Mohon tunggu...
Novita Liangga Kumala
Novita Liangga Kumala Mohon Tunggu... -

A stubborn person who follows Aristotle saying of: "We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit." Therefore, this is my trial and error writing lab.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bahasa, Hukum, & Bahasa Hukum

24 September 2012   18:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:47 2791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang mulai lupa betapa pentingnya mempelajari dan memahami bahasa Indonesia saat ini. Tidak sedikit yang menganggap pemahaman bahasa Indonesia hanya dibutuhkan bagi mereka yang bekerja atau akan bekerja sebagai guru bahasa Indonesia, ahli sastra bahasa Indonesia, penerjemah, dan lain-lain yang berkisar hal-hal tersebut.

Hal ini umum dipahami, karena penulis pun sempat merasakan hal yang sama apalagi ketika menjadi murid Sekolah Menengah Atas. Sayang, ternyata ketika terjun ke duniakerja, ada banyak hal yang menyangkut penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar dalam kehidupan bekerja sehari-hari. Menulis peraturan kantor, surat biasa atau surat elektronik untuk pihak luar atau bahkan memo singkat internal kantor ternyata butuh penerapan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika tidak, siap-siap menerima cemoohan dari orang lain atau bahkan yang lebih parah dari klien.

Beruntunglah mereka yang tidak perlu mempersiapkan produk tertulis dalam bahasa apapun itu setiap hari, namun sangat tidak beruntung apabila setiap hari pekerjaan kita adalah mempersiapkan produk tertulis. Lebih parah lagi, apabila produk tertulis yang dipersiapkan bukan sekedar memo atau surat elektronik, namun mempersiapkan sebuah rancangan undang-undang (berikutnya disebut “RUU”). Wow.

Tidak perlu dibahas lagi, RUU apabila menjadi Undang-Undang akan berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali, hal yang sama berlaku atas peraturan pemerintah dan jenis peraturan lainnya. Misalnya Peraturan Bank Indonesia umumnya berlaku untuk bank, namun dalam beberapa situasi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap orang perseorangan sebagai nasabah bank. Setelah semua rancangan peraturan tersebut melalui tahap tinjauan atau pengecekandan disahkan oleh pejabat yang berwenang maka peraturan tersebut akan berlaku dan tidak seorangpun dapat beralasan tidak mengetahui peraturan tersebut sehingga bisa lolos atas pelanggaran apapun yang mereka lakukan.

Seringnya, kita akan terkejut, tersakiti dan uring-uringan setelah peraturan berlaku dan lebih sering lagi setelah peraturan tersebut menggigit punggung kita. Betul sekali, setelah kita melanggar peraturan dan harus menerima sanksi, baru pada saat itu kita akan menyimak, memperhatikan dan bersikap kritis atas isi peraturan tersebut serta berusaha menunjukkan ke seisi Indonesia betapa salahnya peraturan itu. Uniknya, terkadang (atau seringnya) peraturan-peraturan ini memang... aneh adanya. Entah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, bertentangan dengan peraturan yang sudah ada sebelumnya, bertentangan dengan norma atau tidak menggunakan (atau mempertimbangkan) bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga menimbulkan ambiguitas atau kebingungan dalam penerapannya.

Nah, apakah masih ada yang berpikir bahwa bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak diperlukan mengingat hal-hal di atas?

Umumnya, manusia tidak mempercayai suatu hal tanpa adanya bukti-bukti yanag disajikan di hadapan mereka. Maka, berikut adalah 2 peraturan yang menurut penulis cukup unik untuk dikaji atau dijadikan contoh terkait hal tersebut:

A.Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentangPertambangan Mineral dan Batubara(“UU No. 4/2009”) dan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2012 tentang Perubahan atas peraturan pemerintah nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP No. 24/2012”)

Pasal 93 UU No. 4/2009 mengatur bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain.

Sekedar informasi, IUP adalah Izin Usaha Pertambangan yaitu izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Sedangkan IUPK adalah Izin Usaha Pertambangan Khusus yaitu izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. Intinya, izin yang diberikan kepada pelaku usaha untuk melaksanakan pertambangan.

Harap jangan bertanya apa makna “memindahkan” dalam Pasal 93 UU No. 4/2009, karena penjelasan dari Pasal 93 adalah “cukup jelas”. Jadi harusnya pembaca UU No. 4/2009 yang berasal dari beragam latar belakang pendidikan dan tingkat pemahaman bahasa Indonesia memahami betapa jelasnya kata “memindahkan”. Sekedar membantu, menurutpenulis memindahkan memiliki arti yang sama dengan mengalihkan (dengan cara apapun) kepada pihak lain.

Bertentangan dengan isi Pasal 93 UU No. 4/2009, Pasal 7A PP No. 24/2012, menyebutkan bahwa:

“( 1 ) Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain.

( 2 ) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan usaha yang 51 % (lima puluh satu persen) atau lebih sahamnya tidak dimiliki oleh pemegang IUP atau IUPK.”

Dalam ayat (1) jelas disebut bahwa pemegang IUP dan IUPK tidak diperbolehkan memindahkan izinnya kepada pihak lain. Namun ayat (2) mengatur bahwa pihak lain meliputi badan usaha yang 51% atau lebih sahamnya tidak dimiliki pemegang izin.

Hm, baiklah. Kontradiksi.

Dilihat dari penerapan dan penggunaan bahasa Indonesia sudah tidak tepat, apalagi ditinjau dari segi hukum.

Dari segi bahasa Indonesia, ayat (1) dan ayat (2) jelas bertentangan. Ketika menggunakan istilah pihak lain, seharusnya izin tersebut tidak dapat dipindahkan kepada pihak ketiga manapun. Lebih lanjut, isi dari ayat (2) menggunakan konstruksi bahasa yang membingungkan. Untungnya, Pasal 7A ayat (2) dari PP No. 24/2012 memiliki penjelasan yang lebih dari sekedar cukupjelas, yaitu:

“Ketentuan ini dimaksudkan bahwa IUP atau IUPK hanya dapat dipindahkan kepada badan usaha yang 51 % (lima puluh satu persen) atau lebih sahamnya dimiliki oleh pemegang IUP atau IUPK.”

Jadi meski ayat (1) menyatakan tidak dapat dipindahkan, ayat (2) dan penjelasannya menyatakan dapat dipindahkan asalkan kepada badan usaha yang 51% atau lebih sahamnya dimiliki oleh pemegang IUP atau IUPK.

Ditinjau dari segi hukum, pengecualian-pengecualian atas suatu pengaturan umum memang sering terjadi. Namun khusus mengenai hal ini, harap diingat bahwa UU No. 4/2009 telah secara tegas mengatur bahwa IUP dan IUPK tidak boleh dipindahkan. Lebih lanjut, UU No. 4/2009 tidak memberikan penjelasan atau pengecualian tambahan.

Dengan demikian, mengingat asas hukum “Lex Superior Derogat Legi Inferiori”* maka pengaturan dalam PP No. 24/2012 yang memperbolehkan pemindahan IUP dan IUPK tidak sesuai teori hukum (juga dengan tata bahasa Indonesia) dan menurut hemat penulis, salah adanya.

Berikut penulis akan membahas peraturan lain yang berkaitan secara langsung dengan bahasa Indonesia, namun dengan penerapannya akan sedikit unik.

B.Undang-Undang No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (“UU No. 24/2009”)

Tak dapat dipungkiri, UU No. 24/2009 adalah salah satu undang-undang dengan nafas nasionalisme yang kental. Tujuannya jelas untuk mengatur keberadaan keempat simbol identitas Republik Indonesia. Tujuan yang mulia ini semoga dapat dijalankan dengan mulia, bagaimanapun isi dari UU No. 24/2009 tersebut saat ini.

Salah satu pasal yang menarik dari UU No. 24/2009 adalah Pasal 28 UU No. 24/2009 yang berbunyi bahwa:

“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam ataudi luar negeri.”

Melirik isi dari penjelasan Pasal 28 UU No. 24/2009 disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan “pidato resmi” adalah pidato yang disampaikan dalam forum resmi oleh pejabat negara atau pemerintahan, kecuali forum resmi internasional di luar negeri yang menetapkan penggunaan bahasa tertentu.”

Pengaturan yang cukup unik ini mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi pejabat negara, termasuk Presiden, kecuali forum resmi internasional di luar negeri yang menetapkan penggunaan bahasa tertentu.

Teorinya akan cukup mudah untuk menerapkan peraturan tersebut, bahasa Indonesia harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Presiden wajib pidato dalam bahasa Indonesia dalam setiap forum resmi. Apa susahnya?

Kenyataannya, bahkan presiden Republik Indonesia-pun terjebak dalam lubang UU No. 24/2009 ketika SBY menggunakan bahasa Inggris dalam pembukaan konferensi tingkat menteri ke-16 Gerakan Non Blok di Grand Hyatt Hotel, Nusa Dua, Bali pada 2011 lalu.

Siapa yang menyangka?

Kalau boleh dilirik kembali, ternyata Presiden SBY adalah orang yang mengesahkan berlakunya UU No. 24/2009 pada tanggal 9 Juli 2009. Menarik. Ternyata, mengesahkan dan menetapkan bukan berarti memahami keseluruhan isi dari peraturan tersebut. Meninjau dan membaca bukan berarti memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang atas pemilihan kalimat atau bahkan kata dalam suatu RUU.

Tentu saja, akan sangat bijak adanya untuk berpidato dengan bahasa Indonesia di hadapan sekian banyak tamu resmi negara yang berasal dari berbagai negera serta berbicara dengan beragam bahasa pula. Presiden SBY berpidato dengan bahasa Indonesia dan tamu-tamu negara manggut-manggut mengerti. Khayalan masa depan yang indah.

Dengan contoh kasus dan pemaparan di atas, maka penulis berharap bahwa pemahaman, penerapan dan pemilihan bahasa Indonesia dalam suatu peraturan telah jelas memiliki pengaruh, dampak dan hasil yang signifikan.

Hal ini kemudian membawa kita kepada pertanyaan besar berikutnya, siapa sesungguhnya yang merancang dan mempersiapkan RUU? Jawabannya tentu adalah organ legislatif Republik Indonesia, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, mari kita semua berharap bahwa para wakil rakyat Republik Indonesia yang terhormat, yang sedang menjabat, yang berasal dari beragam latar pendidikan, setidaknya memiliki satu kesamaan.

Pandai berbahasa Indonesia. Jika tidak... Mari berdoa saja supaya mereka tidak banyak mengamandemen dan membuat UU baru selama masa jabatannya.

Semoga saja.

***

* Asas hukum yang menyatakan apabila terjadi konflik/pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang lebih rendah maka peraturan yang tinggilah yang harus didahulukan dan dengan demikian berlaku.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun