Tak seperti Amerika Serikat dan Australia yang membagi wilayahnya untuk beberapa pusat aktivitas warga, Indonesia seakan hanya mengandalkan Jakarta sebagai pusat berbagai aktivitas. Mulai dari pusat pemerintahan, bisnis, pendidikan, dsb.
Untuk efisiensi waktu, setiap hari saya bekerja menggunakan transportasi umum seperti angkot, ojek online, atau transjakarta. Saya enggan menggunakan kendaraan pribadi karena tak sanggup melawan kemacetan Jakarta. Saya memilih menyimpan energi yang seharusnya saya buang untuk mengendarai kendaraan untuk mengurus anak, produktif dalam bekerja, dsb.
Jakarta menyandang gelar kota termacet kedua di dunia, saya setuju banget. Bagaimana tidak? Luas tanah tetap, luas jalan tak bertambah signifikan, akan tetapi jumlah penduduk dan kendaraan di Jakarta semakin bertambah. Jakarta mengalami ledakan penduduk, warga secara masif datang ke ibukota mengadu nasib, tak jarang dari mereka yang sudah berhasil 'mengundang' kerabatnya untuk mengikuti jejak kesuksesannya. Dan apa yang terjadi? Jakarta adalah urban area yang sesungguhnya.
Banyak masalah kesehatan yang terjadi pada wilayah padat dan super padat penduduk. Kebanyakan adalah permasalahan penyakit menular baik lewat udara, kulit, makanan dan air, darah dan cairan tubuh, dsb.
Khusus Jakarta dengan problematika kemacetan, mungkin saja berpengaruh terhadap tingkat stress warga dan berujung kepada permasalahan penyakit lainnya terutama penyakit tidak menular.
Akankah Jakarta dapat mengatasi masalah ledakan penduduknya? Jangan kita selalu berpikir mengobati, tetapi bagaimana kita berpikir mencegah dari mulai paling hulu (awal).
Berbeda dengan sejawat kita di wilayah timur Indonesia yang memiliki problematika kesehatan dalam hal geografis dan akses, Jakarta memiliki akses yang baik akan tetapi karena ledakan manusia, Jakarta menjadi tempat strategis mencari nafkah terutama para tenaga medis. Jumlah fasilitas kesehatan kian menjamur di Jakarta dan tentunya menjadi tantangan tersendiri untuk terus membina sesuai standar.
Berbicara masalah sehat dan sakit bukan hanya ranah kesehatan. Perlu adanya kerjasama lintas sektor untuk menanggulangi penyakit. Misalnya penyakit Tuberkulosis (TB), sangking endemisnya TB di Indonesia (khususnya Jakarta), kita bisa sebut dari 300 orang ada 1 orang yang sakit TB (data penelitian adalah 336 sakit TB per 100.000 penduduk). Selain menjadi peringkat ke-2 di dunia jumlah kasus TB terbanyak, Indonesia juga memiliki kasus TB-HIV dan TB Resisten Obat (RO) yang sangat tinggi.
Jakarta Timur dengan jumlah penduduk hampir 3 juta jiwa (seharusnya terdapat kasus TB 10.000 kasus baru/tahun), sampai tengah tahun ini sudah mendapatkan 5.700 kasus baru yang dilaporkan dan diobati.
Negara mengeluarkan dana 1.500.000 untuk mengobati 1 pasien TB biasa, akan tetapi mengeluarkan dana 150.000.000 untuk mengobati 1 pasien TB RO. Sepertinya mudah sekali seorang tenaga medis menciptakan pasien TB RO? Kita tidak bicara pasien TB RO yang belum pernah minum obat TB tapi karena menghirup kuman TB yang memang sudah kebal (resisten) akhirnya dia menjadi TB RO kita sebut TB RO primer. Yang kita bicarakan adalah pasien TB RO sekunder yaitu sudah pernah minum obat TB tapi putus berobat sebelum sembuh atau dapat obat yang tidak sesuai panduan. Jangan sampai kita menciptakan 1 pasien TB RO ya.
Endemisnya TB di Indonesia berpengaruh juga untuk anak sebagai generasi penerus bangsa. Sudah banyak beasiswa luar negeri yang tidak mentoleransi jika calon penerima beasiswa adalah pernah menjalani pengobatan TB. Akankah nantinya permasalahan ini memengaruhi pendidikan, pariwisata, dan perekonomian bangsa?