Mohon tunggu...
Prapti Purwa
Prapti Purwa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merdeka! dengan Seni

18 Agustus 2017   11:26 Diperbarui: 18 Agustus 2017   11:44 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.kaskus-dimension.com

"Mengapa daunnya diwarnainya kuning, Nak? Daun itu kan warnanya hijau!" protes saya gemas pada buah hati yang sedang asyik corat-coret di atas buku gambarnya.

"Memang kenapa? Apa daun harus berwarna hijau?" jawabnya acuh tak acuh sambil terus memulas gambar daun dengan crayon Faber-Castell warna kuning. Agaknya, sekarang dia sedang suka dengan warna kuning.

 Kening saya pun berkerut. Dalam batin saya menggerutu bahwa anak zaman sekarang tidak mau tunduk pada aturan yang lazim saat mewarnai gambar. Daun warna kuning? Sejak kapan ada di negeri yang ijo royo-royo ini? Saya tambah menggerundel. Dan, sepertinya anak saya tak mau tahu keresahan ibunya, terus asyik berkreasi melampaui batas tentang warna. Ia menyuarakan apa yang ia mau, bukan yang dimaui oleh orang lain.

Beberapa saat kemudian, waktu kami sedang menonton acara televisi yang menayangkan panorama musim gugur ke musim dingin, gantian saya yang tersengat dengan kicauan buah hati. "Bu, lihat, itu ada daun yang berwarna kuning di televisi. Ibu, sih, tahunya daun warna hijau!" pekiknya senang.

Sumber: https://martadewa.wordpress.com
Sumber: https://martadewa.wordpress.com
Wah, saya kena skak. Harus diakui wawasan anak sekarang itu lebih luas, lebih luwes, dan lebih berani melawan arus dibanding zaman saya dulu yang serba menurut, miturut, apa kata guru dan orang tua. Tidak pada tempatnya jika saya menilai pendapat anak itu tidak benar, apalagi kurang ajar karena bertentangan dengan orang tua, saya malah kagum dengan keberaniannya berekspresi dan mengutarakan pendapat.

Saat anak sudah tambah besar, saya tambah terheran-heran dengan kemampuannya memahami komposisi warna. Berbekal sekotak Faber-Castell, ia asyik coret sana, coret sini, di saat senggangnya. Berlembar-lembar buku gambar ataupun kertas bekas kalender menjadi ajang berkreasi. Seni sungguh ajaib! Anak saya jadi makin lihai memberi warna pada gambar-gambar karyanya, walaupun tetap ada warna yang tidak tunduk pada kelaziman. Selain itu, ia jadi tambah pintar saat memadu-padankan warna baju. Matching tanpa harus diajari.

Hingga suatu hari saya membaca tentang adanya blog competition di Forum Kompasiana tentang manfaat berkreasi seni bagi diri sendiri ataupun orang-orang di sekitar. Saya baru sadar, ternyata ada semacam benang merah antara seni dan semangat kebebasan bahkan kemerdekaan berpendapat seseorang. Seni bersifat universal, seni untuk semua orang,  Art4All. Seni berkorelasi signifikan terhadap kebebasan berekspresi. Namun, sayangnya keberadaan si seni ini masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Mereka kerap menyepelekan karena seni bukanlah hal yang mentereng atau bonafide. Seni juga bukan hal yang bersifat high tec. Seni hanya kerap tampil sebagai pelengkap.  

Inilah saatnya kita mendobrak stigma itu. Kita harus menunjukkan keunggulan-keunggulan yang ada pada seni. Sambil memandangi deretan pensil-pensil warna Faber-Castell yang berserakan di atas meja, saya merenungkan keberadaan seni, hakikat seni, dan manfaat seni bagi kita semua. Seni begitu agung. Seni membebaskan kita berekspresi, tanpa intervensi. Dengan seni dunia tidak lagi hambar, melainkan penuh warna. Begitu hidup! Demikian pula bagi seorang manusia, seni membuatnya menjadi humanis yang berarti memiliki kepedulian terhadap sesama, juga memiliki sisi kelembutan, dan tentunya memberi sifat artistik. Satu set crayon dari Faber-Castell telah berhasil memberi inspirasi bagi anak saya untuk bebas menentukan pendapatnya. Selanjutnya, saya tidak akan lagi mengungkung anak untuk memberi warna sesuai dengan kelaziman. Saya akan membiarkan ia berkreasi dan mendukung apapun pilihannya agar ia semakin gemar berkreasi dengan seni. Hal ini penting supaya proses pembentukan dan pengembangan kreativitas dalam berkesenian dapat menunjang pembentukan karakter unggul anak, yaitu jujur, mandiri, dan berani menentukan pendapat.    

Lebih jelasnya, seni memberi kemerdekaan bagi setiap orang untuk menekuninya, memberikan pendapatnya atau pandangannya, dan mengajarkan tanggung jawab atas pilihannya. Seni selalu jujur. Sesuatu yang sudah sangat langka saat ini. Berkesenian mengajarkan laku jujur pada para pelakunya. Jujur saat berkreasi dalam arti tidak menjiplak karya orang lain, jujur pula saat menyuarakan isi hati tanpa intervensi. Pendeknya, seni sangat menunjang pembentukan karakter anak bangsa terutama anak sebagai generasi muda. Seni untuk semua, Art4All.

Sebagai orang tua, ayo kita terus memberi kebebasan kepada anak saat berkreasi dengan seni karena seni terbukti memberi kemerdekaan dalam berpendapat, mengajarkan kejujuran, dan tanggung jawab pada pelakunya.      

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun