Mohon tunggu...
Yusuf Hamim
Yusuf Hamim Mohon Tunggu... Abdi Negara -

Pokoke Nulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kartini Menggugat

21 April 2017   22:04 Diperbarui: 22 April 2017   08:00 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebuah kado Hari Kartini untuk isteriku, ibuku, sahabat-sahabatku...

Seribu Kartini turun ke jalanan yang penuh lumpur sisa banjir darah seratus tiga puluh tahun lalu  yang dimuncratkan oleh seorang istri pertama namun bukan yang utama,

Seribu Kartini menghambur jalanan membakar ban-ban bekas dari tumpukan seribu dendam pilu sudah lama terpendam,

Seribu Kartini mengungkap kemarahan pada mereka yang pongah melebihi anjing-anjing kudapan yang setiap malam tertidur seperti pistol menadah hujan di bawah tiang listrik kota metropolitan,  

Seribu Kartini mengibaskan asap membubung menjadi reratapan kabut kelabu yang menutup pandangan cukong cukong  di apartemen-apartemen yang berdiri mewah jauh dari bau lumpur hijau sawah-sawah

...........

Dengarlah tangisan setengah berteriak seorang perempuan dari belakang kemudi bis kota meneteki bayi yang sedang ngompol di pelukannya, hanya sekedar untuk mendapatkan kartu yang tak kunjung dipegangnya meskipun sudah berbulan-bulan mengabdi pada negeri ini menjadi sopir di jalanan ibu kota,

Dengarlah sumpah serapah perempuan pemecah batu kali berkerudung nipah yang wajahnya hampir menghitam batubara yang bertarung melawan deras arus sungai, hanya sekedar menuntut harga-harga tak melambung tinggi melebihi bongkah bongkah kerikil di genggamannya,

Dengarlah caci maki riuh perempuan Pakusari yang tiap hari memunguti sesuap nasi dari tong-tong sampah milik para tuan tanah Blambangan, sekedar mimpi anak-anak mereka bisa bersih berseragam semerah putih bendera bangsa kaya raya ini,

Dengarlah kebanggaan semu dari perempuan tukang sayur bertopi putih dari Sempu, yang mengonthel sepeda butut sambil memburu ibu-ibu hamil yang hampir mati memperjuangkan janin suci penerus bangsa ini, sekedar ingin berbagi dan di hargai,

Dengarlah tawa sesosok mayat yang seperti hidup lagi, merangkul mesra teman ngopi di cafe hotel paling tersohor di negeri ini, menyusuri jalanan penuh jurang di ibu pertiwi, hanya sekedar memberi pelajaran tentang cinta pada meja hijau dan toga suci para jaksa pengacara,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun