Kasus Muhammad Zahra saat ini menjadi banyak perhatian; Pembakaran terhadapnya menimbulkan banyak perhatian, keprihatianan serta kritik bagi prilaku masyarakat yang berkembang. Dibeberapa media, kasus Muhammad Zahra dikaitkan juga dengan isu agama, yang juga memicu berbagi polemik.
Kita sadar bahwa mengeroyok maling, apalagi membakarnya tidak dibenarkan oleh ajaran agama manapun juga. Dan itu harus dikutuk. Tapi yang tak kalah mendesak untuk juga dikutuk keras adalah penyebaran berita terkait isu ini yang dikaitkan dengan isu yang lain sehingga mengiring opini masyarakat tanpa melihat dasar masalah.Â
Jika kita melihat kebelakang kasus-kasus pembakaran manusia yang terjadi di Indonesia seperti dukun santet yang dibunuh ramai-ramai; tragedi 65-66 dan pembakaran supir truck yang menambrak orang dijalan dan sebagainya. Jika dilihat di negara eropa, pada saat abad kegelapan bagaimana perempuan-perempuan yang ahli herbal dianggap tukang sihir maka dibakar oleh komunitas dan pejabat gereja. Ini menjadi isu kebenaran di gereja Khatholik, kaum feminis menuntut gereja minta maaf. Jika dilihat dari konteksnya, bisa jadi ini karena adanya amok behavior di masyarakat.
Amok bisa terjadi sebelum kejadian atau sesudah kejadian. Akan tetapi beberapa pakar mempercayai amok terjadi diakhir kejadian, hal itu merupakan politisasi isu atau cipta kondisi dan biasanya kita harus mencari siapakah pemain dari hal tersebut. Akan tetapi jika amok dilakukan diawal kejadian, artinya bahwa memang adanya prilaku "sadis" masyarkat yang timbul saat ini, dan hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah untuk dapat mengedukasi masyarakat untuk bisa melihat suatu masalah dengan jernih.
Berharap dari kejadian ini, masyakarat bisa melihat orang sebagai orang.