Mohon tunggu...
Nanang E S
Nanang E S Mohon Tunggu... Guru - Orang yang tidak pernah puas untuk belajar

Penggiat literasi yang mempunyai mimpi besar untuk menemukan makna dalam hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berguru Puisi di Pesantren Situbondo

1 Mei 2017   12:07 Diperbarui: 1 Mei 2017   12:29 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan hidup ini sekilas memang terkesan biasa saja. Terlebih bagi mereka yang tidak bisa memaknainya, hidup ini tidak berkesan sama sekali. Namun, berbeda bagi penikmat jalan makna, perjalana kehidupan adalah makna berharga yang patut untuk digali lebih dalam. Terlebih bagi para penikmat puisi, yang hakikatnya adalah para penikmat makna, jalan kehidupan serupa komposisi lengkap untuk diramu menjadi sajak-sajak lembut yang beraroma makna, beraroma empati, juga beraroma sugesti terlebih filosofi.

Jalan puisi di bagian sudut pandang memang biasa—bisa jadi tidak berarti—, bahkan ada yang mengartikan sebagai jalan melo—jalan yang dilebih-lebihkan—sampai orang kadang risih membacannya. Namun, tidak bagi Kiyai Azaim Ibrahim pengasuh pesantren Salafiyah Asya’fiah, Sukorejo, Situbondo, yang menjadikan perjalalanan hidupnya menjadi mantra-mantra hati dengan jalan puisi. Perjalanan itu dikemasnya dalam buku kumpulan puisi yang berjudul “Jalan Ini Rindu”. Buku tersebut merupakan karya kedua yang momumental sebagai pengabadian jejak hidup agar lebih abadi dan bermakna. Buku tersebut baru saja di launchingkanbeberapa hari yang  lalu di hadapan dua ribu santrinya.

Pemilihan puisi sebagai jalan pengabadian jejak hidup ini yang terkesan unik. Terlebih melihat dari latar belakang penulisnya, sebagai pengasuh pondok pesantren ternama di Situbondo. Kenapa bukan buku-buku lain, seperti buku dalil, kitab, nasihat-nasihat islami dan sebagainya. Kenapa memilih puisi?

Dalam pengakuannya, saat acara launchingpemilihan  puisi sebagai media pengabadian makna, bagi lelaki yang akrab di panggil Kyai Azaim ini adalah “puisi itu serupa darah, yang setiap hari mengalir dalam tubuh kita”. Pengakuan ini yang menarik untuk direnungkan bersama. Pemahaman darah ini menjadi semacam kunci, sebuah simbol tentang gerak hidup, tanpa darah maka organ kita akan kesulitan untuk bergerak. Bagaimana jika puisi seperti darah, akankah hidup kita akan terhenti jika tidak ada puisi?, sebuah permenungan yang penting. Menamakan puisi serupa darah, bagi yang tidak paham puisi memang semacam ulur makna yang sulit di terima. Apa ya mungkin puisi seperti darah, bahkan ia akan sinis “Ah lebay”.

Tetapi jika kita pahami mendalam, benar adannya bahwa tidak terasa kita telah hidup bersama puisi setiap harinya. Namun (kita) saja tanpa sadar menahami hal itu. Di pesantren khususnya, tidak salah jika puisi seperti darah, sebab puisi telah hidup di jantung hati para santri melalui sajak-sajak ilahi seperti; syi’iran-syi’iran, shalawatan, takbir,juga syair-syair lain macam alfiyah Ibnu Malik, Nazhar Maqsud, Nazham ‘imirthyyang sering dipelajari di pesantren.

Peluncuran buku terbarunya itu terbilang unik, sebab di setiap puisinya ada semacam ulasan (sudut pandang) dari berbagai tokoh yang ternama, seperti Gus Mus, Sosiawan Leak, Taufik Ismail, W. Hariyanto, Jamal D Rahman, D Zawawi Imron, Ahmadun Yosi Herfanda, Arsyad Indradi, Autur Abdilah, Oong Fathor Rohman Achmad, Emha Ainun Najib,  Kuspriyanto Namma, Mathori A Alwa, M. Faizi dan sebagainnya. Model seperti ini langka diambil oleh kebanyakan penyair.

Umumnya para penyair menyembunyikan makna-makna yang terkandung di dalam setiap puisinya untuk memunculkan kesan menarik dan menimbulkan rasa penasaran bagi pembaca. Tetapi tidak untuk puisi “Jalan Ini Rindu”, Sang Penulis memberi kesempatan kepada para tokoh-tokoh tersebut (di atas) untuk membuka makna-makna yang terkandung di masing-masing puisi, sebagai pijakan awal untuk memaknai puisinya lebih menadalam lagi. Entah apa mungkin penulis tidak memikirkan tentang kesan penasaran dalam puisinya bagi pembaca. Namun, terlepas dari itu pemilihan ini tidak terlepas dari latar belakang yang kuat.

puisi-1-5906c24ec5afbd4a4245d07f.jpg
puisi-1-5906c24ec5afbd4a4245d07f.jpg
Lingkungan pesantren, salah satu alasannya. Dengan membuka makna yang terkandung di dalamnya dimaksudkan agar semua pembaca bisa menangkap makna-makna yang terkandung di setiap puisi-puisinya. Sehingga pembaca tidak sulit memaknai mengenai maksud-maksud yang terkandung dalam puisi tersebut. Trobosan baru model kepenulisan puisi ini sekaligus membuktikan peran puisi di berbagai lingkup sosial masyarakat telah mengalami berkembang. Sebagai jalan dakwah, salah satunya peran puisi di lingkungan pesantren sekaligus alasan kenapa makna puisi itu dibuka di mata pembaca. Puisi “Jalan Ini Rindu” yang keseluruhan berisi perjalanan Sang Penulis yang pindah-pindah pesantren mulai dari Rembang, Malang, Pegersari Ngantang, Madinah, dan berakhir di Giliyang itu menyisakan kesan religius mengenai pengembaraan menemukan ilmu. Ketika para tokoh mengapresiasi puisi-puisi itu banyak makna mendalam yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi pembaca.

Keunikan ini juga sekaligus menyuguhkan suasana baru dalam dunia perpuisian yang tidak saja dianggap menjadi bahasa yang mulek(sulit dipahami), tetapi menjadi bahasa yang bermakna. Semacam ruang baru untuk menyalurkan kemudahan makna kepada pembaca. Bukan saja menyimpan maknanya, agar menuntut pembaca mendalaminya sendiri. Puisi “Jalan Ini Rindu”, telah memulai mengemas puisi menjadi jalan dakwah yang inspiratif.

Seperti di puisi pertama, yang berjudul “Lasem Ajaranmu”yang diinterpretasikan oleh Sosiawan Leak. Puisi yang terdiri dari 18 baris ini mengandung makna yang luar biasa. Dalam pandagan Sang Interpretatorya, bahwa puisi tersebut memberikan petuah mengenai sikap berserah diri kepada Sang Kuasa. Diksi “lasem”,mengarahkan pada sebuah kota yang terletak di pesisir pantai Laut Jawa. Pelajaran berserah diri dialahirkan dengan imajinatif oleh penulis dalam setiap diksinya. Penyair menggunakan pemetaforan air sebagai ajaran berserah diri. Selanjutnya dalam puisi “Dalam”yang diinterpretasi oleh M. Faizi, bahwa titik puncak makna yang terdapat dalam puisi tersebut adalah sebuah upaya dalam mencapai titik kulminasi. Bahkan ketertarikannya dalam dunia perpuisian juga di sampaikan dalam salah satu puisinya dalam kumpulan puisi tersebut yang berjudul “Bagiku itu Puisi”,begitu nampak bahwa puisi adalah segala-galanya. Bahwa segala yang ada itu tidak lain adalah puisi, puisi adalah bagian dari manusia, puisi adalah perjalanan taklim, puisi adalah miniatur metafora, puisi adalah perbandingan ini dan itu, dan puisi adalah anak hati yang sudah memiliki jalannya sendiri menuju ketakdiran yang baik.

Setelah berguru pada puisi“Jalan ini Rindu”,menyisakan banyak kesan, dan pesan, sontak saya teringat pada sebuah ungkapan bahwa “Puisi itu menepuk bahu dan mengingatkan”, seperti puisi ini yang telah banyak mengingatkan mengenai perjalana hidup menjadi hidangan makna yang enak untuk dikonsumsi, serta menyehatkan jiwa raga pembaca. Semoga jalan puisi ini menjadi jalan iman yang selalu mendapat ridhoNya, dan tidak lupa memaknai jalan keimanan kepadaNya. Amin.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun