Mohon tunggu...
Nofia Fitri
Nofia Fitri Mohon Tunggu... Administrasi - Political Researcher

Doctoral Student of Political Science at the University of Indonesia; Civic Lecturer at Poltekkes Jakarta III; Manager Program of an NGO Aliansi Kebangsaan. An owner of a Big Data Company, Warung Data Indonesia, and a Digital Politics platform Exploiticha.id (Exploration on Global Politics, Computer Technology, and Ethical). My research interest is in the areas of Digital Politics, Global Politics, and Political Ideology.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apakah Fundamentalisme Islam adalah Efek Kegagalan Pemimpin dan Sistem Politik?

29 Mei 2017   09:54 Diperbarui: 30 Mei 2017   04:37 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Nofia Fitri

I.Pendahuluan

Revolusi Islam Iran yang meruntuhkan sistem sekuler monarki pada tahun 1979 dianggap sebagai salah satu pemicu bangkitnya gerakan fundamentalisme dinegara-negara Islam. Sementara itu, Sekulerisme Turki, sebaliknya, kerap menjadi referensi dalam memahami bagaimana modernisme tumbuh dan berkembang dalam khasanah keilmuan Islam. Fenomena bertolak-belakang antara Fundamentalisme dan Modernisme dalam sejarah pemikiran politik Islam sesungguhnya semakin memperkaya khasanah keilmuan dalam konteks hubungan Negara dan Agama. Contoh Iran dan Turki sebetulnya bukan satu-satunya yang menjadi referensi kuat dalam mengenal bagaimana Fundamentalisme dan Modernisme dalam Islam menjadi pondasi berdirinya sebuah negara.

Apa yang terjadi di Iran, Turki, Pakistan, Afganistan, dan negara-negara dengan basis fundamentalis dan modernis lainnya di dunia sebetulnya mengacu kepada tiga perdebatan substansial tentang hubungan agama dan negara. Tiga perdebatan substansial dalam khasanah perkembangan keilmuan dan pemikiran politik dalam Islam tersebut antara lain, pertama; pemahaman bahwa Islam berhubungan dengan politik dimana Islam mewajibkan politik yang berdasarkan kepada ajaran agama; kedua, Islam yang secara substansial memuat politik namun menyerahkan praktiknya melalui sebuah negara dengan konteks kekinian; dan ketiga Islam yang tidak berhubungan dengan politik. Perdebatan ini yang kemudian berkembang dalam khasanah pemikiran politik Islam. Namun demikian, dalam sejarahnya, implementasi sebuah sistem berbasis agama sekalipun tetap mendapat kodifikasi yang sarat kepentingan penguasa, sebaliknya demokrasi tidak sepenuhnya ditolak pada sebuah negara berbasis agama juga menjadi fenomena menarik dalam perdebatan substansial dalam pemikiran politik Islam.

Bagi kalangan yang beranggapan bahwa Islam mencakup politik menyebut bahwa Islam adalah “din wa dawla” (doktrin, hidup, dan politik) yang menyangkut seluruh aspek kehidupan. Ketentuan Islam sebagai doktrin menyeluruh baik untuk individu maupun sebuah bangsa melingkupi ekonomi, politik, teologi termasuk sistem hukum dalam klaimnya dianggap secara komprehensif ada dalam sistem Islam. (Qutb, 1987:36). Akar pemikiran yang menekankan tentang Islam sebagai ajaran yang menyeluruh ini tentu saja mendapat banyak pertentangan seiring perkembangan zaman. Sejarah perubahan sistem politik yang saling bertolakbelakang di Iran misalnya, sebagaimana disebutkan sebelumnya mengkaitkan antara Islam dan Politik secara kentara. Apa yang terjadi di Iran dipicu oleh anggapan bahwa modernism tidak bisa diteruskan, dan bahwa Islam harus dikembalikan secara fundamental.

Berangkat dari latar belakang diatas, tulisan ini karenanya akan akan membahas persoalan bagaimana fundamentalisme tumbuh sebagai pertentangan terhadap modernism dalam khasanah pemikiran politik Islam. Dalam mengkaji dan menemukan tautan antara Fundamentalisme dan Modernisme dalam Perkembangan pemikiran politik Islam, kita tidak bisa berpatokan kepada aspek ideologis semata, melainkan aspek sosial dan sejarah. Bagaimana kondisi sosial masyarakat ketika fundamentalisme muncul dan apa yang menjadi catatan sejarah dari perkembangan modernisme dalam Islam.

II.Memahami Modernisme

Modernisme adalah suatu proses yang tidak mudah, dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Dalam sejarah modernisme, untuk bisa mengembangkan model demokrasi yang dengan tegas menolak eksistensi agama dan menawarkan model sekulerisme, kiranya negara-negara Barat membutuhkan waktu ratusan tahun, mengorbankan nyawa dan perombakan total pada seluruh tatanan kehidupan. Menurut Piscatori, modernisasi yang terjadi di negara-negara barat tersebut telah dipaksakan di wilayah-wilayah muslim, hingga menimbulkan perang agama, pemusnahan etnis/bangsa, hingga membangkitkan nasionalisme yang basisnya justru agama itu sendiri (Piscatori, 1994: 27). Modernism tumbuh dan berkembang dari para pemikir yang merasakan kemandekan dalam Islam pasca kalahnya Islam dalam Perang Salib.

Diantara tokoh pemikir pembaruan tersebut adalah Muhamad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Hasan Al Banna sampai kepada Amir Ali. Mereka mencoba merumuskan, mencari jalan keluar, sebuah solusi yang mampu mengangkat kondisi Islam pasca kemunduran akibat kekalahan di Perang Salib. Anggapan bahwa ilmu Pengetahuan mengalami kemandekan karena ditolaknya mekanisme ijtihad, hingga kondisi-kondisi setelah kalah perang yang mengakibatkan masyarakat Islam terpecah-pecah menjadi banyak kelompok, sehingga kekuasaan khalifah menurun. Kondisi Islam yang pecah belah ini adalah hambatan untuk sebuah kemajuan karena secara langsung berakibat kepada tidak adanya persatuan dan kesatuan dalam Islam. Bersentuhan dengan Barat yang modern, seolah menyentil alam bawah sadar para tokoh Pembaru dimasa lalu tentang pentingnya pembaruan dalam Islam.

Menurut Al-Afgani kemunduran Islam disebabkan oleh karakter Islam di masa lalu yang statis dan melupakan ilmu pengetahuan, padahal Islam sesungguhnya berharap umatnya menjadi dinamis dan mencitai Ilmu Pengatahuan (Nasution, 1992:51). Kepercayaan pemeluk Islam yang menerima “takdir” mengakibatkan mereka menjadi kaum yang malas berusaha. Menurutnya bahwa Islam mampu menjadi kekuatan politik untuk melawan barat jika nasionalisme dan rasa cinta tanah air melekat dengan Islam. Berangkat dari ketokohan Al-afgani dan pemikir pembaharuan lainnya tersebut, modernisme dalam pemikiran politik islam kemudian terus berkembang. Perkembangan modernism islam ini yang kemudian menjadi pemicu lahirnya fundamentalisme.

Piscatori (1991) dalam Islamic Fundamentalism and the Golf of Crisis menegaskan bahwa “berbagai bentuk pergolakan yang berhubungan dengan modernitas sangat penting untuk memahami kebangkitan fundamentalisme.” Dengan menggunakan sebuah pendekatan kesejarahan dan sosiologis, kita melihat bahwa gejolak sosial mendorong seseorang kembali kepada agama, sebagai sesuatu yang dianggap mendasar ketika mereka berupaya untuk mencari keamanan dalam hidupnya ditengah arus modernisme. Sejarah perkembangan pemikiran politik Islam memperlihatkan bahwa fundamentalisme lahir dari kekhawtiran pada pemimpin agama tentang pengaruh modernisme yang mengikis ajaran Islam yang “kaffah.” Modernisme yang membawa kepada sekularisasi, seperti di Turki misalnya, dengan nyata membentuk pribadi-pribadi yang hampa secara spiritual menjadi ketakutan para tokoh yang kemudian menginginkan Islam kembali menjadi fundamen, atau dasar tidak hanya dalam kehidupan beragama, tapi juga berbangsa dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun