Mohon tunggu...
Nasrullah Mappatang
Nasrullah Mappatang Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Alumni Fakultas Sastra UNHAS dan Pascasarjana UGM - Pegiat Sekolah Sastra (SKOLASTRA) - Mahasiswa Doktoral/ PhD di University of Malaya, Malaysia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kelembagaan Mahasiswa dan Posisi Intelektual Kekinian

5 Agustus 2017   16:00 Diperbarui: 5 Agustus 2017   16:09 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh : Nasrullah Mappatang 

......... Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.......

 (Soe Hok Gie)

 Kutipan Soe Hok Gie sebagai sosok yang popular di film "Gie" garapan Riri Riza sineas muda Indonesia di atas adalah gubahan yang tak asing di telinga penulis. Terutama di berbagai kesempatan ketika juga menyandang sebagai mahasiswa baru di Fakultas Sastra Unhas beberapa tahun lalu. Bagaimana tidak, di Film yang popular setelah reformasi tersebut, menampilkan sosok Nicholas Saputra yang gagah, kritis, dan berpengetahuan luas. Itulah citra Gie yang dilakonkan oleh sang bintang. Terlebih lagi, dari film itu juga diketahui bahwa Gie adalah seorang Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tepatnya belajar di jurusan Sejarah, sama dan tepat sekali dengan jurusan teman -- teman yang ada di hadapan kita sekarang ini.

Selain aktif dalam kajian sejarah, sastra, dan politik kala itu, Gie tidak melepaskan diri dalam aktivitas politik seorang Mahasiswa. Melalui komunitas pecinta alam yang dinamainya MAPALA, Gie juga turut bertarung dalam dinamika kelembagaan Mahasiswa UI, tepatnya di Senat Mahasiswa Fakultas Sastra. Dalam beberapa adegan di film tersebut, Gie yang ditampilkan tampan dan sudah barang tentu menawan bagi wanita cantik di kampusnya kala itu menekankan kepada rekan sehobinya untuk tidak melepas Lembaga Mahasiswa UI, tepatnya di Fakultasnya untuk direbut oleh kelompok yang dinilainya cenderung berafiliasi dengan politik kekuasaan. Aktivis HMI dan PMKRI adalah sosok yang ditampilkan dalam film tersebut. Kompleksitas sosok Gie yang buah pikirannya dapat dijumpai di berbagai karyanya[2] ini adalah satu diantara berbagai referensi yang tidak bisa dibiarkan tenggelam begitu saja.

Dengan berbagai kisah romantik dan kontroversialnya, Gie yang di masanya adalah juga seorang Mahasiswa, aktivis, dan tak lupa juga menjadi seorang penulis telah memberikan warisan kisah dan pemikirannya lewat berbagai karya yang disebutkan sebelumnya. Salah satu penekanannya bahwa Mahasiswa dianggap sosok yang masih menyimpan harapan untuk perubahan demi keluar dari keadaan yang semakin menjepit. Bahkan, seorang Hilmar Farid[3], Gie yang tak lain adalah seniornya di Sejarah UI tersebut, disebutnya sebagai sosok yang penuh kontradiksi, namun memberi sumbangan berharga -- melalui film Gie yang tayang setelah reformasi bergulir. Sebagai generasi "kekinian" -- khususnya sebagai Mahasiswa yang belajar sejarah, sastra dan juga politik, sosok Gie harus dilihat dengan berbagai cara pandang pula tentunya. Juga harus dilihat dengan konteks sosial politik yang diresponnya di penghujung kekuasaan Soekarno dan menjelang berkuasanya Soeharto dengan Orde Barunya.

Namun, yang paling menarik didiskusikan lebih jauh disini adalah, mengapa Gie begitu membenci praktik politik kotor yang ada di luar sana -- di luar kampus -- yang turut mempengaruhi gerak langkah pilihan politik teman -- teman segenerasinya?

Mengapa juga Gie memilih kampus, terlebih lagi Lembaga Mahasiswa -- Senat Mahasiswa dan Mapala --dalam mewujudkan cita -- cita perasan pemikirannya yang disaring dari dialektika berbagai buku, film, dan hasil diskusi yang dikonsumsinya?

Bahkan lebih jauh lagi, mengapa Gie dalam berbagai karyanya dan melalui film Gie di atas, percaya dengan kekuatan anak muda, khususnya Mahasiswa yang sering disebutnya sebagai sosok yang masih menyimpan idealisme untuk tidak gampang dibeli oleh kekuasaan yang membuat rakyat banyak menderita?

Akhirnya, kita sampai pada pertanyaan mengenai bagaimana relevansi sosok Gie  - melalui berbagai kisahnya -- dengan situasi kelembagaan Mahasiswa hari ini. Apa yang berubah dan pelajaran apa yang bisa diambil warisan Gie yang sudah menyejarah sampai hari ini?

Apa yang penting untuk direfleksi untuk menatap hari depan "Kelembagaan" Mahasiswa? Khususnya di Fakultas Ilmu Budaya Unhas yang juga tak bisa dihindari memiliki alur historisitas tersendiri dalam perjalanan masa di kampus merah khususnya dan negeri ini secara luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun