Mohon tunggu...
Nanang E S
Nanang E S Mohon Tunggu... Guru - Orang yang tidak pernah puas untuk belajar

Penggiat literasi yang mempunyai mimpi besar untuk menemukan makna dalam hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peran Penting Literasi dalam Deradikalisasi

23 Juli 2017   23:27 Diperbarui: 23 Juli 2017   23:36 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto:Peserta diskusi.

Ponorogo---(21/07/17)---Peran ulama sangat penting dalam upaya deradikalisasi, termasuk bagaimana mereka mensiarkan sebuah gerakan literasi di dalamnya. Khusunya literasi agama, sebab konsep pelaksanaan literasi tidak lain adalah pemahaman, penyadaran, sekaligus pemaknaan. Ketigannya sangat penting sebagai komposisi pendukung sebuah gerakan deradikalisasi, agar berjalan bermakna.

Kemarin (21/17), sebanyak lima belasan ulama berkumpul di sekretariat Sekolah Literasi Gratis (SLG) Ponorogo. Mereka berkumpul tidak untuk tausiyah, istighosah bersama, atau dzikir bersama, melainkan berliterasi bersama. Ditemani Sutejo (Pendiri SLG Ponorogo), para ulama secara bergantian menampilkan hasil karya tulisnnya dan dikoreksi bersama-sama. 

Deradikalisasi menjadi tema yang dipilih malam itu. Tema tersebut memang mengundang perhatian banyak kalangan, terlebih dalam kelompok agama. Munculnya gerakan deradikalisme ini tidak lain atas latar belakang lahirnya gerakan radikal, yang dalam praktiknya berdampak negatif terhadap tatanan sosial sehari-hari. Permasalahan radikal tengah ramai terjadi pada kelompok agama. Di mulai dari maraknya kasus-kasus; macam terorisme, pelecehan keyakinan, juga lahirnya kelompok-kelompok yang keluar dari hakikat agama itu sendiri.

Sampai-sampai negarapun ikut merasakan dampak besar radikal ini bagi tatanan bangsa. Sampai-samapi pemerintah menyusun sebuah peraturan perundang-undangan yang pada intinya untuk menyikapi gerakan tersebut agar tidak berangsur menjamur dalam kehidupan kita.

Acara yang berlangsung malam hari itu, memberi kesan yang menarik. Macam penggalian pemahaman, penyadaran, dan pemakaan mengenai kasus sosial yang terjadi saat ini. Tidak malah sebaliknya tergesa-gesa menyimpulkan permasalahan yang ada, sehingga menimbulkan keputusan yang kurang menguntungkan. Tidak saja bagi diri sendiri tetapi bagi banyak orang, sampai lahir permusuhan, perbedaan, dan pemisahan kesepahaman. Macam jiwa bigot religius, yang selalu menganggap alirannya yang paling mulia.

Ulama yang berasal dari berabagai lini (akademika, sosial, maupun yang lain) itu memberikan banyak argumen-argumen mengenai objek pembahasan tersebut. Salah satunya, menyampaikan bahwa keberadaan kelompok radikal ini mesti menjadi perhatian khusus, terlebih objeknya yang mengarah pada perpecahan tatanan sosial. Dikhawatirkan berangsur menjadi gejolak kehidupan sehari-hari. Apalagi realitasnya sudah menyatu dalam kehidupan sosial kita, yang jelas ini semakin sulit bagi kita untuk meminimalisnya. Sebab sulit dibedakan mana yang kaum radikal dan mana yang bukan.

Namun, realitas ini perlu diterjang  bersama, dengan gerakan pemaknaan (khsusnya pada tataran religius) ruang sosial yang sudah dikuasai kaum radikal tersebut. Takutnya malah menjadi ruang terbuka mereka untuk memperluas sayapnya. Di tambah lagi cara mereka yang sudah berfariasi. Melalui media sosial salah satunya. Jika tidak dengan segera dilawan dengan jalan pemaknaan (literasi) ini yang ditakutkan mereka (pengguna media sosial) yang belum peka media bisa terhasut dan cepat percaya pada ajaran-ajaran radikal.

Untuk itu acara yang dikemas sederhana (macam jagongan) ditemani kopi, dan puthu hangat itu tidak lain sebagai salah satu usaha kecil dalam mananamkan buah pemakaan yang mendalam mengenai permasalahan tersebut. Di mulai dari para ulama, yang dalam trah sistem agama bagian atas. Diharapkan dengan menanamkan jiwa literasi tersebut mampu menularkan ke bawahannya dan beragsur meluas. Pengembagan literasi (keagaamaan) ini tidak lain agar kita bisa lebih matang dalam melihat sebuah permasalahan terkait keyakinan. Sebab posisi ini sangat sensitif untuk disinggung, terlebih sampai muncul pertentangan.

Untuk itu gebrakan pembudayaan literasi dalam ranah deradikalisasi ini tidak lain untuk melindungi kehidupan kita dari sebuah perpecahan. Serta melahirkan  sebuah faham-faham yang cinta damai, yang sesuai dengan kaidah, tidak memperbudak status (alim) sebagai pancatan terbaik, berguna bagi orang lain, sekaligus faham yang bermankna serta dapat menumbuhkan ketentraman dalam kehidupan.

Di akhir, dapat kita pahami bersama (khusunya kaum religius) munculnya radikal  ini memang sangat menakutkan. Terlebih efeknya bisa merusak tatanan sosial yang ada. Jelas ini semacam virus, yang dalam praktiknya mesti diluruskan/ diobati, atau dalam bahasa Jawanya mesti "diruwat" agar bisa beralih pada radikal yang postif, berguna bagi banyak orang dan membangun kehidupan menjadi yang lebih baik. Salah satunya dengan jalan literasi. Literasi melatih kita untuk berfikir mendalam, yang seklaigus sebagai benteng untuk membendung mereka (maaf) kaum radikal agar tidak terlalu luas mengepakkan sayapnya di tanah tolerasi macam Indonesia ini. Melalui literasi inilah kemudian diharapkan (kita) bisa berfikir lebih dewasa belajar sebuah permasalahan, tidak malah sebaliknya dibesar-besarkan dan menggantung jalan penyelesaiannya. Sehingga efeknya tidak memperanak-pinak permasalahn yang ada. (***)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun