Mohon tunggu...
noor johan
noor johan Mohon Tunggu... Jurnalis - Foto Pak Harto

pemerhati sejarah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Kemusuk ke Indonesia

17 Agustus 2017   00:49 Diperbarui: 17 Agustus 2017   01:00 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Noor Johan Nuh

Hari Rabu Kliwon, tanggal 8 Juni 1921, bertepatan dengan 1 Syawal 1339 (hari raya Idul Fitri), dari rahim seorang perempuan bersahaja bernama Sukirah, istri bapak Kerto-sudiro, lahir seorang bayi lelaki yang kemudian diberi nama Soeharto. Tidak seperti mitologi kelahiran orang-orang besar yang acap kali dikaitkan dengan tanda-tanda alam, tidak demikian dengan kelahiran Soeharto. 

Tidak ada tanda-tanda alam istimewa yang mengiringi kelahiran bayi itu di Desa Kemusuk. Dia bukan Putra Sang Fajar, bukan pula Putra Sang Senja. Dia bayi lelaki biasa yang lahir di satu desa yang berada di bawah bayang-bayang candi Buddha terbesar di dunia yang dibangun pada abad kedelapan: Candi Borobudur. Tidak ada jalan beraspal, listrik atau fasilitas lain di Desa Kemusuk pada tahun 1921. Desa kecil yang damai ini hampir tidak pernah diperhatikan orang sampai bayi mungil itu kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia kedua.

Nama Pak Harto muncul secara nasional pada waktu negeri ini mengalami krisis dan penuh kekacauan akibat pem-berontakan Gerakan 30 September (G30S) yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI), tahun 1965. Mayor Jenderal Soeharto yang pada waktu itu sebagai Panglima Kostrad, secara hirarki atau standing order adalah orang kedua di Ang-katan Darat.

Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani bersama enam perwira Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh pemberontak G30S/PKI. Intuisi militer Mayor Jenderal Soeharto, dalam situasi kritis pada 1 Oktober 1965, ia meng-ambil alih pimpinan Angkatan Darat dan menumpas pembe-rontakan G30S/PKI, menyelamatkan Indonesia menjadi Ne-gara Komunis.

Di hari paling kritis tanggal 1 Oktober 1965, sore harinya, malah Presiden Soekarno menyatakan mengambil alih pim-pinan Angkatan Darat dan menetapkan Mayor Jenderal Pra-noto Reksosamudro sebagai pelaksana harian pimpinan Angkatan Darat. Terjadi dualisme pimpinan Angkatan Darat pada hari di mana Angkatan Darat kehilangan 6 jenderal dan 1 perwira pertama.

Tanggal 2 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto meng-hadap Presiden Soekarno di istana Bogor, melaporkan tin-dakan yang telah dilakukan sehari sebelumnya---mengambil alih pimpinan Angkatan Darat setelah mengetahui Pak Yani dan 6 perwira Angkatan Darat diculik oleh pemberontak G30S/PKI.

Atas keputusan Presiden mengambil alih pimpinan Ang-katan Darat, tegas Mayor Jenderal Soeharto mengatakan diha-dapan Presiden Soekarno di istana Bogor tanggal 2 Oktober 1965, bahwa ia sudah tidak memiliki kewenangan lagi dan tidak bertanggung jawab atas ketertiban dan keamanan ne-gara. Mendengar sikap Pak Harto---perwira yang berani me-nampik perintah presiden pada tanggal 3 Juli 1946 di Yog-yakarta karena tidak sesuai dengan hirarki militer---perintah harus melalui Panglima Besar Jenderal Soedirman---atas si-kapnya itu, Presiden Soekarno menyebut Pak Harto sebagai "Opsir Koppig". Demikian pula yang terjadi pada tanggal 2 Oktober 1965---atas sikap Pak Harto menyerahkan urusan pemulihan ketertiban dan keamanan kepada pelaksana harian pimpinan Angkata Darat---seketika Presiden Soekarno me-nyadari bahwa ia butuh Opsir Koppig ini di tengah negara se-dang kritis---dan langsung menetapkan Mayor Jenderal Soe-harto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban pasca kudeta berdarah G30S/PKI yang diumumkan melalui RRI pada malam harinya.

Tanggal 11 Oktober 1965, tokoh pemberontakan G30S/PKI, Kolonel Latief ditangkap. Di sakunya kedapatan surat untuk pelaksana harian pimpinan Angkatan Darat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro. Atas fakta keterkaitan Pranoto dengan Latief, tanggal 14 Oktober 1965, barulah Presiden Soekarno menetapkan dan melantik Mayor Jenderal Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat.

Sebelumnya, Pak Harto memiliki reputasi gemilang sebagai perwira lapangan---pemimpin militer yang piawai---dibuktik-an dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949---suatu serangan yang melibatkan dua ribu lebih pasukan (brigade plus), per-tempuran terbesar setelah pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945. Sejarah mencatat bahwa Serangan Oemoem 1 Maret sebagai "pertempuran terakhir" mengusir penjajahan Belanda di Indonesia.

Dari puluhan jenderal yang berada di bawah kekuasaan presiden---tentunya Pesiden Soekarno memiliki pertimbangan khusus pada waktu menetapkan OpsirKoppig Mayor Jenderal Soeharto dan sebagai Panglima Mandala merebut Irian Barat dari kolonial Belanda. Meskipun pada akhirnya Belanda mengembalikan Irian Barat melalui perundingan, tapi tidak bisa dinafikkan bahwa sebagai Panglima Mandala yang ditu-gasi merebut kembali Irian Barat, pasukan Pak Harto sudah menyusup ke Irian Barat---dikenal sebagai Operasi Naga di bawah komando Mayor Beny Murdani yang kemudian menjadi Panglima ABRI. Persiapan terakhir (combat ready) untuk me-lakukan penyerangan (invasi) ke Irian Barat telah ditentukan D-Day nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun