Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Harmoni Ide Oke dengan Aksi Humanisme dalam FFPI 2016

26 Januari 2017   10:55 Diperbarui: 26 Januari 2017   11:14 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jikalau seseorang ditanya cara menanamkan nilai humanisme, jawaban yang akan keluar umumnya tak akan jauh dari seputar topik pengasuhan keluarga, pendidikan sekolah, dan kegiatan keagamaan.  Jawaban yang tak salah namun juga tak sepenuhnya tepat.  Nilai-nilai humanisme atau kemanusiaan memang bukan isu yang ringan maupun menyenangkan.  Tapi bukan berarti tema humanisme tak bisa dikemas dalam bentuk yang lebih unik dan menarik kan?

          Saya masih ingat betul nilai humanisme dalam dua buah film asing yang menjadi tugas mata kuliah ‘Seni Apresiasi Film’ saat kuliah S1 dulu.  Sama-sama diadaptasi dari novel sejarah berlatar perang di dua negara yang berbeda, film The Kite Runner di Afghanistan dan The Boy in the Striped Pyjamas di Jerman saat Perang Dunia tahun 1945 mampu mengaduk-aduk emosi para penonton dengan meninggalkan pesan kemanusiaan yang mendalam untuk selalu diingat.  Bisa jadi, kesan kuat itu belum tentu dapat terekam jika seseorang hanya membaca buku novelnya.  Bagaimana tidak? Bukan hanya para mahasiswi yang menangis saat menonton keduanya, bola mata para mahasiswa pun tampak berkaca-kaca selama pemutaran film berlangsung.  Kedua film drama tersebut menyampaikan pesan humanisme yaitu pentingnya bertindak jujur (sekalipun menyakitkan) dan persahabatan universal (tanpa memandang SARA). 

Para dosen pengajar mata kuliah tersebut juga menyampaikan bahwa “tema mayoritas film yang diproduksi di suatu negara biasanya menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat di negara tersebut.”  Wajarlah saat negara - yang kini dikomandoi Donald J. Trump - Amerika Serikat berulangkali memproduksi film superhero dan animasi yang kental nuansa kecanggihan efek teknologi visualnya.  Memang di negara adidaya itulah, banyak perusahaan raksasa teknologi kelas dunia berpusat.  Ya, media audio dan visual berupa film memangsangat tepat untuk mengajarkan dan menyebarluaskan nilai humanisme kepada khalayak dan masyarakat luas tanpa harus berkesan menggurui.    

Malam Final FFPI 2016 Kompas TV di Bentara Budaya Jakarta, Jum'at 20 Januari 2017 (Dokpri)
Malam Final FFPI 2016 Kompas TV di Bentara Budaya Jakarta, Jum'at 20 Januari 2017 (Dokpri)
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia?  Sejalan dengan pendapat para dosen film, Mbak Rosiana ‘Oci’ Silalahi selaku perwakilan dari Kompas TV saat membuka acara malam final Festival Film Pendek Indonesia (FFPI) 2016 di Bentara Budaya Jakarta (Jum’at, 20 Januari 2017) turut menuturkan bahwa “film adalah cerminan suatu bangsa sehingga harus terus dipublikasikan secara berkesinambungan.”  Maka itulah, konsistensi Kompas TV dalam menggelar kompetisi FFPI untuk kategori pelajar dan mahasiswa sejak tahun 2014 lalu patut diapresiasi oleh segenap rakyat Indonesia. 

FFPI 2016 atau kali yang ketiga ini mengusung tema “Humanisme.” Tahun 2016, rangkaian kegiatan FPPI Kompas TV dimulai dari workshop penyusunan ide cerita film (12 Mei – 28 Oktober 2016) untuk pelajar dan mahasiswa di 10 kota di Indonesia yaitu Jakarta, Tangerang, Palembang, Medan, Lampung, Banjarmasin, Gorontalo, Denpasar, Yogya, dan Pekalongan.  Pengisi workshop yaitu dosen dari Fakultas Film dan Televisi Universitas Multimedia Nusantara (UMN). 

Adapun jumlah yang terdaftar sebagai peserta FFPI 2016 yaitu sebanyak 276 film sehingga akhirnya terpilih 10 finalis – lima finalis dari kategori pelajar maupun mahasiswa – yang pemutarannya di malam final FFPI 2016 Jum’at minggu lalu dapat disaksikan oleh para pihak media dan 20 orang Kompasianer terpilih.  Dipandu oleh pembawa acara (MC), Mbak Dita, acara final FFPI 2016 dimulai pada pukul 17.30 WIB.  Inilah review dari kesepuluh film finalis FFPI 2016 Kompas TV tersebut.

Rosiana Silalahi memberikan sambutan dari Kompas TV (Dokpri)
Rosiana Silalahi memberikan sambutan dari Kompas TV (Dokpri)
Toleransi (Masih) Ada di Sini

         Nilai humanisme berupa ‘toleransi dalam suasana keberagaman’ tak pelak memang menjadi trending topic terhangat di Indonesia sejak pertengahan tahun 2016 lalu.  Fenomena sosial tersebut mampu dipotret dengan apik dan menarik oleh dua film finalis FFPI 2016.  Ide mereka tentang toleransi cukup sederhana namun tepat mengena dalam kehidupan sehari-hari.

          Film “2 Hari”karya SMA 1 Negeri Muara Enim-Palembang mengisahkan tentang murid pindahan dari Jakarta bernama Bela (Aling) setelah dua hari bersekolah di daerah.  Di sekolah barunya, Bela – seorang non-muslim dan Tionghoa – sekelas dengan mayoritas murid Melayu muslim dan juga berjilbab.  Sebelum pindah ke daerah, beberapa teman lama Bela di Jakarta menakuti-nakuti dirinya tentang diskriminasi yang mungkin akan diterimanya kelak sebagai minoritas.  Bela sempat ketakutan dan malas-malasan pada hari pertama di sekolah barunya.   

Kenyataannya? Bela mendapati langsung adanya ‘kantin kejujuran’   di sana yang sudah berlangsung lama.  Bukan itu saja.  Bela juga melihat sendiri, pihak sekolah memberlakukan semua murid dengan adil tanpa memandang status sosial ekonominya.  Di akhir film, Bela pun bisa menyimpulkan bahwa “jikalau 1 pohon rusak, belum tentu 1 hutan lantas menjadi rusak.”

Toleransi menjadi nilai humanisme yang disampaikan film
Toleransi menjadi nilai humanisme yang disampaikan film
Tema humanisme tentang toleransi juga ditampilkan oleh film “Terminal” karya SMK Negeri 2 Kuripan-Nusa Tenggara Barat.  Berlokasi di terminal bus yang identik dengan suasana keras dan kejahatan – sebut saja mulai dari copet, jambret, calo – seorang pria muda yang menjadi penumpang bus disadarkan bahwa hati yang suci tetap ada di terminal.  Seorang remaja sekaligus tukang asongan yang dikasari olehnya sehingga menumpahkan semua makan siangnya – dengan jumlah dan menu seadanya - tetap berlaku baik saat pemuda tersebut hampir saja kehilangan tasnya.  Padahal kesempatan untuk membalas dendam sangat terbuka lebar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun