandang mendasar yang berbeda diantara kedua kandidat. Pada sisi PH, perempuan dipandang sebagai kelompok yang tidak berdaya sehingga negara hadir untuk melindungi, namun sayang tidak jelas bagaimana pemerintah akan membuat perempuan seperti saya menjadi warga negara yang berdaya kecuali bahwa ada reformasi di kabinet (Depe, 2014)

Sebaliknya kembali  JJ membuat cara pandang baru terhadap perempuan. Pemerintah melihat bahwa perempuan seperti saya adalah manusia dan warga negara yang berdaya dan untuk memastikan keberdayaan ini semua pintu yang terkait dengan kehidupan saya sebagai perempuan dibuka lebar-lebar. Kesehatan, pendidikan, layanan publik, keamanan, bahkan sampai pekerjaan (Depe, 2014).

Sebagai seorang pendidik dan sangat konsen dengan pendidikan, saya sangat berharap point 5 dalam point-point JJ mampu dilaksanakan pada pemerintahan ke depan.  Selain beberapa hal kuratif mengenai evaluasi kebijakan terhadap perda yang mendiskriminasi wanita, prioritas penanganan kekerasan terhadap wanita dan anak, ataupun penanganan TKW, pandangan promotif dan preventif dengan pendidikan adalah sebuah pemikiran luar biasa yang visioner.

Seperti juga sekilas cerita saya tentang sistem pendidikan di Australia mengenai pengenalan kesetaraan gender melalui pendidikan, hal itu pun yang saya harapkan hadir di Indonesia. Pendidikan sejak dini mengenai gender dan anti diskriminasi akan menciptakan kebaruan berpikir generasi muda mengenai bagaimana saling menghormati setiap perbedaan termasuk didalamnya laki-laki dan perempuan. Pendidikan sejak dini mengenai kesetaraan gender diharapkan mampu mengubah cara pandang anak-anak perempuan sendiri bahwa mereka berdaya untuk memperjuangkan bukan hanya kaumnya namun juga bangsanya. Sehingga bukan tidak mungkin akan lebih banyak wanita-wanita Indonesia yang cerdas, bersih, berkarakter untuk mengisi ruang ruang politik dan kebijakan di ranah public. Sehingga kuota 30 persen di kabinet dan parlemen sudah tidak lagi menjadi isu kuantitas, namun lebih pada kualitas.

Pendidikan kesetaraan gender di sekolah juga diharapkan mampu mengubah paradigma kau laki-laki bahwa wanita sebagai ibu dari anak-anak bangsa, mestinya cerdas, berani, dan berkarakter, sehingga mereka mampu menjadi partner di rumah tangga dengan system kerja sama, dan mampu memberi ruang (atau bahkan mendorong) para perempuan berkontribusi secara sosial dan memiliki pengaruh baik pemikiran maupun kerja dalam ruang publik.

Cara pikir baru tersebut akan membangun sebuah peradaban sosial masyarakat yang baru,di mana kemudian akan turun angka kekerasan pada wanita dan anak yang selama ini dipandang sebagai kaum ‘lemah’ dan pantas untuk diperlakukan tidak adil. Cara pikir baru tersebut akan membantu memikirkan secara luas dan komprehensif bagaimana para wanita yang bekerja di luar negeri (TKW) adalah warga negara yang sangat berharga, sehingga pemerintah serius memberdayakan, melatih, mendidik bukan hanya mereka , para TKW namun juga keluarga dan anak-anak mereka yang ditinggalkan.

Saya sangat berharap Indonesia ke depan adalah Indonesia baru, yang memiliki ‘manusia-manusia’ dengan cara pikir baru yang lebih baik.

JJ menawarkan kebaruan ‘cara pikir dan cara pandang’ dalam visi misinya bukan hanya di bidang pendidikan dan wanita, namun juga pada kaum difable dan pemuda. Mengenai kedua isu tersebut saya juga melihat konsistensi cara pandang diantara dua kandidat. PH selalu melihat mereka sebagai kaum lemah yang harus dilindungi, di beri dana. Sekali lagi Negara hadir sebagai pelindung.

Sementara JJ konsisten dengan melihat mereka sebagai warga negara berdaya yang mampu memiliki produktifitas sama dengan warga negara lain danmemberdayakan mereka melalui pendidikan, sejak dini. Manusia siapapun itu di negeri ini adalah sebuah investasi yang harus terus dikembangkan.

Cara berpikir menentukan bagaimana manusia bersikap terhadap sesuatu. Cara bersikap menentukan bagaimana manusia berkarya dan bertindak. Dan cara pikir, sikap dan bertindak yang baru tersebut akan menjadikan karakter baru bagi Indonesia baru yang hebat. Menjadikan wanita-wanita Indonesia luar biasa, membangun anak-anak muda yang unggul.

Sebuah perjalanan mencari pemimpin untuk Indonesia ke depan, akhirnya harus saya tentukan pagi itu, 5 Juli 2014 saya , salah satu perempuan Indonesia dengan 3 anak perempuan harus menentukan pilihan saya .

Bagi saya, kedua calon Presiden saat ini adalah putra-putra terbaik bangsa, dimana mereka mau mendedikasikan dirinya, masuk dalam kubangan, mengotori diri dan tangannya untuk mengemban tugas yang lebih besar. Namun untuk saat ini, kita harus menentukan pilihan. Dan pilihan saya adalah memilih salah satu dari mereka yang mempercayai bahwa manusia Indonesia adalah harta tak ternilai  dan kunci utama menjadikan bangsa ini kembali hebat, megah dang anggun di masa depan.

Saya memilih pasangan ini karena saya menemukan sebuah harapan besar yang selama ini hilang mengenai Indonesia baru. Saya menemukan banyak ‘kebaruan’ ide, cara pandang dalam visi misnya yang pasti akan mempengaruhi cara memimpin dan strategi penyelesaian segala problem di Indonesia. Indonesia baru adalah Indonesia yang memiliki manusia-manusia  yang penuh optimis. Indonesia Baru dengan aura positif, yang ramah terhadap perbedaan. Indonesia Baru itu adalah tempat ketiga anak perempuan saya hidup, tumbuh dengan pendidikan dan teladan baik  pemimpin-pemimpinnya dalam melihat perbedaan termasuk dalam memandang dan memperlakukan perempuan.

(Bukan hanya) karena anak-anak saya perempuan saya memilihnya, namun lebih dari itu, karena untuk seluruh anak-anak bangsa lainnya saya menitipkan harapan pada pasangan Jokowi-JK.

Saya memilih nya karena saya ingin melihat anak-anak perempuan saya melihat bahwa pemimpin itu harus banyak mendengar. Saya ingin melihat anak anak perempuan saya belajar bahwa pemimpin itu harus banyak bekerja. Dan saya ingin melihat anak-anak saya belajar bahwa ke depan politik adalah berisi orang-orang yang jujur, bersih, dan mampu menjadi panutan bagi masyarakatnya. Dan selanjutnya saya ingin mereka serta anak-anak perempuan lain memiliki kesempatan, kepercayaan diri untuk menjadi pemimpin di kemudian hari.

Namun lebih jauh daripada itu, saat ini marilah kita berikan kesempatan pada seluruh anak-anak Indonesia untuk melihat tentang indahnya perbedaan dalam demokrasi. Bahwa siapapun presidennya, kita semua akan menghormati hasilnya. Bahwa siapapun presidennya kita akan tetap hidup damai dan saling bekerja sama.

Saya pun akan memberikan contoh pada anak- anak saya, bahwa siapapun presidennya, saya akan terus menyuarakan pendidian. Perempuan tidak hanya mampu urun angan, tapi juga turun tangan.(Baswedan, 2014).

Saat ini saya telah memilih untuk ikut menentukan Indonesia bagi anak-anak saya, dan anak-anak Indonesia. Bagi perempuan Indonesia yang akan menggunakan hak politiknya tanggal 9 Juli nanti, semoga ini menjadi sebuah bahan refernsi untuk menentukan masa depan bagi anak-anak kita agar tidak menyesal nantinya.

Salam damai Indonesia

Melbourne, 7 Juli 2014

Untuk Indonesia Baru

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun