Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Berbagi Nilai Oke Kopi Ala Nescafe #DiBalikSecangkirKopi

13 Juni 2015   16:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:04 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Mau jalan-jalan, siapkan dulu perbekalan (dan juga pertanyaan). Saat jalan-jalan, nikmati setiap pemandangan indah di depan. Sepulang jalan-jalan, bagikan dan ceritakan kenangan (sekaligus perasaan) yang menyenangkan. Seperti itulah pengalaman saya sebelum, saat, dan setelah menjalani blog trip Nescafe ke Lampung pada Selasa hingga Jum’at, 2 sampai 5 Juni 2015.
Satu-satunya pertanyaan yang menggelitik saya sebelum berangkat menjalani rangkaian blog trip Nescafe ke Lampung adalah:”Kenapa Nestle melalui produk kopinya, Nescafe, ingin agar masyarakat luas mengetahui tentang cerita perjalanan dari sebutir biji kopi hingga tersaji menjadi secangkir kopi?” Sebagai penikmat kopi, jujur saja, saya sebelumnya hanya sebatas tahu caranya memilih produk kopi dan menyeduhnya. Ehm, termasuk (sedikit) tahu lokasi kedai-kedai kopi yang patut dikunjungi ketika ingin santai menghabiskan hari dengan mencicipi kopi.

 

Yup! Rasa penasaran saya yang dimulai dengan kata ‘kenapa’ (starts with why) itu ternyata mirip dengan tagline Nescafe, “It all starts with a Nescafe.” Ah, klop sudah! Jikalau sudah sevisi dan semisi, biasanya hati akan lebih mudah saling memahami #ThePowerOfUnderstanding
Ibarat teka-teki (tanpa silang), maka bak detektif, mulailah petualangan saya bersama sembilan blogger lainnya dalam memecahkan misteri perjalanan kopi ala Nescafe. Rabu, 3 Juni 2015, perkebunan kopi petani di Tanggamus Lampung menjadi persinggahan pertama kami. Menariknya, peta perkebunan seluas empat hektar (4 ha) tersebut berjudulkan Education and Development Farm Map (Peta Kebun Pendidikan dan Pengembangan). Kebun itu sendiri terdiri atas 1 ha kebun demo (demonstration garden), 1 ha pusat pelatihan dan pembibitan (nursery & training center), dan 2 ha kebun indukan (mother garden).

Syukur Alhamdulillah, ada seorang arjuna dan dua srikandi kopi dari Nescafe yang sigap membantu dengan segudang teori dan pengalaman mereka selama ini. Ketiga agronomis yang manis rupanya dan juga budi pekertinya ini adalah ujung tombak Nescafe dalam memberdayakan para petani kopi (empowering the coffee farmers) di Tanggamus Lampung: Mas Yudi Safril Ariza (alumni UNILA), Mbak Noor Kartika Sari (Tika) dan Linda Miati – keduanya alumni UGM - merupakan agronomis (ahli pertanian) alumni Teknologi Pertanian.

 

Saat saya tanyakan ke Mbak Tika sebagai coffee development officer, ”Mengapa Nescafe tertarik dan peduli untuk mengembangkan budidaya kopi di Lampung tanpa harus memiliki kebun kopi sendiri?” Jawabnya, “Tujuan Nescafe adalah untuk meningkatkan produktivitas dan peremajaan tanaman kopi dengan cara mengedukasi petani lokal yang ada sehingga nilai jual kopi terus meningkat. Pada akhirnya, peningkatan produktivitas dan harga biji kopi jelas akan meningkatkan taraf kehidupan sosial-ekonomi petani kopi yang menjadi mitra utama Nescafe.” Langsung simpul saya dalam hati, “Strategi memberi pancing dan kailnya memang jauh lebih efektif dan lestari dibandingkan dengan sekedar memberikan ikan.”

Tambah Mbak Tika lagi, “Di Indonesia, produksi kopi itu cenderung menurun dari tahun ke tahun.” Tanya saya lagi, “Kenapa (satu ‘kenapa’ memang tidak pernah cukup bagi saya hehehe) bisa begitu, Mbak Tika?” Sambil menjelaskan, Mbak Tika membuat gambar kurva yang landai di awal dan akhir serta memuncak di tengah garis (kurva berbentuk lonceng). Saya serasa kembali mengikuti mata kuliah Statistika di IPB dulu begitu melihat kurva produktivitas kopi itu hahaha…. #NostalgiaMatematika

 

“Mbak Nisa, produktivitas kopi itu dimulai sejak tanamannya berusia 3 tahun, lalu memuncak di usia 20 tahun, dan menurun sejak memasuki usia 25 tahun. Nah, kebanyakan usia tanaman kopi di Indonesia, termasuk di Lampung, jauh melampaui usia petaninya.” Mbak Linda sebagai penyuluh untuk para petani kopi di Sekolah Lapang 4C langsung menimpali – berdasarkan pengalamannya, “Saya cuma bisa ketawa setiap kali ada petani yang ditanya tentang umur tanaman kopinya lalu menjawab: Wah, sejak zaman Belanda, Mbak. Pokoknya sejak zaman nenek moyang dulu, kami sudah menanam kopi.” Profesi petani kopi di Lampung memang mayoritas diwariskan dari generasi ke generasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun