Mohon tunggu...
Nando Sengkang
Nando Sengkang Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Penikmat Filsafat, Politik, Sastra, dan Sepak Bola

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manfaat Pendidikan dalam Mitos Alegori Goa Platon, dari Kegelapan Menuju ke Arah yang Terang

26 November 2019   15:15 Diperbarui: 26 November 2019   15:24 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa wacana panjang-lebar, kita semua tentu sepakat bahwa pendidikan sangat berguna dalam revitalisasi kehidupan kita, dengan salah satu manfaatnya: mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan, bagi penulis, ibarat obat mustajab yang dapat menyembuhkan penyakit yang sanagat berbahaya bagi masyarakat modern, yakni "penyakit akal sehat": kekeliruan, kesalahan (tanpa kritis), ketidaktahuan. 

Argumentasi tersebut berangkat dari kebiasaan meneropong realitas: melihat masalah-masalah sekitar, melihat lebih jauh. Salah satu temuannya ialah, menurut istilah penulis, adanya "penyakit akal sehat" yang menjadi penyakit yang paling berbahaya era modern. 

Penyakit tersebut merupakan macetnya cara berpikir yang sehat: benar dan sejati. Dengan macetnya cara berpikir yang sehat, hal itu akan menciptakan kekeliruan, kesalahan (tanpa kritis), ketidaktahuan yang menyebabkan kekacauan bangsa ini. Oleh karena itu, peran Pendidikan, seperti obat mustajab, sangat esensial dalam menyembuhkan penyakit tersebut.

Tulisan ini akan memberikan pemahaman bagi kita, yang mungkin masih minim, mengenai manfaat Pendidikan dalam mitos Alegori Goa. Mitos tersebut dipopulerkan oleh Platon, seorang filsuf klasik Yunani, yang tahun 428/427 SM dan meninggal di kota yang sama pada tahu 348/347 (J. H. Rapar, 1991: 41). 

Dengan demikian, melalui tulisan ini, kiranya pembaca budiman mendapat sedikit pencerahan atau refleksi kembali mengenai manfaat Pendidikan yang membentuk kita menjadi manusia yang manusiawi. Semoga!

Alegori Goa Platon
Alegori Goa dimulai dengan penggambaran situasi manusia menjadi tahanan di dalam goa. Pengalaman tertawan dan berada dalam goa adalah perumpamaan untuk kondisi manusia yang tidak terdidik. 

Platon bertutur tentang para tawanan yang tinggal di dalam sebuah goa, mereka terantai sedemikian rupa sehingga pandangan mata para tawanan hanya bisa terarah ke dinding goa. Di dasar goa, di belakang para tawanan yang terantai, ada semacam tembok kecil meninggi yang memisahkan para tawanan dari lalu-lalang budak-budak yang membawa benda-benda di balik tembok tersebut. Dan lebih tinggi lagi ada kobaran api yang menerangi kegelapan goa. Sepanjang hidupnya, para tawanan hanya melihat bayang-bayang yang terpantul di dinding goa.

Oleh karenanya, sangat wajar bahwa mereka menganggap bayang-bayang tersebut sebagai realitas yang sebenarnya. Satu-satunya kenyataan adalah bayang-bayang, dan itulah yang mereka anggap realitas yang sebenarnya. Suara para budak yang lalu lalang dianggap para tawanan sebagai suara dari bayang-bayang yang mereka saksikan (A. Setyo Wibowo, 2017: 113-114).

Dari deskripsi yang diberikan, kita akan tahu bahwa goa itu memiliki pintu keluar, sehingga ketika seorang tawanan terbebaskan dia akan bisa keluar. Pintu itu cukup besar, namun jalan menuju pintu tersebut menanjak dan curam. Pintu terletak jauh di atas dan terbuka sepenuhnya ke cahaya dari luar. 

Sebagaimana Platon tidak menerangkan mengapa mereka menjadi tawanan, dia juga tidak menerangkan mengapa ada satu tawanan yang akhirnya terbebakan dari rantainya. Tawanan tersebut dikatakan bahwa ia terbebaskan secara sumbainoi (aksidental, terjadi begitu saja). Bila pembebasa tawanan terjadi begitu saja, maka pada kisah selanjutnya, upaya sang tawanan untuk naik keluar goa bukan kebetulan, juga sengaja (kemauan sendiri), melainkan sebuah "paksaan" (A. Setyo Wibowo, 2017: 113-114).

Ada dua momen menarik untuk dicermati. Pertama, proses paidea (Pendidikan) awalnya adalah sebuah kebetulan belaka, namun kebetulan yang disertai pengorbanan dari si tawanan. Saat seorang tawanan terbebaskan mulai menengok, melihat cahaya api dan benda-benda sumber pantulan, dia merasakan sakit di mata (baca: silau). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun