Mohon tunggu...
nety tarigan
nety tarigan Mohon Tunggu... Konsultan - Perempuan AntiKorupsi

Bekerja dengan masyarakat khususnya anak dan perempuan untuk mendorong mendapatkan keadilan

Selanjutnya

Tutup

Politik

4 Hal yang Tidak Boleh Dilakukan Hakim dalam Mengadili Perempuan di Hadapan Hukum

12 Agustus 2017   07:21 Diperbarui: 13 Agustus 2017   00:06 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam peradilan, Hakim berhadapan dengan berbagai perkara baik perkara terkait korupsi sampai perkara perempuan atau anak yang berhadapan dengan hukum. Hampir bertahun-tahun, keluhan dari berbagai pengamat hukum dan peradilan terkait tidak ada nya perspektif hakim terhadap kesetaraan gender menjadi bahan perbincangan. Keluhan terhadap hakim yang "code and code"melakukan pelecehan bahkan bisa sampai mengintimidasi terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum terlihat jelas dalam ruang sidang yang dihormati.

Pada tanggal 11 Juli 2017, Ketua Mahkamah Agung mengesahkan Peraturan Mahkamah Aguang (Perma) No. 3 Tahun 2017 tentang 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Lahirnya Perma tersebut, perlu diappresiasi karena  memberikan terobosan baru dalam dunia peradilan yang sangat positif.  Perma tersebut mengatur materi-materi progresif karena belum diakomodir dalam peraturan perundang-undangan yang ada termasuk dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Perma tersebut memberikan pedoman kepada hakim baik pidana maupun perdata yang melibatkan perempuan yang berhadapan dengan hukum.

Pedoman tersebut,  mengatur 4 hal yang dilarang ketika mengadili perempuan berhadapan dengan hukum. Pertama, Hakim tidak boleh menjukan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan yang berhadapan dengan hukum. Kedua, hakim tidak boleh membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat dan praktik trandisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender. Ketiga,hakim tidak boleh mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku. Keempat,hakim dilarangmengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengadung stereotip gender. 

Pada Praktiknya perma berlaku bukan saja bagi perempuan berhadapan dengan hukum sebagai pelaku tapi juga bagi perempuan korban, saksi dan pihak. Diharapkan hakim tidak hanya mengetahui tentang isi dari perma tersebut akan tetapi juga memiliki pemahaman yang kuat terhadap makna-makna kata seperti apa itu diskriminasi terhadap perempuan, stereotip, apa yang maksud dengan aturan adat dan praktik tradisional, agar pertimbangan hakim nantinya tidak menjauhkan perempuan yang berhadapan dengan hukum dari "Keadilan" dalam penyelesaian perkara. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun