Mohon tunggu...
Nana Yuliani
Nana Yuliani Mohon Tunggu... Guru - SMAIT Ibadurrohman Tasikmalaya, Ibu Profesional Tasikmalaya

Passionate di bidang ekonomi dan keuangan syariah, senang sharing tetang parenting dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pelaksanaan Good Corporate Governance, Antisipasi Fraud Akibat Praktik Manajemen Laba

31 Mei 2015   23:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25 2466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14330889551689760310

Teori keagenan menggambarkan perusahaan sebagai suatu titik temu antara pemilik perusahaan (principal) dengan manajemen sebagai agent. Teori keagenan lahir sekitar tahun 1970an, berawal dari adanya bentuk korporasi yang memisahkan dengan tegas antara kepemilikan perusahaan dengan kontrol atau dengan kata lain ada pemisahan yang jelas antara pemilik perusahaan dengan pihak manajemen. Semakin rumit dan besarnya suatu perusahaan membuat pihak pemilik tidak bisa secara intensif mengelola perusahaannya sehingga meminta pihak manajemen untuk mengelola kelangsungan hidup perusahaan dalam usahanya mendapatkan profit. Selanjutnya manajemen dianggap sebagai agen dan pemilik dianggap sebagai prinsipal. Hubungan tersebut oleh banyak ahli disebut dengan hubungan keagenan/agency relationship.

Anthony dan Govindarajan dalam Widyaningdyah (2001, h. 21) menyatakan bahwa konsep agency theory adalah hubungan atau kontrak yang terjadi antara principal dan agent. Principal mempekerjakan agent untuk melakukan tugas untuk kepentingan principal, termasuk pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dari principal kepada agent. Pada perusahaan yang modalnya terdiri dari atas saham, pemegang saham bertindak sebagai principal, dan CEO (Chief Executive Officer) sebagai agent mereka. Pemegang saham mempekerjakan CEO untuk bertindak sesuai kepentingan principal.

Agency theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya dengan membuat profitabilitas perusahaannya selalu meningkat.

Pada tahun 1989, mantan ketua Securites Exchange Commission-SEC Amerika serikat menyampaikan bahwa fleksibilitas dalam akuntansi membuat prinsip akuntansi dapat disesuaikan dengan inovasi bisnis. Namun, untuk kepentingannya sendiri, pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan laporan keuangan dapat menyalahgunakan prinsip akuntansi ini dengan memanfaatkan celah atau area abu-abu antara legitimasi dan kecurangan. (Sulistiawan: 2011, h. 11)

Hal ini terjadi karena manusia memiliki kecenderungan untuk mengutamakan diri sendiri sebagaimana juga yang dibahas dalam agency theory. Selain itu, objektivitas dapat menghilang atau berkurang ketika terjadi konflik kepentingan, ikatan emosional atau bias psikologis yang lain. Dalam referensi kecurangan perusahaan, terdapat istilah segitiga penyebab kecurangan (fraud triangle) yang terdiri dari kesempatan, tekanan dan rasionalisasi.

Pengelola perusahaan yang menyusun laporan keuangan dapat memanfaatkan adanya asimetri informasi, termasuk memiliki pengaruh besar untuk menentukan kebijakan akuntansi yang menguntungkan. Selain itu, adanya tekanan dari pemegang saham terhadap pengelola perusahaan atau perjanjian bonus yang memungkinkan perusahaan mendapatkan sejumlah bonus jika memenuhi target laba tertentu. Aspek ini sangatlah dominan memengaruhi nilai laba yang disajikan dalam laporan keuangan. Aspek terakhir dalam segitiga penyebab kecurangan adalah rasionalisasi, artinya seseorang cenderung menyesuaikan norma-norma atau keyakinan baik yang dimilikinya sehingga menjadikan perbuatan yang seharusnya tidak baik menjadi baik karena alasan tertentu.

Ilustrasi Cressey Fraud Triangle

Laporan keuangan pada dasarnya dibuat dengan asumsi disajikan untuk pihak-pihak yang memahami informasi yang terkandung di dalamnya. Sehingga penyediaan informasi dalam laporan keuangan tidak akan maksimal, dalam arti memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna jika penggunanya tidak mempunyai kecakapan dan pemahaman mengenai laporan keuangan.

Laporan keuangan memberikan informasi yang dibutuhkan yakni mengenai likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan profitabilitas bank yang bermanfaat bagi investor dan kreditor dan para pengguna laporan keuangan lainnya dalam pengambilan keputusan investasi dan pembiayaan, menilai proyeksi arus kas, dan memberikan informasi mengenai sumberdaya perusahaan, hak, serta tuntutan atas sumber daya tersebut.

Hal yang paling utama yang diperhatikan oleh pengguna laporan keuangan adalah laba. Hal ini dikarenakan laba mewakili informasi penting yang dimiliki bank, seperti prestasi dan kinerja, pedoman kebijakan investasi dan peramalan laba di masa yang akan datang. Karena peran laporan keuangan yang sangat penting dalam pengambilan keputusan, seringkali perusahaan melakukan window dressing atau manajemen dan pengelolaan atas laporan keuangan dan laba sehingga perusahaan nampak bagus secara finansial. Hal inilah yang kemudian disebut dengan manajemen laba (earning management). Fleksibilitas manajemen untuk melakukan praktik manajemen laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar perusahaan. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.

Ada empat pola manajemen laba yang dapat dilakukan, yakni taking a bath, income minimization, income maximization danIncome Smoothing. Metode Income Smoothing atau perataan laba lebih banyak dilakukan untuk mengurangi fluktuasi laba daripada upaya untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba yang dilaporkan, karena investor cenderung menyukai pertumbuhan laba yang relatif stabil dibandingkan laba yang fluktuatif (Tobing: 2009, h. 50). Teknik dan pola manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000, h. 6) dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu (1) memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi, (2) mengubah metode akuntansi, dan (3) menggeser periode biaya atau pendapatan.

Fenomena praktik manajemen laba tidak hanya terjadi pada perusahaan biasa, namun juga dilakukan oleh perbankan termasuk perbankan syariah. Hal ini dikarenakan praktik manajemen laba, baik itu sekadar adverse selection maupun tindak moral hazard berhubungan dengan perilaku manusia. Selama manusia memiliki memiliki motivasi untuk mendapatkan manfaat bagi dirinya sendiri, hal ini akan masih saja terjadi. Pengetahuan tentang manajemen, akuntansi dan perilaku manusia juga tidak akan pernah mengeliminasi risiko kecurangan dalam laporan keuangan.

Pada beberapa penelitian, ditemukan bahwa bank syariah juga melakukan tindakan manajemen laba di antaranya Kusumawati (2002) melakukan penelitain terhadap bank konvensional no go publik membuktikan bahwa terjadi praktik manajemen laba dengan menggunakan teknik perataan laba, kemudian Sholihah (2007), Syahfandi (2012), Maksum (2012) juga melakukan penelitian terhadap perbankan syariah di Indonesia dan membuktikan bahwa terjadi praktik manajemen laba.

Earning management merupakan masalah yang kontroversial. Pada satu sisi, praktik manajemen laba bersifat legal tanpa melanggar prinsip akuntansi berterima  umum.  Namun  di sisi  lain  manajemen laba ini  dapat  dikatakan  perbuatan  yang  tidak  etis  dan  tidak bermoral jika dilakukan dengan tujuan untuk mensejahterakan pihak tertentu karena kebutuhan hedonisme dalam dunia bisnis dapat dipenuhi dengan melakukan manajemen laba.

Perilaku manajemen laba pada perbankan yang dapat merugikan pihak tertentu sebenarnya dapat diminimalisir dengan diterapkannya tiga hal, yaitu  :  (i)  Ketaatan  terhadap  prinsip  kehati-hatian;  (ii)  Pelaksanaan  good  corporate  governance; dan  (iii)  Pengawasan  yang  efektif  dari  Otoritas  Pengawas  Bank.

Bank adalah lembaga intermediasi yang “highly  regulated” dan perbankan merupakan industri “kepercayaan”. Jika investor berkurang kepercayaannya karena laporan keuangan yang bias karena tindakan manajemen laba, maka mereka akan melakukan penarikan dana secara bersama-sama yang dapat mengakibatkan rush. Oleh karena itu, perlu suatu mekanisme untuk meminimalkan manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan perbankan. Salah satu mekanisme yang dapat digunakan adalah praktik corporate governance.

GCG  mengandung  lima  prinsip  utama  yaitu  keterbukaan  (transparency), akuntabilitas   (accountability), tanggung  jawab  (responsibility), independensi  (independency) serta kewajaran   (fairness),  dan  diciptakan  untuk  dapat  melindungi  kepentingan  semua  pihak  yang  berkepentingan (stakeholders).

Prinsip-prinsip GCG, sangat erat kaitannya dengan praktik akuntansi karena itu pada Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, pelaksanaan dan mekanisme audit dalam perusahaan merupakan salah satu hal yang diperhatikan. Auditor  dan  Komite  Audit  bagi  sebuah  bank  merupakan  organ  penting  dalam  rangka  memastikan  terlaksananya  prinsip  check  and  balances. Pelaksanaan akuntansi yang wajar, audit yang efisien serta penerapan GCG yang efektif pada akhirnya akan mencegah tindak manajemen laba yang menyebabkan fraud.

Dalam Ekonomi Islam, sikap jujur dan amanah sangat dijunjung tinggi. Bahkan untuk transaksi perekonomian (terutama yang tidak tunai) Allah memerintahkan untuk melakukan pencatatan, dan syarat pencatat ini adalah harus “Adil”, seperti yang tercantum dalam Q.S Al-Baqarah: 282 berikut ini,

يا ايها الذين امنوا اذا تداينتم بدين الى اجل مسمى فاكتبواه وليكتب بينكم كاتب بالعدل

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan Allah setiap melakukan transaksi, yakni melengkapinya dengan alat bukti, sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari. Pembuktian itu bisa berupa bukti tertulis atau adanya saksi. Bukti tertulis hendaknya ditulis oleh seorang juru tulis yang adil yang bermakna jujur dan berilmu (Departemen Agama; 2009, h. 433)

Bank syariah sebagai entitas ekonomi yang –selayaknya- memegang teguh prinsip-prinsip syariah, diharuskan untuk menyajikan laporan keuangan yang tidak merugikan bagi semua pihak pengguna laporan keuangannya. Hal ini merupakan prinsip dasar dalam muamalah, bahwa Islam menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keadilan serta bertujuan untuk memberikan kemaslahatan kepada seluruh pihak. Sehingga praktik manajemen laba yang sekiranya dapat menimbulkan kerugian bagi beberapa pihak dan keuntungan bagi pihak tertentu haruslah dihindari. (NY)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun