Mohon tunggu...
nizar presto
nizar presto Mohon Tunggu... -

pernah belajar di SD Ender II, Dan dilanjutkan di MTs Dan MA KHAS KEMPEK

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pesantren "Tidak Cukup Hanya Dengan Pengajaran"

5 Maret 2013   05:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:18 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13624593211712129664

*Nizar Presto

Dalam diri pesantren telah terukir sejarah panjang yang tetap di kenang sampai sekarang. Pun secara historisnya umur pesantren lebih tua dari umur bangsa ini. pesantren tumbuh subur dengan keunikan yang tidak di temukan di lembaga pendidikan lainnya seperti adanya kiai yang menjadi sentral dari kelangsungan kegiatan pesantren, budaya kebersamaan yang timbul pada diri santri secara alami dan masih banyak keunikan lainnya, khususnya mengenai ke tradisionalan yang ada di dunia pesantren.

Karena keunikan itulah pesantren acap kali di sudutkan sebagai lembaga yang ekslusif, lembaga yang menghambat kemajuan dan lain sebagainya.

Akan tetapi pesantren tidak akan kehilangan identitas jati dirinya dan tetap pada bntuk asalnya. Pesantren selalu mampu untuk berimprofisasi dalam menyesuaikan dirinya ketika menghadapi pertanyaan global “apakah pesantren mampu untuk menciptakan generasi ulama yang intelek dan intelek yang ulama”. Permasalahan ini yang selalu menjadi sajian di meja diskusi bagi para pengasuh dan dewan pendidik di dunia pesantren.

Pertanyaan seperti itu timbul di muka publik sekitar tahun 70-an sebagai serangan terhadap dunia pesantren mengenai mampukah pesantren ikut berperan dalam memajukan pendidikan nasional. Hal ini melahirkan beberapa pendapat dari kalangan pengamat dan pemerhati pesantren. Sebagian pemerhati berucap bahwa pesantren yang merupakan lembaga pendidikan yang khas dan unikharus tetap mempertahankan ke khasannya dengan tanpa membuka mata terhadap kemajuan teknologi yang sedang merambah kesemua lini. Namun pendapat lain menginginkan bahwa pesantren harus mulai mengadopsi hal-hal lain yang tidak ada di dunia kepesantrenan.

Beberapa tahun setelah itu pesantren mampu menjawab pertanyaan global dengan tetap mempertahankantradisi atau nilai kekhasan yang ada di pesantren dan mengadopsi atau mengakomodasi hal-hal yang memberikan manfaat dan kemajuan bagi santri seperti adanya pendidikan formal yang masuk pesantren seperti Madrasah Aliyah, SMP, SMK dan kala itu pula lahir istilah yang menggambarkan sebuah realita “pesantren masuk kampus dan kampus masuk pesantren “ sehingga mampu menciptakan santri yang intelek dan intelek yang santri.

Ini adalah sebuah bukti yang menunjukan peran pesantren terhadap kemajuan pendidikan nasional. Akan tetapi di samping itu lambat tahun timbul sebuah permasalahan yang belum mampu di pecahkan sampai sekarang, kenapa sebagian santri ketika telah menamatkan pendidikannya di pesantren dan kembali ke rumah berubah menjadi seperti orang yang baru lepas dari ikatan yang telah mengekangnya dan berusaha untuk terbang bebas tanpa batas, dan setelah itu dampak yang terjadi adalah seorang santri berusaha untuk mencicipi semua keindahan dunia luar pesantren karena tidak ada larangan atau sebuah ikatan yang membatasi dirinya lagi.

Dalam hal ini sebelum menemukan titik permasalahanya penulis akan mengulas mengenai pengajaran dan pendidikan .Pengajaran dalam bahasa arabnya adalah “ta’lim” yang berarti mengajarkan atau mentrasfer ilmu dari seorang guru ke muridnya, yah hanya pemindahan ilmu, itulahpengajaran. Lain halnya dengan pendidikan, pendidikan menurut bahasa arabnya adalah “Tarbiyah” yaitu sebuah proses pemindahan ilmu yangdi sertai dengan transfer akhlak, nilai moral sopan santun dan lain sebagainya. Jadi cakupan pendidikan lebih luas dari cakupan pengajaran. Pengajaran hanya ada di lembaga pendidikan formal, sebetulnya sangat tindak pantas sekali istilah “Mentri Pendidikan Nasioal” pada instansi yang tidak mampu mentrasfer nilai-nilai keluhuran dan akhlak terhadap masyarakat, sangat pantas ketika istilahnya menjadi “Mentri Pengajaran Nasional”. Lain halnya dengan pesantren yang lebih menggunakan metode pendidikan yang syarat dengan nilai-nilai keluhuran dan akhlak yang di salurkan terhadap siswa didik atau santri..

Akan tetapi tampaknya ada pergeseran metode yang di gunakan oleh pesantren kala ini, yang semula menggunakan metode pendidikan sekarang malah membuntut menggunakan pengajaran.Tidak adanya nilai keluhuran, akhlaq al-karima, kerendah dirian dan lain sebagainya yang di berikan oleh seorang ustad pada anak didiknya ketika metode yang terakhir yang di pakai.

Sebuah pemahaman yang telah tertanam di masyarakat pesantren tentang pentingnya tauhid, fikih dan lain sebagainya padahal kalau kita korek lebih dalam hadits “innama buistu li utammima makarimal al-akhlaq” yang merupakan misi awal Rasulallah, kita akan mendapat sebuah natijah atau kesimpulan yang mengatakan bahwa pilar utama kaum muslimin adalah Akhlak bukan yang lainnya. Pantas kalau orang-orang barat mulai menghancurkan kaum muslimin tidak secara fisik tapi lebih menjurus pada pilarnya yaitu akhlak dengan adanya budaya-budaya barat yang di publish dengan secara semena-mena yang pada akhirnya kum muslimin yang tidak mengetahui pilar keislamannya sendiri mulai bergaya kebarat-baratan.Oleh karena demikian maka pendidikan akhlak sangatlah penting untuk di ajarkan pada anak sejak dini .

Untuk menciptakan sebuah pilar yang kokoh pada diri anak atau santri maka di butuhkan tim khusus untuk penanaman nilai keakhlaqan, tim yang paling utama untuk menanamkan akhlaq ketika anak masih dini adalah keluarga sedangkan lembaga lainnya seperti pesantren dan sekolahmasih bersifat skunder, oleh karena itu di butuhkan peran penuh orang tua untuk mendidik ruh dengan akhlak yang merupakan pilar seorang muslim.

Maka dari pemaparan di atas bahwa penyebab seorang santri menjadi semakin brutal ketika keluar dari pesantren adalah, pertama bergesernya metode pendidikan yang di dalamnya syarat dengan akhlak, kedua kurangnya kontrol orang tua terhadap anaknya ketika telah di serahkan ke salah satu lembaga pendidikan, sehingga tidak adanya kerjasama antara civitas akademika dan orang tua.

*Penulis adalah mahasiswa STAINU yang sedang mengikuti kelas internasional di universitas ibn Tofail Maroko.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun